Tag Archives: Ustadz Wadi

Pada pembahasan ini terdapat hal penting yang seharusnya diperhatikan orang yang berakal, yaitu sempurnanya kelezatan, kegembiraan, kesenangan, kenikmatan hati, dan keceriaan ruh mengikuti dua perkara:

Kesempurnaan dan keindahan dzat yang dicintai, yakni kecintaan kepadanya lebih diutamakan dibandingkan terhadap selainnya.
Kesempurnaan cinta kepadanya, berupaya keras mencintainya, dan mengutamakan kedekatan dengannya di atas segala sesuatu.

Setiap orang yang berakal mengetahui bahwa kelezatan memperoleh sesuatu yang dicintai sangat bergantung pada seberapa besar kekuatan cinta itu sendiri. Semakin besar kekuatan cinta maka kelezatan cinta juga semakin sempurna. Seperti halnya kelezatan orang yang mendapatkan air segar setelah dahaga yang sangat, kelezatan orang yang mendapatkan makanan yang enak setelah kelaparan yang sangat, dan semisalnya, semua itu sesuai dengan kadar kerinduan serta kekuatan kehendak dan cinta.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang dari kamu semua yang menyempurnakan wuduk, lalu dia berkumur-kumur dan beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembukannya) kecuali dosa-dosa wajahnya, bibirnya dan hidungnya akan berjatuhan bersama air basuhan wuduk itu. Kemudian, apabila dia membasuh wajahnya sebagaimana yang di perintahkan Allah, niscaya dosa-dosa wajahnya akan berjatuhan bersama-sama air dari hujung-hujung janggutnya. Dan tidaklah dia membasuh kedua tanganya hingga pergelangan siku kecuali dosa-dosa kedua tangannya akan berjatuhan bersama air dari jari-jemarinya. Dan tidaklah dia membasuh kepalanya kecuali dosa-dosa kepalanya akan berjatuhan bersama air dari hujung rambutnya. Dan tidaklah dia membasuh kedua kakinya hingga buku lali kecuali dosa-dosa kedua kakinya juga berjatuhan bersama air dari jari-jari kakinya. Dan apabila dia mendirikan shalat lalu memuji Allah serta menyanjung-Nya dan juga memujinya dengan sesuatu yang memang Dia-lah yang berhak atasnya lalu menumpahkan hatinya semata-mata hanya tertuju untuk Allah, niscaya dia akan terlepas diri daripada dosa-dosanya sebagaimana hari dia dilahirkan oleh ibunya.”

Kemudian Amr bin Abasah menceritakan hadits ini kepada Abu Umamah, salah seorang sahabat Rasulullah, lantas Abu Umamah menegurnya, “Wahai Amr, perhatikanlah apa yang kamu ucapkan. Apakah mungkin seseorang itu diberikan keampunan sebesar itu hanya dengan mengerjakan serangkai amalan saja?”

Amr menjawab, “Wahai Abu Umamah, usiaku sudah lanjut, tulangku sudah rapuh dan ajalku hampi tiba, maka buat apa aku berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Seandainya aku hanya mendengar satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali dan tujuh kali sahaja dari Rasulullah, aku pasti tidak akan menceritakan hal itu selama-lamanya, tetapi aku mendengarnya lebih daripada itu.”

[Shahih Muslim no. 832]

Bagaimana mungkin hati tidak mencintai Dzat, yang tidaklah kebaikan itu datang melainkan dari Nya, tidak ada yang menghilangkan kejelekan, mengabulkan do’a, menghapus kesalahan, mengampuni dosa, menutup aib, mengeluarkan dari kesusahan, menolong orang yang kesulitan, dan menyampaikan kepada harapan, melainkan hanya Dia semata?

Allahlah yang paling berhak disebut, disyukuri, disembah, dan dipuji. Dialah yang Maha Melihat untuk digapai, Mahabelas Kasih untuk dimiliki, Yang paling dermawan untuk diminta, Yang paling luas pemberiannya, Maha Penyayang untuk dimintai rahmat, Mahamulia untuk dituju, Mahaperkasa untuk bersandar, dan Maha Mencukupi untuk bertawakkal. Kasih sayang Allah kepada hamba Nya melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Dia lebih gembira dengan taubat hamba Nya daripada kegembiraan orang yang menemukan kembali hewan tunggangan yang membawa seluruh makanan, minuman, dan perbekalannya di padang tandus yang berbahaya, setelah sebelumnya hewan itu hilang dan dia berputus asa untuk bertahan hidup.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Apabila Nabi ﷺ lebih utama dibandingkan diri kita sendiri dalam perkara kecintaan berikut konsekuensinya, maka bukankah Allah jauh lebih utama untuk dicintai oleh para hamba-Nya daripada kecintaan terhadap diri mereka sendiri?

Semua hal yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang Mukmin merupakan faktor pendorong untuk mencintai-Nya, baik perkara tersebut disukai maupun dibenci oleh seorang hamba. Pemberian, pencegahan, keselamatan, cobaan, keadilan, karunia, kematian, kehidupan, kasih sayang, kebaikan, rahmat, pemaafan, santunan, kesabaran-Nya atas perilaku hamba, pengabulan-Nya terhadap do’a hamba, dan pertolongan-Nya terhadap kesusahan hamba meskipun Dia tidak membutuhkan mereka, bahkan Dia Mahakaya dan tidak butuh terhadap sesuatu pun dari segala sisi. Semua ini merupakan faktor pendorong bagi hati untuk beribadah kepada-Nya dan mencintai-Nya.

Hadits ke-25:

436. وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللهَ لَيَرْضَي عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ، فَيَحْمَدُهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat ridha kepada orang yang apabila dia makan dia memuji kepada-Nya, atau apabila dia minum memuji kepada-Nya.” [Shahih Muslim no. 2734]

Hadits ke-26:

437. وَعَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى بَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لَيَتُوبَ مُسِيِءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبَها » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat orang yang berdosa pada waktu siang, dan Dia membentangkan tangan-Nya pada waktu siang untuk menerima taubat orang yang melakukan dosa pada waktu malam, sehingga matahari terbit dari barat (hari Kiamat).” [Shahih Muslim no. 2759]

Kecintaan memiliki dua pendorong : keindahan dan pengagungan, Allah ﷻ memiliki kesempurnaan mutlak pada hal tersebut. Maka, sesungguhnya Dia Maha Indah dan suka keindahan, bahkan keindahan dan keagungan datangnya dari Allah ﷻ, maka tiada yang berhak untuk dicintai karena Dzatnya selain Dia.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, (QS Ali Imran ayat 31)

Daripada Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dia berkata, “bahwa ada seorang lelaki mencium seorang wanita, lalu ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian memberitahukan padanya akan halnya. Kemudian turunlah firman Allah Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan bahagian permulaan malam. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu dapat melenyapkan keburukan-keburukan.” (QS. Hud: 11: 114)

Kemudian orang itu lalu bertanya, “Apakah ayat itu untukku saja, ya Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Untuk semua umatku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763]

Berbicara tentang masalah ini harus dengan membedakan antara yang haram dan yang halal, serta yang bermanfaat dan yang membahayakan. Secara keseluruhan, hal ini tidak dapat dihukumi dengan celaan dan pengingkaran atau pujian dan penerimaan. Hukum dan perkaranya dijelaskan berdasarkan kasusnya karena kasmaran dari segi dzatnya tidaklah tercela atau terpuji. Berikut ini akan kami jelaskan tentang cinta yang bermanfaat dan yang membahayakan, serta yang dibolehkan dan yang diharamkan.

Ketahuilah bahwa cinta yang paling bermanfaat, paling wajib, paling tinggi, paling mulia, dan paling agung secara mutlak adalah mencintai Dzat yang hati itu memang dijadikan untuk mencintai-Nya dan fitrah makhluk itu diciptakan untuk menyembah-Nya. Dengan cinta inilah langit dan bumi dapat tegak. Di atas cinta tersebut pula para makhluk diciptakan.

Cinta ini merupakan rahasia kalimat syahadat Laa ilaaha illallah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah). Yang dimaksud dengan ilah adalah yang disembah oleh hati dengan cinta, pengagungan, penghinaan diri, ketundukan, dan penyembahan. Ibadah itu tidak dianggap benar melainkan hanya ditujukan kepada-Nya. Ibadah adalah kesempurnaan cinta yang dibarengi dengan kesempurnaan ketundukan dan penghinaan diri. Oleh karena itulah, syirik dalam ibadah merupakan kezhaliman terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah ﷻ.

Awal mula kasmaran adalah anggapan baik. Hal ini bisa melalui penglihatan atau pendengaran. Sekiranya perkara ini tidak diiringi oleh hasrat untuk menjalin hubungan dan justru diiringi oleh keputusasaan, niscaya perasaan tersebut tidak akan berubah menjadi kasmaran. Apabila timbul hasrat lalu ia memalingkan pikirannya dan tidak menyibukkan hatinya dengan perkara tersebut, maka tidak akan terjadi kasmaran.

Kalau ia tetap berhasrat dan terus memikirkan kebaikan objek yang dicintainya, namun kemudian ia membandingkan antara kenikmatan hubungan dengan rasa takut terhadap perkara yang lebih besar—-rasa takut tersebut bisa terkait dengan agama, seperti takut masuk Neraka, takut kemarahan Allah, dan takut terhadap terkumpulnya dosa—lalu rasa takut ini mengalahkan hasrat dan pikirannya tadi, maka tidak akan pula terjadi kasmaran.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dia berkata, “Kami bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah khemah yang di dalamnya ada empat puluh orang, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Adakah kamu semua suka, seandainya kamu semua merupakan satu perempat penghuni surga?”

Kami menjawab, “Ya suka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Adakah kamu semua suka, jika kamu semua merupakan satu pertiga penghuni surga?”

Kami menjawab, “Ya Suka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, aku berharap semoga kamu semua merupakan setengah daripada penghuni syurga, kerana itu hanya akan dimasuki oleh orang islam. Perbandingan kamu semua di antara orang yang musyrik tidak lain hanyalah seperti rambut putih pada kulit lembu hitam atau seperti sehelai rambut hitam pada kulit lembu merah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6528, 6642 dan Muslim no. 221]