بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Senin – Kitab Shahih Fiqh Sunnah
Karya: Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim Hafidzahullah
Download Kitab : Versi Arabic di Sini
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Pertemuan 7: 28 Rabi’ul Akhir 1447 / 20 Oktober 2025
Masjid: At-Tauhid Al-Khor Community – Qatar



Mukadimah

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, Perkembangan ilmu fiqh pada Madzhab yang Empat.

Penyebab Perselisihan antara Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi

Ketahuilah bahwa di antara para ulama, baik di masa Tabi’in maupun setelah mereka, terdapat orang-orang yang enggan mendalami pendapat dan takut mengeluarkan fatwa serta kesimpulan kecuali dalam keadaan darurat.

Kepentingan terbesar mereka adalah meriwayatkan hadits Rasulullah ﷺ. Dengan demikian, pencatatan hadits dan atsar [Riwayat Sahabat] menjadi meluas di negeri-negeri Islam, seiring dengan penulisan manuskrip dan salinannya.

Para ulama besar mereka yang hidup pada masa itu berkelana ke seluruh negeri Hijaz, Suriah, Irak, Mesir, Yaman, dan Khurasan, mengumpulkan kitab-kitab dan menelusuri salinan-salinannya hingga mereka berhasil mengumpulkan hadits dan Atsar yang belum pernah dikumpulkan oleh siapa pun sebelumnya.

Mereka juga mengumpulkan apa yang sebelumnya tidak diketahui dari para ulama fatwa, dari para fukaha di setiap negeri, dari para sahabat dan tabi’in, setelah di masa sebelum mereka, seseorang hanya dapat mengumpulkan hadits-hadits dari negerinya dan para sahabatnya.

Melalui pencatatan, penelitian, dan perdebatan ini, apa yang selama ini tersembunyi tentang status rantai periwayatan hadis-hadis ini pun terungkap kepada mereka. Setelah menguasai seni periwayatan dan pengetahuan hadits, para peneliti di antara mereka kembali ke fikih. Mereka tidak merasa perlu untuk secara bulat mengikuti seorang tokoh dari masa lalu, meskipun hadits dan atsar yang mereka riwayatkan bertentangan dengan masing-masing mazhab tersebut.

Tidak ada satu pun masalah yang dibahas oleh orang-orang sebelum mereka, atau yang muncul pada masa mereka, tanpa menemukan sebuah hadis di dalamnya, baik yang muttashil, marfu’, mursal, maupun mauquf, atau atsar dari dua syekh [Muhammad bin al-Hasan atau Abu Yusuf] atau khalifah lainnya, hakim-hakim provinsi, dan para ahli hukum negeri-negeri. Allah memudahkan mereka dalam penerapan Sunnah dengan cara ini. Yang paling besar pengaruhnya, paling luas perawiannya, paling luas ilmu hadisnya, dan paling mendalam fikihnya adalah Ahmad bin Hanbal [Musnad beliau mencapa 26.363 hadits], kemudian Ishaq bin Rahawayh (semoga Allah merahmati mereka berdua). Imam Syafi’i berkata kepada Ahmad: “Engkau lebih mengetahui hadits-hadits shahih daripada kami. Jika ada hadits shahih, beri tahu aku agar aku dapat memeriksanya, baik dari Kufah, Basrah, maupun Syam.” Akhir kutipan.

Mereka digantikan oleh orang-orang yang melihat bahwa para sahabat mereka telah membebaskan mereka dari beban menghimpun hadits dan menyusun fikih berdasarkan prinsip ini. Dengan demikian, mereka terbebas dari disiplin ilmu lain, seperti memilah hadits-hadits shahih yang disepakati oleh para ulama hadits terkemuka, seperti Yazid bin Harun, Yahya al-Qattan, Ahmad, Ishaq, dan sebangsanya; menghimpun hadis-hadis fikih yang menjadi dasar mazhab-mazhab para fukaha di berbagai daerah dan ulama di berbagai negeri; menilai setiap hadits berdasarkan keutamaannya; dan memilah hadis-hadis yang syad dan gharib yang tidak diriwayatkan oleh mereka, atau yang mata rantai periwayatannya tidak diriwayatkan oleh para ulama terdahulu; dan hal-hal serupa lainnya.

Di antara mereka adalah: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abd bin Humayd, al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Ya’la, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, al-Darqutni, al-Hakim, al-Baihaqi, dan lain-lain. Berbeda dengan para ulama ini, pada masa Malik dan Sufyan bin Uyainah dan setelah mereka, terdapat orang-orang yang tidak takut bertanya dan tidak takut berfatwa. Mereka hanya takut meriwayatkan hadits Nabi karena kelengkapannya dan riwayatnya sampai kepada beliau. Al-Sha’bi bahkan berkata: “Riwayat yang langsung dari Nabi… Itu lebih kami sukai. Jika ada tambahan atau pengurangan di dalamnya, maka itu adalah dosa bagi selain Nabi.”

Pencatatan hadis, fikih, dan masalah-masalah yang terjadi karena kebutuhan mereka akan hal itu dari aspek lain. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki hadits dan riwayat yang memungkinkan mereka mengambil istinbath fikih dari kaidah-kaidah yang dipilih oleh para ahli hadits, dan hati mereka tidak terbuka untuk mempertimbangkan pernyataan para ulama, bangsa, mengumpulkan dan menelitinya.

Mereka percaya bahwa para imam mereka berada pada tingkat penyelidikan tertinggi, dan hati mereka lebih condong kepada para sahabat mereka, sebagaimana dikatakan Abu Hanifah: ((Ibrahim – maksudnya al-Nakha’i – lebih berpengetahuan daripada Salim, dan seandainya bukan karena keutamaan persahabatan, aku akan berkata: Alqamah lebih berpengetahuan daripada Ibnu Umar!!))

Mereka memiliki ketajaman, intuisi, dan kemampuan berpikir yang cepat sehingga mereka mampu menyimpulkan jawaban atas suatu pertanyaan berdasarkan pernyataan para sahabat mereka. Mereka membuka jalan bagi yurisprudensi [takhrij hadits] berdasarkan prinsip penilaian, dan penilaian terjadi di setiap mazhab pemikiran dan menjadi meluas. Dan di setiap mazhab yang ada menjadi terkenal dengan para pengikutnya, mereka mempercayakan pada sisi peradilan dan fatwa, dan tulisan-tulisan mereka menjadi terkenal di kalangan masyarakat dan menyebar ke seluruh dunia.

Dari sinilah muncul mazhab hadits dan fiqih. Imam al-Khattabi (semoga Allah merahmatinya) memulai kitabnya Ma’alim al-Sunan (Ma’alim al-Sunan karya al-Khattabi (1/75-76)) dengan membahas mereka, seraya berkata: “Saya melihat para ulama di zaman kita telah memiliki dua kualitas dan terbagi menjadi dua kelompok: ahli hadis dan atsar, dan ahli fiqih dan nadhar [teori]. Keduanya tidak dapat dibedakan dari yang lain dalam hal kebutuhan, dan keduanya tidak dapat diabaikan dalam mencapai tujuan dan kebutuhan yang diinginkan.

Hal ini karena hadits ibarat fondasi, yang merupakan asas, dan fiqih ibarat bangunan, yang ibarat cabang. Setiap bangunan yang tidak dibangun di atas fondasi yang kokoh pasti runtuh, dan setiap fondasi yang tidak dibangun dan dipelihara akan hancur dan tandus. Saya mendapati kedua kelompok ini, terlepas dari lokasi mereka yang berdekatan, kedekatan mereka di rumah, kebutuhan umum mereka satu sama lain, dan kebutuhan satu sama lain yang tak terelakkan, adalah saudara yang berselisih satu sama lain, dan yang, di jalan kebenaran, seharusnya saling mendukung, tetapi tidak saling bertentangan.”

Adapun golongan ini, yaitu para ahli hadits dan atsar, mayoritas mereka hanya mendalami riwayat-riwayat, menghimpun mata rantai periwayatan, dan mencari hadis-hadis yang aneh dan ganjil, yang kebanyakan dipalsukan atau dibalik. Mereka tidak memperhatikan nash, tidak memahami maknanya, tidak pula menyimpulkan rahasia-rahasianya, dan tidak pula menggali khazanah dan pemahamannya. Bahkan mereka mengkritik dan menyerang para fukaha, menuduh mereka melanggar sunnah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka kurang dari ilmu yang telah diberikan kepada mereka, dan berdosa jika menjelek-jelekkan mereka.

Adapun golongan lainnya—para ahli fiqih dan nadhar—kebanyakan mereka hanya memperhatikan hadis yang minim, dan mereka hampir tidak membedakan antara autentisitas dan kelemahannya, tidak pula mengetahui kebaikan dan keburukannya, dan tidak pula mempedulikan apa yang mereka diberitahu tentang hal itu, bahwa mereka akan menggunakannya sebagai hujjah terhadap lawan-lawan mereka jika sesuai dengan mazhab yang mereka anut dan sesuai dengan pendapat yang mereka yakini.

Mereka telah sepakat di antara mereka untuk menerima riwayat-riwayat yang lemah dan hadis-hadis yang terputus jika riwayat-riwayat tersebut terkenal di antara mereka dan telah beredar di antara mereka sendiri tanpa verifikasi atau pengetahuan yang pasti tentangnya, dan itu merupakan kekeliruan lidah atau cacat pada perawi.

Orang-orang ini—semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan mereka—jika mereka diberi tahu sebuah pernyataan dari salah satu pemimpin mazhab dan para pemimpin mereka yang dikatakannya berdasarkan ijtihadnya sendiri, mereka akan berusaha untuk mempercayainya dan membebaskannya dari tanggung jawab.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم