بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 4 Jumadil Akhir 1447 / 26 Oktober 2025
KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukumhukum Jenazah | Bagian Ke5
Ketiga: Memandikan Mayit
Air yang Digunakan untuk Memandikan Jenazah
Air yang digunakan untuk memandikan jenazah disyariatkan harus suci dan mubah (bukan air yang haram). Lebih baik lagi bila dingin. Kecuali jika memang dibutuhkan untuk membersihkan kotoran pada tubuh jenazah, atau karena udara sedang sangat dingin, maka tidak mengapa menggunakan air hangat.
Imam Asy-Syafi’i berkata, aku lebih menyukai air yang belum dipanaskan kecuali diperlukan untuk membuang sesuatu yang ada pada tubuh.
Memandikan Jenazah dengan Air Zam-zam
Zamzam adalah air suci dan mensucikan sebagaimana air pada umumnya, kecuali yang dilarang adalah untuk membersihkan najis.
Dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ – Imam Mansur al-Buhuti disampaikan, dimakruhkan membersihkan najis dengan air zam-zam (karena untuk memuliakannya) kecuali untuk bersuci.
Syaikh bin baz pernah ditanya mencuci pakaian ihram yang digunakan untuk mengkafani jenazah. Beliau menjawab tidak mengapa, karena air zam-zam adalah air yang berkah. Tapi tidak ada keutamaan yang khusus (tidak disunahkan)
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad pernah diperintahkan ayahnya mencuci pakaian ihram dengan zam-zam dan itu tidak masalah. Namun jika dilakukan menjadi kebiasaan, Seakan-akan itu sebuah sunnah maka kami tidak mengetahui adanya dalil tentang hal tersebut.
Menjaga Aurat Mayit saat Memandikannya
Pemandian sedapat mungkin dilakukan di tempat yang tertutup dari pandangan orang banyak dan beratap, baik di dalam rumah, kemah dan sejenisnya.
- Demikian juga disampaikan oleh Imam Asy-Syafi’i hendaknya dilakukan di tempat tertutup, dengan alasan hanya bisa dilihat oleh orang yang dibutuhkan dalam proses pemandian jenazah. Hendaknya tidak melihat aurat jenazah, kecuali pada bagian yang tidak mungkin untuk dihindari hingga dia bisa melihat bagian mana yang dicuci.
- Imam Abu Hasan Al-Mawardi rahimahullah juga menegaskan dalam kitab Al-Hawi al-Kabir 3/8 beliau menjelaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i adalah benar. Dilakukan di tempat tertutup agar terhindar dari pandangan manusia.
- Ulama Syafi’iyah menekankan untuk melakukan pemandian di bawah atap karena hal ini lebih efektif dalam menutupi jenazah. Dalam Syarah Al-Bahjah al-Wardiyyah (Fikih madzhab Syafi’i) disebutkan, lebih utama memandikan di bawah atap karena lebih menutupi.
- Dilarang memandikan jenazah di area shalat masjid. Dikuatkan dalam kitab Kasysyafu al-Qina’ – Imam Mansur al-Buhuti, karena dikhawatirkan akan menajiskan karena keluar kotoran, sementara diwajibkan menjaga masjid dari najis.
- Dibolehkan memandikan di kamar mandi. (Syarh Muntaha Al-Iradat karya Imam Al-Buhuti).
Dalilnya dalah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنظر إلى فخذ حي ولا ميت
“Janganlah engkau melihat ke paha orang hidup maupun orang mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu majah]
- Ulama berbeda pendapat apakah yang ditutup seluruh tubuh Atau hanya bagian aurat:
- Madzhab Syafi’i dan riwayat Ahmad disunnahkan menutup seluruh tubuh mayit.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Ketika mereka (para sahabat) hendak memandikan (jenazah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengatakan, ‘Demi Allah, kami tidak tahu apakah kita akan menanggalkan pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana kita menelanjangi orang-orang yang meninggal di antara kita, atau kita memandikannya dalam keadaan beliau memakai pakaiannya?’
Ketika mereka berselisih (pendapat), Allah menidurkan mereka hingga tidak ada seorang pun melainkan dagunya menempel pada dadanya. Kemudian mereka diajak bicara seseorang yang berbicara dari sisi rumah, mereka tidak mengetahui siapakah dia. Orang tersebut berkata, ‘Mandikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan memakai pakaiannya.’ Kemudian mereka bangkit menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memandikan beliau dalam keadaan beliau memakai jubahnya. Mereka menuangkan air dari atas jubah dan memijat-mijatnya dengan jubah bukan dengan tangan mereka. Aisyah berkata, ‘Seandainya nampak bagiku dahulu seperti apa yang nampak sekarang ini, maka tidak ada yang memandikan beliau kecuali para istrinya.‘” (HR. Ahmad 43: 331 dan Abu Dawud no. 3141, dinilai hasan oleh Al-Albani)
2. Jumhur ulama (dari madzhab Hanafi dan Maliki), berpendapat tidak disunnahkan untuk menutup seluruh jenazah (selain aurat).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni berkata, sunnahnya menanggalkan pakaian mayit dan menutup bagian aurat. Sebagaimana pendapat yang nampak dari Al-Iraqi.
Inilah pendapat yang dikuatkan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah.
Alasan disunahkan menanggalkan pakaian dalam memandikan mayit disampaikan Mansyur Al-Buhuti dalam Kasysyaful Qina (2/81): Karena hal itu lebih memudahkan atau memungkinkan untuk membersihkan jenazah. Hal ini serupa dengan orang yang masih hidup, lebih menjaga dari najis karena bisa jadi keluar sesuatu dari tubuh. Hal ini juga mengikuti perbuatan para sahabat.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ dimandikan dengan baju beliau adalah kekhususan bagi Nabi ﷺ.
Para ulama’ menjelaskan bahwa hikmah dari ditutupnya seluruh jasad jenazah adalah agar tidak tersingkap tubuh dan auratnya yang telah berubah setelah meninggal dunia.
Posisi Tubuh Jenazah saat Dimandikan
Bagian antara pusar mayit hingga kedua lututnya wajib ditutup, sebelum ia dimandikan. Kemudian seluruh pakaiannya dilepas, dan jenazah diletakkan di atas pembaringan mandi, dalam keadaan kedua kaki lebih rendah, agar tubuh dan kotoran yang keluar darinya dapat diguyur dengan air.
Posisi tubuh diletakkan di atas dipan atau keranda (dengan posisi menurun ke arah kaki) agar air mudah untuk mengalir saat dimandikan.
Dalam kitab Adzkariyah karya Muhammad bin Muhammad Az-Zahidi al-Bukhari rahimahullah (Kitab rujukan Madzhab Hanafi) disebut tetang cara meletakkan di keranda:
- Sebagian ulama mayit di letakan seperti posisi shalat
- Dengan posisi melintang seperti dalam kubur.
Yang tepat adalah yang lebih memudahkan.
Yang Menghadiri Pemandian
Saat pemandian, yang hadir adalah pihak yang memandikan, dengan ditemani oleh orang yang membantunya memandikan, sementara selain mereka makruh untuk hadir di situ.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni Berkata, dimakruhkan bagi Selain yang memandikan atau membantu untuk hadir:
- Karena tubuh mayit mungkin memiliki aib yang disembunyikan selama hidupnya. Hingga tidak pantas terlihat orang lain.
- Bisa saja muncul dari tubuh si mayit sesuatu yang tidak layak dilihat atau disaksikan sehingga tersebar berita yang dapat menimbulkan aib atau fitnah.
- Terkadang aurat mayit terlihat, sehingga tidak disaksikan oleh sembarang orang.
Jumlah orang yang hadir atau membantu tidak ada batasan, selama dibutuhkan.
Dari Muhammad bin Sirin, dari Ummu ‘Athiyyah (seorang wanita Anshar) radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتِ ابْنَتُهُ، فَقَالَ:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui kami saat kematian putri kami. Lalu beliau bersabda,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا، أَوْ خَمْسًا، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ، بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي الآخِرَةِ كَافُورًا – أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ – فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي
‘Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu. Dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian) atau yang sejenis. Dan apabila kalian telah selesai, beritahu aku.’
فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ، فَأَعْطَانَا حِقْوَهُ، فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ، تَعْنِي إِزَارَهُ
Ketika telah selesai, kami memberi tahu beliau. Kemudian beliau memberikan kain beliau kepada kami seraya berkata, ‘Pakaikanlah ini kepadanya.’ Yaitu, izar (pakain bagian bawah semacam sarung, pent.) beliau.” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 36, 939)
Sebagian ulama memberi keringanan, boleh wali atau kerabat dekat untuk hadir dalam proses pemandian meskipun tidak dibutuhkan, karena rasa kasih sayang dan kedekatan dengan si mayit.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, boleh bagi kerabat si mayit ikut hadir meskipun tidak ikut membantu memandikan. Hal ini dikuatkan oleh Al-Qadhi dan Ibnu Aqil dari kalangan Hanabilah : hal itu tidak mengapa (Kitab Al-Inshab 2/486).
Tata Cara Memandikan Jenazah
- Cara memandikan mayit adalah dimulai dengan mengangkat kepala jenazah hingga nyaris duduk, kemudian air dialirkan di atas perutnya, sambil ditekan dengan lembut, agar kotoran yang sudah siap keluar dari perut betul-betul keluar.
Dalam kondisi tersebut hendaknya air diguyurkan dalam jumlah banyak, agar kotoran tersebut lenyap. Setelah itu, orang yang memandikan melilitkan kain lap di tangannya, untuk digunakan membersihkan tubuh mayit dan membersihkan lubang keluarnya kotoran.
Imam Ibnu Qudamah berkata, hendaknya perut ditekan agar kotoran dan jenazah bisa keluar dari si jenazah.
Bersambung InshaAllah…
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta padaMu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun padaMu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم




