Kajian Rutin

Darinya (Abu Hurairah) juga, Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata, yaitu: (1) imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah, (3) seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, dan (5) orang yang dibujuk oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi rupawan, lalu dia mengatakan: “Sungguh aku takut kepada Allah,’ (6) serta orang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan (7) orang yang berdzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian kedua matanya mencucurkan air mata.” (Muttafaq ‘alaih)

Petunjuk dan Rahmat adalah maqam yang agung. Dan maqam ini akan didapatkan pada seorang hamba dengan menerapkan prinsip-prinsip atau kaidah yang bermanfaat bagi hidupnya saat musibah menimpanya, yaitu:

Ketujuh, apa yang menimpa orang Mukmin di dunia ini berupa kemenangan para musuh atasnya dan terkadang berupa gangguan adalah suatu hal yang wajar dan semestinya.

8. Kedelapan, ujian yang ditimpakan terhadap orang-orang Mukmin berupa kekalahan dari musuhnya, terkadang pemaksaan dan pengusiran oleh mereka di dalamnya terdapat hikmah yang agung, tidak mengetahui hikmahnya secara rinci kecuali Allah Azza wa Jalla.

1. Membaca Al-Qur’an sambil berjalan:

Pasal: Apabila seseorang membaca Al-Qur’an sambil berjalan, lalu melewati sekelompok orang, dianjurkan baginya memutuskan bacaannya dan memberi salam kepada mereka, kemudian kembali lagi meneruskannya.

Jika mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik.

2. Membaca Al-Qur’an sambil duduk:

Andaikata membaca sambil duduk, lalu ada orang lewat di depannya, maka dikatakan oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Yang lebih utama adalah tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an, karena ia sibuk membaca.”

Dan ia berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah ia menjawab dengan isyarat.”

la berkata pula: Jika ia ingin menjawab dengan lafadh salam, ia boleh menjawabnya, kemudian mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya. Namun, pendapat yang dikatakannya itu lemah. Yang jelas adalah kewajiban menjawab dengan ucapan.

Di antara hukum-hukum yang terkait dengan jenazah yaitu memandikan mayit, bagi orang yang mengetahui kematian orang tersebut dan memiliki kemampuan untuk memandikannya.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang yang meninggal dunia karena tersepak hewan tunggangannya,

اِغْسِلُوْهُ بِماَءِ وَسِدْرِ

“Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1265) dan Muslim no. 2883.

Soal memandikan mayit ini sudah menjadi kebiasaan dan umum dilakukan di kalangan kaum muslimin.

Dan Imam Syafii – semoga Allah merahmatinya – tumbuh pada masa awal kemunculan dua mazhab serta penyusunan dasar-dasar dan cabang-cabangnya. Beliau melihat karya para ulama terdahulu dan menemukan hal-hal yang membatasi kemampuannya mengikuti jalur mereka, di antaranya:

Beliau melihat mereka menerima hadits mursal dan munqathi’ sehingga ada celah kerancuan di dalamnya;
Dan prinsip menggabungkan perbedaan belum tertata dengan baik sehingga ada kekeliruan dalam ijtihad mereka.

Beliau pun menetapkan prinsip-prinsip tersebut dan mencatatnya dalam sebuah kitab, yang merupakan catatan pertama dalam Ushul Fiqih [Kitab Ar-Risalah]. Selain itu, ucapan para sahabat dikumpulkan pada zaman Syafii sehingga banyak, berbeda, dan bercabang. Beliau melihat banyak di antaranya bertentangan dengan hadits sahih ketika mereka belum sampai kepada hadits itu, dan menyadari bahwa para salaf senantiasa merujuk kepada hadis dalam hal semacam itu. Maka beliau meninggalkan berpegang pada pendapat mereka kecuali jika ada kesepakatan, sambil berkata: “Mereka manusia dan kita juga manusia.”

Mencela masa, seperti perkataan mereka:

وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ

“Tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa “. (QS. al-Jatsiyah : 24 ).

Penjelasan:

Yang menisbatkan peristiwa kejadian kepada masa adalah Atheis. Jika keburukan menimpa mereka maka mereka menisbatkan keburukan tersebut kepada masa, dan mencela masa karena hal tersebut. Yang wajib adalah menisbatkan segala sesuatu kepada Allah ﷻ. Adapun masa, hanyalah sebuah waktu yang diciptakan diantara makhluk-makhluk Allah, tidak memiliki kendali.

“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”.(QS. al-Jatsiyah : 24).

Karena ini merupakan pengingkaran terhadap akhirat dan hari kebangkitan: “kita mati dan kita hidup”, sebagian manusia mati dan sebagian yang lain hidup, mereka mengatakan : “rahim melahirkan dan bumi menelan”. Mereka juga berkata : “ini merupakan tabiat kehidupan; tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”.

Bab tentang keutamaan menangis karena takut kepada Allah ﷻ, artinya karena takut kepada-Nya dan rindu kepada-Nya, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Hal ini karena menangis memiliki sebab: terkadang takut, terkadang sakit, terkadang rindu, dan sebab-sebab lain yang diketahui manusia.

447. Dari Anas Radhiyallahu’anhu, ia bercerita: “Rasulullah ﷺ pernah memberikan khutbah yang belum pernah aku dengar sebelumnya sama sekali, yakni beliau bersabda: ‘Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ Maka para Sahabat beliau menutup wajah mereka sambil terisak-isak.” (Muttafaq ‘alaih)

448. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk Neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah sehingga air susu masuk kembali ke dalam payudara. Dan debu bekas perjuangan di jalan Allah itu tidak akan pernah dapat berkumpul dengan asap Neraka Jahannam.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)

Petunjuk dan Rahmat adalah maqam yang agung. Dan maqam ini akan didapatkan pada seorang hamba dengan menerapkan prinsip-prinsip atau kaidah yang bermanfaat bagi hidupnya saat musibah menimpanya, yaitu:

1. Pertama, apa yang menimpa orang-orang beriman dari berbagai keburukan, ujian dan gangguan adalah tidak sama dengan apa yang menimpa orang-orang kafir. Dan memang demikianlah kenyataan yang ada. Demikian pula dengan apa yang menimpa orang-orang ahli kebaikan di dunia ini, tidak sama dengan apa yang menimpa orang-orang ahli dosa, kefasikan dan kezaliman.

2. Kedua, apa yang ditimpakan Allah terhadap orang-orang beriman akan disikapi dengan ridha dan mengharap pahala kepada-Nya, jika mereka tidak memiliki ridha, maka mereka akan sabar dan tetap mengharap pahala dari Allah. Dan hal tersebut akan meringankan beban ujian yang dipikulnya. Sebab jika mereka menyaksikan imbalan yang bakal diterimanya, maka akan terasa ringan ujian dan beban yang dipikulnya.

Al-Qardhu secara bahasa berarti al-qath’u (memotong). Sedangkan menurut syariat adalah memberikan pinjaman yaitu dengan menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.

Misalnya, seseorang yang berkata kepada orang yang mau berbuat baik, “Tolong pinjami saya uang atau harta atau binatang dan akan saya bayar pada waktu tertentu. Jika waktu pelunasan tiba maka saya akan mengembalikannya padamu.” Orang itu lalu memberikan pinjaman.

Allah Ta’ala menciptakan setelah era para Tabi’in generasi dari para pengemban ilmu [ulama], yang mengambil ilmu dari mereka, dan melanjutkan jalan menurut teladan para guru mereka. Mereka berpegang pada hadits-hadits Rasulullah ﷺ dan mengambil hujah dari perkataan para Sahabat dan Tabi’in, karena mereka mengetahui bahwa itu baik berupa hadits yang disampaikan dari Rasulullah ﷺ yang mereka ringkas sehingga dijadikan mursal (terputus sanad), atau berupa ijtihad yang mereka keluarkan berdasarkan nash dan pendapat mereka sendiri. Mereka adalah yang terbaik dalam segala hal dibandingkan orang-orang setelah mereka, paling sering tepat [banyak benarnya], paling awal zamannya dan paling memahami ilmu, sehingga wajib diamalkan kecuali jika terjadi perbedaan dan hadits Rasulullah ﷺ bertentangan nyata dengan pendapat mereka.