Tag Archives: minhajul muslim

Luqathah ialah sesuatu yang tercecer di tempat yang tidak dimiliki siapa pun. Contohnya orang muslim menemukan beberapa uang dirham atau pakaian di salah satu jalan tertentu. Ia khawatir barang-barang tersebut hilang sehingga ia memungutnya. Hukum Luqathah Memungut luqathah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah

اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

“Umumkan tempatnya beserta apa yang ada di dalamnya, dan talinya, kemudian umumkan selama setahun, Jika pemiliknya datang, berikan kepadanya. Dan jika pemiliknya tidak datang, maka terserah kepadamu.” (HR. Muslim no. 1722 dan Bukhari no. 2428).

Al-Ghashbu ialah mempergunakan harta orang lain dengan paksa dan dengan cara yang tidak dibenarkan. Seperti seseorang yang merampas rumah orang lain kemudian menempatinya, atau merampas kendaraan orang lain kemudian menaikinya.

Hukum Al-Ghashbu

Al-Ghashbu hukumnya haram berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah ﷻ:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)

Wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan, baik berupa uang atau lainnya kepada orang lain agar dijaga untuk dikembalikan kepada pemiliknya kapan pun ia diminta.

Perbedaan utama wadiah dan amanah adalah wadiah adalah akad penitipan, sementara amanah adalah prinsip kepercayaan yang menjadi dasar dalam akad wadiah. Maka,Setiap wadiah adalah Amanah dan tidak setiap Amanah wadiah. Karena wadiah khusus ada barang titipan, sementara Amanah secara umum.

‘Ariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga batas waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Contohnya, seorang muslim meminjam pensil untuk menulis, atau pakaian untuk dikenakan, kemudian ia mengembalikannya.

Al-Qardhu secara bahasa berarti al-qath’u (memotong). Sedangkan menurut syariat adalah memberikan pinjaman yaitu dengan menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut.

Misalnya, seseorang yang berkata kepada orang yang mau berbuat baik, “Tolong pinjami saya uang atau harta atau binatang dan akan saya bayar pada waktu tertentu. Jika waktu pelunasan tiba maka saya akan mengembalikannya padamu.” Orang itu lalu memberikan pinjaman.

Fadhlul ma’i ialah orang Muslim mempunyai air sumur, atau air sungai yang melebihi kebutuhannya, baik untuk minum, mengairi tanaman maupun pohon.

Hukum Fadhlul Ma’i

Hukum fadhlul ma’i (kelebihan air dari kebutuhan) ialah diberikan kepada kaum muslimin yang membutuhkannya secara gratis, (bukan tanah pribadi) karena Rasulullah bersabda:

لَا يُبَاعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُبَاعَ بِهِ الْكَلَأُ

“Kelebihan air tidak boleh dijual sehingga ia seperti menjual rerumputan” (Shahih Muslim # 2929)

Rasulullah juga bersabda:

لَا يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ

“Kelebihan air tidak boleh ditahan sehingga seolah-olah ia menahan rerumputan.” (Shahih Muslim 2927)

Rahn (gadai) adalah menjamin utang dengan barang yang utang dimungkinkan bisa dibayar dengan barang itu atau dengan penjualan barang itu. Misalnya, si A ingin meminjam uang kepada si B. Si B minta kepada si A agar memberikan jaminan berupa binatang, perhiasan, ataupun yang lainnya.

Sehingga ketika jatuh tempo waktu pembayaran tiba dan si A belum bisa membayar makautang tersebut bisa dilunasi dengan jaminan yang ada di tangan si B. Orang yang memberi utang (B) disebut juga murtahin (orang yang menerima barang padaian). Sementara itu orang yang berutang disebut juga rahin (orang yang menggadaikan) dan barang yang digadaikan disebut rahn (barang yang digadaikan).

Wakalah adalah permintan kepada seseorang untuk mewakilkan atau menggantikan dirinya dalam hal-hal yang diperbolehkan untuk diwakilkan, seperti hal menjual, membeli, persengketaan, dan sebagainya.

(Tidak pantas menjadikan orang kafir sebagai mewakili kaum muslimin dalam urusan jual dan beli, khawatir jatuh pada hal-hal yang haram. Tidak layak menjadikan orang kafir untuk mewakili dalam menangkap seorang muslim. Karena dikhawatirkan orang kafir akan berbuat sewenang-wenang terhadap muslim itu).

Dhaman (Penjamin): Dhaman adalah menanggung kewajiban dari orang yang memiliki kewajiban. Misalnya, ada seseorang yang mengatakan “Dia adalah tanggungan saya, dia saya yang jamin” Oleh karena itu dia menjadi penjamin. Pemilik hak berhak untuk menuntut haknya kepada penjamin.

Kafalah: Kaftalah adalah Akad yang menetapkan iltizam (melazimkan) hak tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya di hadapan pengadilan.

Rahn (Gadai): Rahn (gadai) adalah menjamin utang dengan barang yang utang dimungkinkan bisa dibayar dengan barang itu atau dengan penjualan barang itu. Misalnya, si A ingin meminjam uang kepada si B. Si B minta kepada si A agar memberikan jaminan berupa binatang, perhiasan, ataupun yang lainnya.

Sehingga ketika jatuh tempo waktu pembayaran tiba dan si A belum bisa membayar makautang tersebut bisa dilunasi dengan jaminan yang ada di tangan si B. Orang yang memberi utang (B) disebut juga murtahin (orang yang menerima barang gadaian). Sementara itu orang yang berutang disebut juga rahin (orang yang menggadaikan) dan barang yang digadaikan disebut rahn (barang yang digadaikan).

Mayoritas para sahabat, tabi’in dan imam-imam madzhab membolehkan aktivitas Muzara’ah. Sementara yang lain melarangnya. Dalil yang membolehkannya adalah Rasulullah pernah bermuamalah dengan mempekerjakan penduduk Khaibar, dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwasanya beliau mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Pada saat itu, Rasulullah memberikan istri-istrinya sebanyak 100 Wasyaq (30 wasyaq korma dan 20 wasyaq gandum).

Adapun yang berpendapat bahwa Muzara’ah itu dilarang adalah karena ada sesuatu yang tidak jelas, Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Raai’ bin Khudaij, “Kami adalah orang Anshar yang paling banyak memiliki kebun dan kanu memperkerjakan orang untuk menggarap ladang. Apabila ada hasilnya penggarapnya mendapatkan bagian dan bila tidak maka tidak dapat bagian. Kemudian kami dilarang mempraktikkan ini”. (HR. Al Bukhari , Kitab Asy Syuruth, 7, dan Muslim, Kitab Al Buyu’, 99).

Mudharabah (pinjaman) adalah si A memberikan sejumlah uang kepada si B untuk modal usahanya dan keuntungan dibagi diantara keduanya sesuai yang yang telah disyaratkan kepadanya. Adapun jika ada kerugian maka ditanggung oleh pemilik modal saja. Sedangkan kerugian yang ditanggung pekerja hanyalah usaha berpikir dan fisik saja dan dia tidak dibebankan oleh kerugian dalam bentuk lain.

Allah memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akherat. Renungkanlah firman-Nya:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Carilah negeri AKHERAT pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia“. (QS. Al-Qosos: 77).

Dalam bab ini terdapat delapan pembahasan materi