Tag Archives: Mulakhas Fiqhi

Pengafanan mayit laki-laki dilakukan dengan cara menumpuk ketiga lembar kain tersebut dalam tiga lapisan. Setelah itu, diambil tubuh mayit yang telah dalam keadaan tertutup dengan kain atau yang semisalnya secara wajib dan diletakkan di atas lapisan-lapisan kain tersebut dalam kondisi telentang.

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

كُفِّنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في ثلاثِ أثوابٍ بيضٍ سحوليةٍ ، من كُرْسُفَ . ليس فيها قميصٌ ولا عمامةٌ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah” (HR. Muslim no. 941).

Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ

“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Cara memandikan mayit adalah dimulai dengan mengangkat kepala jenazah hingga nyaris duduk, kemudian air dialirkan di atas perutnya, sambil ditekan dengan lembut, agar kotoran yang sudah siap keluar dari perut betul-betul keluar.

Dalam kondisi tersebut hendaknya air diguyurkan dalam jumlah banyak, agar kotoran tersebut lenyap. Setelah itu, orang yang memandikan melilitkan kain lap di tangannya, untuk digunakan membersihkan tubuh mayit dan membersihkan lubang keluarnya kotoran.

Imam Ibnu Qudamah berkata, hendaknya perut ditekan agar kotoran dan jenazah bisa keluar dari si jenazah.

– Setelah itu, orang yang memandikan melilitkan kain lap di tangannya, untuk digunakan membersihkan tubuh mayit dan membersihkan lubang keluarnya kotoran.

Air yang digunakan untuk memandikan jenazah disyariatkan harus suci dan mubah (bukan air yang haram). Lebih baik lagi bila dingin. Kecuali jika memang dibutuhkan untuk membersihkan kotoran pada tubuh jenazah, atau karena udara sedang sangat dingin, maka tidak mengapa menggunakan air hangat.

Imam Asy-Syafi’i berkata, aku lebih menyukai air yang belum dipanaskan kecuali diperlukan untuk membuang sesuatu yang ada pada tubuh.

Zamzam adalah air suci dan mensucikan sebagaimana air pada umumnya, kecuali yang dilarang adalah untuk membersihkan najis.

Di antara hukum-hukum yang terkait dengan jenazah yaitu memandikan mayit, bagi orang yang mengetahui kematian orang tersebut dan memiliki kemampuan untuk memandikannya.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang yang meninggal dunia karena tersepak hewan tunggangannya,

اِغْسِلُوْهُ بِماَءِ وَسِدْرِ

“Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1265) dan Muslim no. 2883.

Soal memandikan mayit ini sudah menjadi kebiasaan dan umum dilakukan di kalangan kaum muslimin.

Bagi orang yang sakit, disunnahkan untuk berwasiat atau berpesan agar sebagian hartanya disumbangkan untuk kebaikan. Ia juga harus berpesan seputar hartanya, hutang-hutangnya, juga titipan dan amanah orang yang ada padanya. Ini dianjurkan, bahkan bagi orang yang masih segar bugar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِىَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ [رواه مسلم].

“Tidak patut bagi seorang muslim bermalam hingga dua malam, sementara dia mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, kecuali seharusnya wasiatnya telah tertulis di sisinya.” Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar. Diriwayatkan oleh al Bukhari (no. 2738)

Disebutkannya kata ‘dua malam’ di sini sebagai penekanan saja, bukan merupakan pembatasan waktu. Artinya, jangan sampai berlalu waktu sedikit pun tanpa pesan itu tertulis di sisinya. Karena seseorang tidak tahu, kapan ajal menjemputnya.

Apabila seseorang mengalami sakit, hendaknya ia bersikap tabah, mengharapkan pahala, tidak mengeluh atau kesal terhadap takdir dan ketetapan Allah. Ia boleh memberitahukan penyakitnya atau jenis penyakit yang dideritanya kepada orang lain, tapi dengan tetap ridha terhadap ketetapan Allah.

Mengadu kepada Allah dan memohon kesembuhan dari-Nya tidaklah berlawanan dengan sikap tabah. Bahkan menuru syari’at, itu dituntut dan dianjurkan.

Nabi Ayyub alaihissalam juga menyeru Rabb-nya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ﷻ:

۞ وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al-Anbiyaa’: 83)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Petunjuk Nabi dalam soal menyiapkan jenazah adalah petunjuk yang paling sempurna, berbeda sekali dengan ajaran umat-umat lainnya di dunia ini. Ajaran itu meliputi:
– Penegakan penghambaan diri (ubudiyah) kepada Allah dengan cara paling sempurna.
– Berbuat baik (Ihsan) pada mayit dan melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya di dalam kubur dan di hari Kiamat kelak. Seperti menjenguknya, menalqinkan, memandikan dan menyiapkannya agar bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi terbaik. Kemudian mereka berdiri berbaris di dekat jenazahnya, sambil memuji kepada Allah ﷻ dan menyanjung-Nya, lalu membaca shalawat kepada Nabi-Nya, kemudian memohon agar dosa-dosa mayit diampuni oleh Allah ﷻ, diberi rahmat dan dimaafkan. Selanjutnya mereka masih berdiri di dekat kuburnya, memohon agar mayit diberi keteguhan di alam kubur. Setelah itu menziarahi kuburannya dan mendo’akannya, layaknya orang yang masih hidup di dunia mengunjungi temannya. Kemudian berbuat baik kepada karib kerabat dan keluarga si mayit, dan lain sebagainya. [Zaadul Ma’aad (I: 498)].

Karena shalat Jum’at adalah shalat wajib, maka disyaratkan baginya masuk waktu untuk melaksanak annya,seperti shalat-shalat wajib lainnya. Karenanya, tidak sah dilakukan sebelum atau setelah habis waktunya. Dasarnya adalah firman Allah ﷻ :

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisaa: 103)

Pelaksanaan shalat Jum’at sesudah tergelincirnya matahari (setelah masuk Zhuhur) lebih baik dan aman. Karena inilah waktu di mana Rasulullah ﷺ, menunaikan sebagian besar shalat Jum’at beliau. Sementara pelaksanaannya sebelum matahari tergelincir adalah masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Akhir waktu Jum’at sama dengan akhir waktu Zhuhur, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.