Tag Archives: Ustadz Wadi

Terdapat solusi dari pokok masalahnya (penyakit homoseks ini). Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya.

Pembicaraan tentang terapi penyembuhan penyakit ini berkisar pada dua jalan berikut ini:

1. Mencegah faktor-faktor pendukungnya sebelum terkena penyakit ini.
2. Menghilangkan penyakit ini setelah terkena penyakit ini.

Keduanya merupakan perkara mudah bagi orang yang dimudahkan Allah. Sebaliknya, orang-orang yang tidak dibantu oleh Dia akan terhalang darinya. Sungguh, kendali dari seluruh perkara berada di tangan-Nya.

Jalan pencegahan dari timbulnya penyakit ini meliputi dua cara…..

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ sabdanya: “Ada tujuh macam orang yang akan dapat diberi naungan oleh Allah dalam naunganNya pada hari tiada naungan melainkan naunganNya [1] -yakni pada hari kiamat-, yaitu: imam -pemimpin atau kepala- yang adil, pemuda yang tumbuh -sejak kecil- dalam beribadah kepada Allah Azza wa jalla, seorang yang hatinya tergantung -sangat memperhatikan- kepada masjid-masjid, dua orang yang saling cinta-mencintai karena Allah, keduanya berkumpul atas keadaan yang sedemikian serta berpisah pun demikian pula, seorang lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan serta kecantikan wajah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya ini takut kepada Allah,” -ataupun sebaliknya yakni yang diajak itu ialah wanita oleh seorang lelaki-, seorang yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu menyembunyikan amalannya itu -tidak menampak-nampakkannya-, sehingga dapat dikatakan bahwa tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya dan seorang yang ingat kepada Allah di dalam keadaan sepi lalu melelehkan airmata dari kedua matanya.” [2] (Muttafaq ‘alaih)

Notes:

[1] Naungan Tuhan ini dapat diartikan secara sebenarnya yakni naungan dari ‘arasy nya Tuhan, tetapi dapat pula diartikan sebagai kinayah yakni dalam lindungan Tuhan dan ditempatkan di tempat yang dimuliakan.

[2] Meleleh air matanya, maksudnya ialah karena ingatannya memusat betul-betul kepada Allah, merasa banyak dosa yang dilakukan, juga karena amat rindu untuk segera bertemu denganNya dalam keadaan diridhai olehNya.

Menyamakan persetubuhan sesama pria dengan perbuatan lesbi yang dilakukan oleh kaum wanita termasuk qiyas yang salah. Sebab, tidak ada peristiwa “masuknya kemaluan” pada perbuatan lesbi. Lesbi itu setara dengan percumbuan antar pria yang tanpa disertai masuknya kemaluan.

Disebutkan dalam sebagian atsar yang marfu’ “Jika seorang wanita mendatangi wanita yang lain maka keduanya adalah pezina.”

———

Penggalan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VIII/233), dari Abu Musa, dan beliau mendha’ifkan hadits ini dengan ucapannya, “Muhammad bin “Abdurrahman tidak saya kenal, hadits ini munkar dengan sanad ini.”

Hal ini dikomentari oleh penulis kitab al-Jauhar an-Naqi dengan menyatakan bahwa Muhammad adalah perawi yang dikenal, tetapi berada dalam kedustaan. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjadikan kondisi ini sebagai cacat hadits tersebut dalam at-Talkhiisul Habiir (V/55).

——–

Namun, tidak terdapat hukuman hadd atas perbuatan ini, disebabkan tidak adanya peristiwa masuknya kemaluan. Meskipun demikian, perbuatan tersebut dikategorikan ke dalam zina yang bersifat umum, seperti halnya zina mata, tangan, kaki, dan mulut.

– وعن أنسٍ – رضي الله عنه – عن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاوَةَ الإيمانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ في الكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ الله مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ في النَّارِ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

374. Dari Anas Radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ , sabdanya: “Ada tiga perkara, barangsiapa yang tiga perkara itu ada di dalam diri seorang, maka orang itu dapat merasakan manisnya keimanan yaitu: (1) jika Allah dan RasulNya lebih dicintai olehnya daripada yang selain keduanya, (2) jika seorang itu mencintai orang lain dan tidak ada sebab kecintaannya itu melainkan karena Allah, dan (3) jika seorang itu membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke dalam api neraka.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadits ini memiliki makna yang agung, dimana mengajarkan kepada kita nilai rasa (الذَّوْقُ) dalam beribadah. Karena banyak yang beribadah dengan jenis dan waktu yang sama, tetapi memiliki rasa dan nilai yang berbeda, itulah manisnya nilai dalam beribadah.

Maka, orang yang berwudhu di rumah, berdo’a dan berjalan serta menunggu di masjid akan berbeda nilainya dengan orang yang berangkat tergesa-gesa dan berwudhu di masjid. Keduanya berbeda dalam merasakan manisnya iman.

Dalam bab ini dijelaskan empat poin:

Keutamaan cinta karena Allâh ﷻ
Benci karena Allâhﷻ
Memberitahukan orang yang dicintainya
Menjawab orang yang mencintai dirinya

📖 Mukadimah

Imam An-Nawawi Rahimahullah membawakan ayat-ayat Al-Qur’an:

قَالَ الله تَعَالَى: مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًۢا [الفتح: 29]

Allah Ta’ala berfirman: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Fath: 29)

Hadits 15:

وعن ابن عمر رضي الله عنهما، قَالَ: كَانَ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – يزور قُبَاءَ رَاكِبًا وَمَاشِيًا، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. وفي رواية: كَانَ النَّبيُّ – صلى الله عليه وسلم – يَأتي مَسْجِد قُبَاءَ كُلَّ سَبْتٍ رَاكبًا، وَمَاشِيًا وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.

373. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Nabi ﷺ berziarah ke Quba'[*)] sambil berkendaraan serta berjalan, kemudian beliau bershalat dua rakaat.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan: “Nabi ﷺ mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu sambil berkendaraan dan berjalan dan Ibnu Umar juga melakukan seperti itu.”

Keutamaan Masjid Quba

Seperti yang dijelaskan dalam hadits di atas bahwa pahalanya dihitung seperti umroh, tetapi perlu diketahui bahwa ini bisa dicapai jika seseorang bersuci dari rumahnya ketika menuju masjid quba tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits “Barangsiapa bersuci di rumahnya”.

*) Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali yang dibangun dalam Islam. Quba’ adalah sebuah desa yang jaraknya dari Madinah ada sefarsakh atau kira-kira 5 km. Di situ ada masjidnya yang terkenal, yakni masjid yang didirikan oleh Nabi ﷺ yang pertama kali, sedang yang kedua ialah masjid Nabawi di Madinah.

Dalam riwayat lain, Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءٍ فَصَلَّى فِيهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ

“Siapa yang bersuci di rumahnya, lalu ia mendatangi masjid Quba’, lantas ia melaksanakan shalat di dalamnya, maka pahalanya seperti pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah, no. 1412, An-Nasai, no. 700. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Hadits ini menjelaskan investigasi Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu yang mencari seseorang dari Yaman, berdasarkan wahyu dari Rasulullah ﷺ dan ini menunjukkan benarnya perkataan Rasulullah ﷺ.

Umar bin Khathab mencari Uwais bin ‘Amir dengan menanyakan asal yang umum sampai ke yang khusus agar tidak salah orang. Beliau memulai dengan menyebut asal dari Murad kemudian dari Qaran kemudian bekas penyakit kulit yang berbekas.

Uwais bin ‘Amir adalah orang yang mustajab do’anya karena sangat berbakti kepada ibunya. Sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebut agar Umar memohon untuk dimintakan ampun.

Uwais bin ‘Amir memiliki sifat yang qona’ah dan tawadhu, tidak mau dimuliakan dan lebih menyukai sebagai golongan masyarakat miskin pada umumnya, tidak memanfaatkan untuk dinaikkan kedudukannya padahal Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu menawarkan untuk dipermudah urusan safarnya. Dia hanya berkata “Saya lebih senang menjadi golongan manusia yang fakir miskin.”

Hadits ini juga menyebut keadaan zaman ini, dimana orang melihat seseorang dari penampilan fisiknya yang kaya agar dia menghormatinya. Hingga pada hadits kedua orang-orang mencela Uwais bin ‘Amir Al-Qarni.

Hadits 12:

وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – عن النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «النَّاسُ مَعَادِنٌ كَمَعَادِنِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، خِيَارُهُمْ في الجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ في الإسْلاَمِ إِذَا فَقهُوا، وَالأرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، ومَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ». رواه مسلم. وروى البخاري قوله: «الأَرْوَاحُ … » إلخ مِنْ رواية عائشة رضي الله عنها

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi ﷺ sabdanya: “Para manusia ini adalah bagaikan benda logam, sebagaimana juga logam emas dan perak. Orang-orang pilihan diantara mereka di zaman Jahiliyah adalah orang-orang pilihan pula di zaman Islam, jikalau mereka menjadi pandai -dalam hal agama. Ruh-ruh itu adalah sekumpulan tentara yang berlain-lainan, maka mana yang dikenal dari golongan ruh-ruh tadi tentulah dapat menjadi rukun damai, sedang mana yang tidak dikenalinya dari golongan ruh-ruh itu tentulah berselisihan -maksudnya ruh baik berkumpulnya ialah dengan ruh baik, sedang yang buruk dengan yang buruk.” (Riwayat Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan sabda Nabi ﷺ Al-Arwah dan seterusnya itu dari riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha.

Keterangan: Dalam menafsiri pengertian perihal ruh itu ada yang saling kenal mengenal yakni ‘Ta’aruf dan ada yang tidak saling kenal-mengenal yakni Tanakur, maka Imam Ibnu Abdissalam berkata sebagai berikut: “Hal itu yakni kenal atau tidak kenal, maksudnya adalah mengenai keadaan sifat. Artinya andaikata Anda mengetahui seorang yang berlainan sifatnya dengan Anda, misalnya Anda seorang yang berbakti kepada Allah dan yang dikenal itu orang yang tidak berbakti atau mengaku ketiadaan Allah, sekalipun kenal orangnya, tetapi tidak saling kenal mengenal jiwa, ruh ataupun faham yang dianutnya. Sebaliknya jika orang itu sama dengan Anda perihal keadaan sifatnya, sama-sama berbaktinya kepada Allah, sama-sama berjuang untuk meluhurkan kalimat Allah, sama-sama membenci kepada kemungkaran dan kemaksiatan, maka selain kenal orangnya, juga sesuai jiwanya, sesuai ruhnya dan sejalan dalam faham yang dianutnya. Oleh sebab itu dalam sebuah hadis lain disebutkan bahwa seorang yang merasa jiwanya itu masih lari atau enggan mengikuti ajakan orang yang mulia dan utama amalannya, pula bagus kelakuannya, hendaknya segera mencari sebab-sebabnya, sekalipun ia sudah mengaku sebagai manusia muslim. Selanjutnya setelah penyakitnya ditemukan, hendaknya secepatnya diubati dan dibuang apa yang menyebabkan ia sakit sedemikian. Cara inilah yang sebaik-baiknya untuk menyelamatkan diri dari sifat yang buruk, sehingga ruhnya dan jiwanya dapat saling berkenalan dengan golongan orang-orang yang baik pula ruh dan jiwanya.”

▪️ Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata:

Mengingat kerusakan homoseks merupakan salah satu kerusakan terbesar, maka hukumannya di dunia dan di akhirat juga merupakan hukuman terberat. Terdapat perbedaan pendapat tentang hukuman
homoseks, apakah lebih berat daripada zina, lebih ringan, ataukah sama saja? Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

1. Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ali bin Abi Thalib, Khalid bin al-Walid, Abdullah bin az-Zubair, ‘Abdullah bin ‘ Abbas, Jabir bin Zaid, ‘Abdullah bin Ma’mar, az-Zuhri, Rabi’ah bin Abdurrahman, Malik, Ishaq bin Rahawaih, Imam Ahmad (berdasarkan riwayat yang paling shahih dari dua riwayat yang datang dari beliau) dan asy-Syafi’i – dalam salah satu pendapatnya- berpendapat bahwa hukuman homoseks lebih berat daripada hukuman zina. Pendapat ini menyatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh, bagaimanapun keadaan pelakunya, baik muhshan (sudah menikah) maupun bukan.

2. Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin al-Musayib, Ibrahim an-Nakha’i, Qatadah, al-Auza’i, Asy-Syafi’i -berdasarkan zhahir madzhabnya -Imam Ahmad – berdasarkan riwayat kedua dari beliau–Abu Yusuf, dan Muhammad berpendapat bahwa hukuman homoseks sama dengan hukuman zina.

3. Al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman homoseks lebih ringan daripada hukuman zina, yaitu ta`zir (hukuman lain yang tidak ditetapkan syari’at).

Orang-orang yang menganut pendapat ketiga ini beralasan bahwa Allah dan Rasul-Nya belum menetapkan hukuman hadd tertentu dalam maksiat ini sehingga hukumannya adalah ta`zir, seperti orang yang makan bangkai, darah, atau daging babi.

Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Seseorang itu beserta orang yang dicintainya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam suatu riwayat lain disebutkan: Abu Musa Radhiyallahu’anhu berkata: “Nabi ﷺ ditanya: “Ada seorang mencintai sesuatu kaum, tetapi ia tidak pernah menemui mereka itu, bagaimanakah?” Beliau ﷺ lalu bersabda: “Seseorang itu beserta orang yang dicintainya.” (HR Bukhari Muslim)

وعن ابن مسعود – رضي الله عنه – قَالَ: جاء رجلٌ إلى رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: يَا رَسُول الله، كَيْفَ تَقُولُ في رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ؟ فَقَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: «المَرْءُ مَعَ مَنْ أحَبَّ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

11. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu katanya: “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata: “Ya Rasulullah, bagaimanakah pendapat Tuan mengenai seorang yang mencintai sesuatu kaum, tetapi tidak pernah menemui kaum itu?” [1)] Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang itu beserta orang yang dicintainya.” (Muttafaq ‘alaih)

1) Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban ada tambahannya sesudah kata-kata “Walam yalhaq bihim”, sedang tambahannya itu berbunyi: Artinya: “Dan orang itu tidak dapat mengamalkan sebagaimana yang diamalkan oleh kaum yang dicintainya itu.”

Hadits ini merupakan kabar gembira bagi hamba-Nya yang beriman yang bermakna agung. Seseorang terkadang tidak bisa beramal dengan amalan yang banyak dan Allâh ﷻ menyertakan bersama orang-orang yang baik tersebut.

Ada jiwa yang tidak mendorong ke suatu amalan yang baik, maka setidaknya dia mencintai orang yang baik dan mencintai majelis-majelis mereka, jangan sebaliknya. Karena seseorang akan bersama orang yang dicintainya. Minimal kita akan terpacu untuk mengikuti jejak mereka.

Kalau yang menjadi idolanya adalah para artis atau model, atau yang serupanya, maka mereka akan diikutsertakan dengan mereka meskipun tidak ikut dengan mereka karena sebab kecintaan kepada mereka.

Namun jika para Ummahat mencintai para Ummahatul Mukminun (karena tidak bisa dinikahi sahabat Nabi ﷺ yang lain) atau dari perempuan yang bertakwa, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka meskipun dia beramal tidak sampai sederajat dengan mereka.