بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 20 Rabi’ul Akhir 1447 / 12 Oktober 2025



KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Jenazah | Bagian Ke-5

Ketiga: Memandikan Mayit

Di antara hukum-hukum yang terkait dengan jenazah yaitu memandikan mayit, bagi orang yang mengetahui kematian orang tersebut dan memiliki kemampuan untuk memandikannya.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang yang meninggal dunia karena tersepak hewan tunggangannya,

اِغْسِلُوْهُ بِماَءِ وَسِدْرِ

“Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1265) dan Muslim no. 2883.

Soal memandikan mayit ini sudah menjadi kebiasaan dan umum dilakukan di kalangan kaum muslimin.

Lihat sebagian darinya pada bab tentang memandikan mayit dalam Shahih al-Bukhari dan Shahiih Muslim. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahihnya (III:161), kitab al-Janaiz, bab 8 dan Muslim (IV:5) dalam kitab al-Janaiz, bab.12.

Nabi ﷺ sendiri juga dimandikan, padahal beliau bersih dan suci. Apalagi selain beliau?

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَمَّا غَسَّلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَلْتَمِسُ مِنْهُ مَا يَلْتَمِسُ مِنْ الْمَيِّتِ فَلَمْ يَجِدْهُ فَقَالَ بِأَبِي الطَّيِّبُ طِبْتَ حَيًّا وَطِبْتَ مَيِّتًا

Dari [Ali bin Abu Thalib] ia berkata: “Ketika Ali memandikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mencari sesuatu yang biasa di cari pada mayit yang lain (kotoran), tetapi ia tidak mendapatinya. Ia lantas berkata: “Demi ayahku, engkau baik dalam di masa hidup dan matimu. “ (Sunan Ibnu Majah 1456).

Hukum Memandikan Orang Mati

Hukum memandikan orang mati adalah Fardhu Kifayah atas siapa yang mengetahui kematiannya dari kaum muslimin.

Mayit yang dimandikan adalah:

  1. Mayit seorang muslim, selainnya tidak dimandikan.
  2. Bukan syahid yang gugur di medang perang.
  3. Bukan janin dengan usia di bawah empat bulan.
  4. Masih tersisa sebagian jasadnya sehingga ada yang dimandikan.
  5. Mungkin dimandikan.

Hukum memandikan jenazah ini, diriwayatkan oleh hadits-hadits mutawatir (Diriwayatkan dari banyak shahabat), maka jelas kebenarannya.

Hukum Mandi setelah Selesai Memandikan Jenazah

  • Madzhab Dhahiriyah menghukumi wajib sebagai bentuk realisasi dari sabda Nabi ﷺ,

مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barang siapa yang memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi; dan barang siapa yang membawanya, maka hendaklah ia berwudu.” (HR. Abu Dawud).

Dan mereka beralasan, hukum asal suatu perintah adalah wajib.

  • Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hukum mandi setelah memandikan mayat adalah sunah (Istihbab), tidak wajib. Hal ini dikuatkan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syahrul Mumthi’ (1/411).

Mencela dan Membuka Aib Mayit

Hukum asalnya bahwa orang yang sudah meninggal dunia haram hukumnya untuk menyingkap aibnya selama di dunia.

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَسُبُّوا الأَمْوَاتَ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

“Janganlah kalian mencela mayat karena mereka telah menjumpai apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Bukhari no. 1393).

Menurut penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam syarah Kitab Bulughul Maram sebagaimana dimuat dalam laman https://alathar.net/ kata sabb apabila disebut dihadapannya adalah “membuka aibnya”, jika diucapakan ketiaka ia tidak ada disebut “ghibah”, dan jika yang diucapkan adalah bohong maka disebut “buhtan” atau berdusta atas sama orang lain.

Kapan boleh dibuka aibnya?

Berdasarkan penjelasan imam An-Nawawi (676 H) dalam kitab syarah shahih Muslim (7/20):

النهي عن سب الأموات هو في غير المنافق وسائر الكفار وفي غير المتظاهر بفسق أو بدعة, فأما هؤلاء فلا يحرم ذكرهم بشر للتحذير من طريقتهم ومن الاقتداء بآثارهم والتخلق بأخلاقهم

“Larangan mencela orang-orang yang sudah meninggal berlaku bagi selain orang munafiq, dan seluruh orang kafir, dan orang yang memperlihatkan kefasikan dan kebida’ahannya. Adapun mereka ini (munafiq, kafir, dan yang memperlihatkan kebida’ahannya), maka tidak haram untuk menyebutkan kejahatan mereka, agar terhindar dari jalan mereka, dan tidak dijadikan sebagai contoh, baik pengaruh mereka maupun akhlak mereka”.

Yang Berhak Memandikan Jenazah

Jenazah pria, dimandikan oleh pria. Lebih baik lagi, -dalam memandikan jenazah- bila dipilih orang yang mengerti hukum-hukum memandikan jenazah. Karena itu adalah hukum syari’at yang memiliki tata cara khusus, dan hanya mungkin diterapkan oleh orang yang mengerti tata caranya, sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan juga amanah.

Tapi lebih diutamakan orang yang dipilih oleh mayit sebelum wafatnya, untuk memandikan jenazahnya. Yakni apabila sebelum wafat, mayit berpesan agar dimandikan oleh orang tertentu, sementara orang tersebut shalih dan dapat dipercaya, maka ia harus lebih didahulukan daripada orang lain.

Hikmahnya: Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah:
1. Terkadang si mayit ada sesuatu yang dia tidak ingin agar dilihat banyak orang dan tidak ingin dilihat kecuali orang-orang yang amanah, maka dia memberi wasiat.
2. Karena dia orang yang paling bertakwa yang memandikannya.

Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh isterinya, Asma binti Umais. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari hadits Aisyah no. 6663, Abdurrazzaaq dalam Mushannafnya no. 6117 dan Ibnu Abi Syaibah no. 10969.

Anas bin Malik pernah berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh Muhammad bin Sirin.

Setelah orang yang ditunjuk oleh mayit sebelum wafatnya, diprioritaskan bapak mayit untuk memandikan jenazahnya. Kemudian setelahnya, prioritas tersebut milik kakeknya.

Setelah itu, diikuti dengan orang yang terdekat setelah ayah dan kakek dari kalangan kerabat laki-lakinya, kemudian baru orang lain.

Semua urutan ini berlaku dalam skala prioritas, apabila mereka semua memang memiliki kemampuan memandikan mayit, dan mereka meminta melakukannya. Kalau tidak, maka yang didahulukan adalah orang berilmu yang mengerti tentang hukum-hukum memandikan mayit.

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, urutan ini jika terjadi persengketaan, tetapi jika keluarga ridha dan sepakat maka boleh orang lain yang memandikannya. Tetapi yang paling utama adalah orang yang paling paham dalam memandikan jenazah.

Jenazah wanita dimandikan oleh wanita juga. Dan yang paling berhak memandikannya adalah yang diwasiatkan oleh mayit sebelum meninggal dunia. Kalau mayit berpesan agar ia dimandikan oleh wanita tertentu, maka wanita tersebut harus didahulukan dari yang lain, bila memang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Setelah yang diberi wasiat, maka prioritas diberikan kepada orang terdekat dengan mayit dari kalangan wanita, ibunya, kemudian neneknya dan seterusnya secara berurutan.

Masing-masing dari pasutri berhak untuk memandikan pasangannya yang meninggal dunia. Seorang suami yang meninggal, berhak dimandikan oleh istrinya. Begitu juga seorang isteri, berhak dimandikan suaminya. Karena Abu Bakar berpesan untuk dimandikan oleh istrinya dan Ali bin Abi Thalib juga memandikan jenazah istrinya, Fathimah. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi no. 6660, Abdurrazzaaq no.6122 dan ad-Daaruquthni no. 1833. Namun memandikan di antara berlainan jenis ini hanya berlaku untuk pasangan suami istri saja.

Pria maupun wanita, boleh saja memandikan anak di bawah usia tujuh tahun, lelaki atau perempuan. Ibnul Mundzir menjelaskan, “Semua ulama yang saya hafal, sependapat bahwa seorang wanita boleh memandikan jenazah bayi laki-laki.” (Al-Ijma’ hal. 50).

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم