Tag Archives: Ustadz Wadi

Dari al-Miqdad Radhiyallahu’anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Didekatkanlah matahari pada hari kiamat itu dari para makhluk hingga jarak matahari tadi adalah bagaikan sekadar semil saja.” Sulaim bin ‘Amir yang meriwayatkan hadis ini dari al-Miqdad berkata: “Demi Allah, saya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata mil itu, apakah artinya itu jarak semil bumi ataukah mil yang artinya alat untuk mengambil celak -dari tempatnya- guna celak mata.” Rasulullah ﷺ bersabda seterusnya: “Maka keadaan manusia-manusia pada hari itu adalah menurut kadar masing-masing amalannya dalam banyak sedikitnya keringat -yang keluar dari badannya-. Di antara mereka ada yang berkeringat sampai di kedua tumitnya dan diantaranya ada yang sampai di kedua lututnya dan diantaranya ada pula yang sampai di tempat pengikat sarungnya yang ada di kedua lambungnya, bahkan diantaranya ada yang dikendalikan oleh keringat itu dengan sebenar-benarnya dikendalikan -yakni seperti kendali kuda yaitu keringat tadi sampai masuk ke mulut dan kedua telinganya-.” Ketika menyabdakan ini Rasulullah ﷺ menunjuk dengan tangannya ke arah mulutnya.” (Riwayat Muslim).

Inilah realisasi syahadat Laa Ilaha illaallah. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan Neraka bagi orang yang menyatakan syahadat Laa Ilaha illaallah dengan sebenar-benarnya. Mustahil orang yang meyakini dan menerapkan syahadat ini masuk Neraka. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah ﷻ :

وَالَّذِيۡنَ هُمۡ بِشَهٰدٰتِهِمۡ قَآٮِٕمُوۡنَ ۙ‏ ٣٣

“Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.” (QS. Al-Ma’aarij: 33)

Syarah oleh Syeikh Abdurrazaq Al-Badr Hafidzahullah :

Inilah keutamaan kalimat tauhid yang besar, bagi yang mengucapkannya haram masuk neraka. Tetapi bukan hanya mengucapkannya, tetapi benar-benar menegakkan kalimat ini, karena orang-orang yang menerapkan kalimat tauhid akan masuk surga tanpa azab.

Hakekat kalimat tauhid yaitu dia mendatangi tanpa duri yang menerapkannya, membersihkan tauhid dari kesyirikan, kebidahan dan maksiat. Karena itu penghalang dimana sunnah tegak di atasnya. Penghalang kemaksiatan adalah menjauhinya dan bertaubat darinya. Maka barangsiapa yang melaksanakan tauhid dengan murni akan masuk surga tanpa hisab dan azab.

Dari Samurah bin Jundub 𝓡𝓪𝓭𝓱𝓲𝔂𝓪𝓵𝓵𝓪𝓱𝓾’𝓪𝓷𝓱𝓾 bahwasanya Nabiyullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Di antara para ahli neraka itu ada orang yang dijilat oleh api neraka sampai pada kedua tumitnya, diantara mereka ada yang dijilat oleh api sampai kedua lututnya, ada juga yang sampai ke empat ikat pinggangnya dan ada pula yang sampai di tulang lehernya.” (Riwayat Muslim)

– Alhujzah ialah tempat mengikat sarung yang ada di bawah pusat.
– Dan Attarquwah dengan fathah ta’ dan dhammahnya qaf ialah tulang yang ada di tengah leher dan setiap manusia itu mempunyai dua buah tulang tarquwah ini yang terletak di tepi lehernya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu pula, katanya: Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada hari kiamat itu -yakni disaat seluruh hamba Allah sedang berdiri untuk dihisab atau diperhitungkan amalannya, didatangkanlah di Jahannam sebanyak tujuh puluh ribu kendali dan beserta setiap kendali ada tujuh puluh ribu malaikat yang sama menariknya.” (Riwayat Muslim)

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seringan-ringan siksa ahli neraka pada hari kiamat itu adalah seorang yang di bagian bawah kedua kakinya diletakkan dua buah bara api yang dengannya itu dapat mendidihlah otaknya. Orang itu tidak meyakinkan bahwa ada orang lain yang lebih sangat siksanya daripada dirinya sendiri -jadi ia mengira bahwa dirinya itulah yang mendapat siksa yang terberat-, padahal orang itulah yang teringan sekali siksanya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seringan-ringan siksa ahli neraka pada hari kiamat itu adalah seorang yang di bagian bawah kedua kakinya diletakkan dua buah bara api yang dengannya itu dapat mendidihlah otaknya. Orang itu tidak meyakinkan bahwa ada orang lain yang lebih sangat siksanya daripada dirinya sendiri -jadi ia mengira bahwa dirinya itulah yang mendapat siksa yang terberat-, padahal orang itulah yang teringan sekali siksanya.” (Muttafaq ‘alaih)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Jika cinta merupakan dasar seluruh amal, baik yang benar maupun yang salah, maka dasar perbuatan dalam agama adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dasar perkataan agama adalah membenarkan Allah dan Rasul-Nya. Setiap keinginan yang mencegah kesempurnaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, atau menyaingi kecintaan ini, atau kerancuan yang mencegah kesempurnaan pembenaran, maka ia bertentangan dengan pokok iman atau bahkan melemahkannya. Apabila hal ini menguat hingga menentang pokok kecintaan dan pembenaran, maka seseorang dianggap telah berbuat kufur dan syirik besar. Sekiranya tidak menentangnya, dia telah merusak kesempurnaan cinta dan pembenaran, sekaligus memberikan dampak negatif terhadapnya, berupa kelemahan dalam tekad dan pencarian, sehingga menghalangi orang yang melanjutkan perjalanan, menghalangi orang yang melakukan pencarian, dan memutarbalikkan orang yang berkeinginan.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu katanya: “Kami diberitahu oleh Rasulullah ﷺ dan ia adalah seorang yang benar lagi dapat dipercaya, sabdanya: “Sesungguhnya seorang diantara engkau semua itu dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari sebagai mani, kemudian merupakan segumpal darah dalam waktu empat puluh hari itu pula, selanjutnya menjadi sekerat daging dalam waktu empat puluh hari lagi. Selanjutnya diutuslah seorang malaikat, lalu meniupkan ruh dalam tubuhnya dan diperintah untuk menulis empat kalimat, yaitu mengenai catatan rezekinya, ajal serta amalnya dan apakah ia termasuk orang celaka ataupun bahagia. Maka demi Zat yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya seorang diantara engkau semua, sesungguhnya melakukan dengan amalan ahli syurga, sehingga tiada -batas- diantara dirinya dengan syurga itu melainkan hanya jarak sezira’ -sehasta, tetapi telah didahului oleh catatan kitabnya, lalu ia melakukan dengan amalan ahli neraka, kemudian akhirnya masuklah ia dalam neraka itu. Dan sesungguhnya ada pula seorang diantara engkau semua itu, niscaya mengamalkan dengan amalannya ahli neraka, sehingga tidak ada -batas- antara orang itu dengan neraka, melainkan hanya jarak sezira’ saja, tetapi telah didahului oleh catatan kitabnya, lalu ia mengamalkan dengan amalan ahli syurga dan akhirnya masuklah ia dalam syurga itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Orang yang berakal tidak memandang nikmatnya kecintaan yang sementara lalu mengedepankannya, juga deritanya kebencian yang sementara lalu menjauhinya karena tindakan tersebut mungkin berdampak buruk bagi dirinya; bahkan bisa jadi mendatangkan puncak kepedihan sekaligus menghilangkan kelezatan yang luar biasa. Akibatnya, orang yang berakal di dunia ini senantiasa berupaya menanggung beban berat lagi dibenci untuk mendapatkan kelezatan sesudahnya, meskipun kelezatan tersebut sebenarnya akan terputus.

Pada pelajaran terdahulu telah dijelaskan beberapa sebab takut (Khauf) kepada Allah ﷻ:
1. Memikirkan keagungan Allah ﷻ.
2. Melihat lalainya dia kepada Allah ﷻ dan selalu merasa dalam pengawasan Nya.
3. Mengambil pelajaran kepada orang-orang yang menyelisihi dan bermaksiat kepada Allah ﷻ.
4. Menghindar dan lari dari janji akan pedihnya azab Allah ﷻ dengan menjauhi larangan-Nya.

Yang dikecualikan adalah takut yang normal seperti takut binatang buas, takut dipatuk ular dan lainnya.

Pada pertemuan ini dibahas 8 ayat yang berkaitan dengan dalil-dalil perintah takut kepada Allah ﷻ.

Dua Perkara yang Dicintai

Perkara yang dicintai terdiri dari dua bagian:
1. Perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihí).
2. Perkara yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi).

Perkara yang dicintai karena yang lain pasti berakhir pada perkara yang dicintai karena dirinya (mahbub li nafsihi). Hal ini untuk mencegah terjadinya lingkaran setan. Segala sesuatu yang dicintai selain dari Allah merupakan sesuatu yang dicintai karena yang lain (mahbub li ghairibi). Tidak ada sesuatu yang dicintai karena dirinya (dzatnya), melainkan Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai selain Allah hanyalah mengikuti kecintaan kepada Allah, seperti kecintaan terhadap para Malaikat Nabi, dan wali-Nya, maka kecintaan tersebut mengikuti kecintaannya kepada Allah ﷻ dan itu termasuk syarat mencintai-Nya. Sebab, mencintai Allah mewajibkan mencintai juga apa yang dicintai-Nya. Perkara ini wajib diperhatikan karena merupakan pembeda antara kecintaan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang membahayakan.

Takut disini adalah takut kepada Allah ﷻ karena orang yang menyembah Allah ﷻ pasti akan ada rasa takut dan harap. Apabila ia melihat kepada dosa-dosanya dan banyaknya kesalahan yang dilakukan maka dia takut. Dan bila dia melihat amalan-amalan sholehnya yang kadang tercampur sifat ujub (bangga) maka dia takut.

Kalau dia melihat amalan-amalan sholehnya dan bisa jadi ada sifat riya’nya maka dia takut. Apabila melihat ampunan Allah ﷻ dan kemuliaan Nya, lemah lemnutNya dan rahmat-Nya, maka dia berharap. Maka, seorang mukmin selalu diantara khauf dan raja’.