بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 27 Rabi’ul Akhir 1447 / 19 Oktober 2025



KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukumhukum Jenazah | Bagian Ke5

Ketiga: Memandikan Mayit

Memandikan Jenazah Anak Kecil

Baik pria maupun wanita, boleh saja memandikan anak di bawah usia tujuh tahun, baik lelaki maupun perempuan.

Ibnul Mundzir menjelaskan, “Semua ulama yang kami hafal, telah sepakat bahwa seorang wanita boleh memandikan jenazah bayi laki-laki.” Lihat al-Ijma’ (hal. 50). Dan disebutkan dalam al-Awsath (V:338). Juga telah diriwayatkan dari al-Hasan bahwasanya beliau berpendapat, tidak mengapa bagi seorang wanita memandikan jenazah anak laki-laki meskipun sudah disapih, asalkan mengenakan penutup badan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (10988) (II:457).

Karena pada masa hidupnya, ia belum memiliki aurat. Maka, demikian juga saat ia sudah meninggal dunia. Karena Ibrahim putra Rasulullah ﷺ juga dimandikan oleh kaum wanita.

  • Namun seorang wanita tidak boleh memandikan anak laki-laki berusia tujuh tahun atau lebih. Demikian pula seorang pria juga tidak boleh memandikan anak perempuan berusia tujuh tahun atau lebih.
  • Hal yang sama dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Al-Mumthi’ 5/268 dan juga Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur alaa Darb 13/457.
  • Adapun jika anak sudah 7 tahun, maka auratnya harus dijaga. Dalam kitab AlBahr ArRaiq Karya Syeikh Ahmad Farid 2/185: karena melihat aurat mayit anak yang berusia 7 tahun ke atas adalah haram sebagaimana aurat orang yang masih hidup, karena menyentuhnya haram dan hukumnya sama dengan melihat.
  • Maka, saat memandikan orang dewasa (anak 7 tahun ke atas) gunakan sarung penutup tangan, hal ini diperkuat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu saat memandikan jenazah Nabi ﷺ, beliau membungkus tangannya dengan kain saat membersihkan kemaluan Nabi ﷺ (Diriwayatkan oleh Imam Al-Marwazi dari Imam Muhammad rahimahullah)

Hukum Laki-laki Memandikan Jenazah Perempuan

Hukum asalnya tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki untuk memandikan jenazah perempuan meskipun mahramnya.

Larangan ini lebih tegas lagi bagi wanita ajnabiyah (bukan mahram). Namun para ulama mengecualikan dari dua hal:
1. Jenazahnya adalah isteri yang sah.
2. Budak perempuan yang dimiliki secara sah.

Maka, suami boleh melihat aurat isterinya. Maka selain dua kondisi ini adalah dilarang, meskipun kerabat dekat.

Demikian dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni: Tidak boleh bagi kalangan laki-laki selain yang kami sebutkan untuk memandikan mayat wanita, demikian juga bagi wanita yang memandikan mayat laki-laki. Meskipun mereka memiliki hubungan mahram, dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama atau ahli ilmu.

Rukhsyah pada kondisi darurat: jika tidak ada suami atau wanita yang bisa memandikan jenazah, maka dibolehkan memandikan bagi mahramnya dengan menyiramkan air di atas pakaian tanpa menyentuhnya. Demikian juga disampaikan Oleh Imam Ahmad rahimahullah.

Para ulama mempersempit kasus, jika tidak ada sama sekali mahramnya, baik laki-laki, wanita atau khinsa muskil (tidak jelas jenis kelaminnya) maka jenazah tidak dimandikan, cukuplah ditayamumkan.

Dalilnya: Riwayat oleh Tamam dalam Fawaid dari Wasilah secara marfu’: Nabi ﷺ bersabda “Apabila seorang wanita meninggal diantara laki-laki yang bukan mahram diantara mereka, maka dia ditayamumkan sebagaimana laki-laki ditayamumkan.”

Bagaimana cara tayamum jenazah?

Mengusap wajah dan tangan jenazah dengan debu. Tanpa perlu niat dari orang yang melakukan.

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, jika tidak bisa memandikan karena ada udzur (seperti kecelakaan, kebakaran dan lainnya) maka ditayamumkan. (Majmu Fatawa 13/123).

Hukum Memandikan Jenazah yang hancur

1. Jika masih memungkinkan untuk digabung dan dimandikan, maka wajib dilakukan.
2. Jika tidak dimungkinkan, maka bagian yang masih utuh yang dimandikan, sedangkan yang tidak dimungkinkan maka dengan tayamum.

Pertanyaan:

Bagaimana cara menyempurnakan pemandian jenazah seseorang yang meninggal dalam suatu kecelakaan sehingga jasadnya rusak dan terkadang sebagian anggota tubuhnya terpotongpotong?

Jawaban:

يجب تغسله كما يغسل غيره إذا أمكن ذلك ، فإن لم يمكن فإنه يُيمّم ، لأن التيمم يقوم مقام التغسيل بالماء عند العجز عن ذلك .

Wajib bagi anda untuk memandikannya sebagaimana jenazah yang lainnya jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan untuk memandikannya maka ditayamumi. Karena tayamum bisa menggantikan kedudukan pemandian jenazah dengan air yang tidak bisa dilakukan.

________________________
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutawwi’ah 13/123.

Hukum Memandikan Jenazah Orang Kafir

Seorang muslim tidak boleh memandikan, mengusung, mengafani, menyalatkan dan mengiringi jenazah orang kafir, berdasarkan firman Allah:

“يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَوَلَّوْا۟ قَوْمًا غَضِبَ ٱللَّهُ

Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah…” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

Secara umum, ayat ini menunjukkan diharamkannya memandikan, mengusung dan mengiringi jenazah orang kafir.

Allah ﷻ juga berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦٓ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah…” (QS. AtTaubah: 84)

Allah juga berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orangorang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orangorang musyrik…” (QS. At-Taubah: 113).

Ibnu Juraib pernah mengatakan bahwa Atha’ pernah mengatakan kepadaku bahwa orangorang kafir tidak boleh dimandikan dan dikafani sekalipun memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. (Baik Kafir Harbi maupun Dzimmi).

Juga tidak boleh mengebumikannya. Namun apabila tidak ada orang lain yang mengebumikannya dari kalangan orangorang kafir, maka seorang muslim dibolehkan menguburkannya dengan cara melemparkan jenazahnya ke dalam lubang, untuk mencegah bahaya akibat bau busuk bangkainya. Karena dahulu para korban Perang Badar dari kalangan kafir juga diceburkan ke dalam sumur.

Demikian juga hukum orang yang murtad, seperti orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, atau pelaku bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kekafiran).

Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap orang kafir, baik saat ia hidup, maupun setelah ia mati. Sebuah sikap yang menunjukkan antipati dan kebencian.

Allah ﷻ berfirman, menceritakan kisah al-Khalil, Ibrahim dan para pengikut beliau:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orangorang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selamalamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Allah juga berfirman:

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasihsayang dengan orangorang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orangorang itu bapak-bapak, atau anakanak atau saudarasaudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadalah ayat 22).

Karena memang ada permusuhan antara kekafiran dengan keimanan. Dan karena orangorang kafir senantiasa memusuhi Allah dan RasulNya, serta agamanya. Maka, haram hukumnya memberikan loyalitas kepada mereka, baik saat hidup maupun sesudah mati.

Kita memohon kepada Allah agar meneguhkan hati kita dalam kebenaran, dan menunjukkan kepada kita jalan yang lurus.

Poin yang penting disampaikan:

1. Seorang muslim tidak boleh loyal kepada orang kafir baik selama hidupnya maupun matinya.
2. Boleh untuk menimbun jazadnya untuk mencegah bahaya dan bukan penghormatan atau loyalitas terhadap agama. (AlWala’ Wal Bara’).

Dalam Madzhab Hambali dan Maliki : Demikian juga haram mengiringi Jenazah orang kafir, karena merupakan bentuk penghormatan (ikraaman Lil mayit).

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan mengiringi Jenazah orang kafir termasuk penghormatan Kepada mayit karena orang kafir tidak berhak dihormati tetapi direndahkan atau dihinakan.

Dalam Madzhab Syafi’i memberikan kelonggaran dalam kondisi tertentu, yaitu jenazahnya merupakan kerabat dekat. Sebagai bentuk menunaikan hak kerabat.

Dalam Al-Mushannaf disebut Ibnu Umar pernah ditanya seseorang yang saudaranya meninggal dalam keadaan kafir, maka beliau membolehkan mengiringi jenazahnya dan berjalan di depannya.

Dalam Al-Majmu’ disebutkan boleh bagi seorang muslim mengikuti jenazahnya yang masih kafir.

Wallahu a’lam.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta padaMu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun padaMu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم