بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Ain Khalid – Doha, 6 Dzulhijjah 1446 / 2 Juni 2025
Facebook Video: Assunnah Qatar
Bagian Kelima: Muamalat | Pasal: Beberapa Akad
Materi Ketujuh: Dhaman, Kafalah, Rahn, Wakalah, dan Shulh
A. Dhaman (Penjamin).
1. Definisinya
Dhaman adalah menanggung kewajiban dari orang yang memiliki kewajiban. Misalnya, ada seseorang yang mengatakan “Dia adalah tanggungan saya, dia saya yang jamin” Oleh karena itu dia menjadi penjamin. Pemilik hak berhak untuk menuntut haknya kepada penjamin.
2. Hukumnya
Hukum Dhaman adalah jaiz (boleh). Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
قَالُوا۟ نَفْقِدُ صُوَاعَ ٱلْمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ
“Siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban onta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72)
Maksudnya bahwa Nabi Yusuf menjadi penjamin.
Begitu pula berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, “Penjamin adalah orang yang berutang” (HR. Abu Dawud, Kitab Al Buyu’, 90 dan At-Tirmidzi, 2120, dinilai Hadits hasan).
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kecuali salah seorang dari kalian menjamin” terhadap Jaki laki yang meninggal dunia dan dia memiliki tanggungan utangyang belum dilunasi, sehingga beliau belum mau menyalati laki-laki itu. (HR. Al Bukhari).
3. Hukum-hukum Terkait
- Dalam Dhaman, seorang penjamin haruslah bersikap ridha. Sedangkan orang yang dijamin tidak harus bersikap ridha.
- Tanggungan (utang) seorang yang dijamin tidak akan lunas, kecuali dengan lunasnya utang penjamin. Jika tanggungan yang dijamin bebas maka itu berarti tanggungan penjamin juga sudah bebas.
- Tidak dianggap dhaman, bila tidak mengenal orang yang dijamin. Jadi, seorang laki-laki tidak boleh menjamin seseorang yang tidak dikenalnya sama sekali. Karena dhaman adalah perbuatan tabarru’ atau perbuatan baik.
- Dhaman hanya terjadi pada hak yang tetap dalam hal tanggungan atau hal hal yang menyebabkan adanya ketetapan, seperti jualah.
- Tidak ada masalah bila ada banyak penjamin, sebagaimana tidak menjadi masalah seorang penjamin menjamin orang lain.
Gambaran tentang penulisan pernyataan dhaman
Pada tanggal….para saksi datang menemui saya. Mereka menyaksikan bahwa dia telah menjamin si fulan…dengan nilai nominal……(tunai, diangsur atau ditunda hingga…) sebagai sebuah jaminan yang dibenarkan syariat Islam. Sehubungan dengan tanggungan dan utangnya, saya memuluskan dengan kemampuan yang ada untuk menjaminnya. Semua ini dilakukan dengan mengetahui makna dhaman dan segala yang menjadi keharusan dan ketetapan menurut syariat Islam. Sementara itu orang yang dijamin menerima jaminannya itu pada tanggal…
B. Kafalah (Penanggung Diri/Sponsor)
1. Definisinya
Kaftalah adalah Akad yang menetapkan iltizam (melazimkan) hak tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya di hadapan pengadilan.
2. Hukumnya
Hukum kafalah adalah boleh (jaiz). Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
قَالَ لَنْ أُرْسِلَهُۥ مَعَكُمْ حَتَّىٰ تُؤْتُونِ مَوْثِقًا مِّنَ ٱللَّهِ لَتَأْتُنَّنِى بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يُحَاطَ بِكُمْ ۖ
“Yakub berkata, “ku sekali kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali kecuali jika kamu dikepung musuh.” (Yusuf: 66)
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidak ada kafalah dalam hukuman hudud,” (HR Al-Baihaqi). Begitu pula dalam sabdanya, “Penjamin itu adalah orang yang berutang”
3. Hukum-hukum Terkait
- Disyaratkan dalam kafalah, penjamin mengenal orang yang dijamin.
- Yang perlu diperhatikan dalam kafaalah adalah keridhaan penjamin.
- Jika seseorang menjamin dalam bentuk jaminan keuangan, kemudian orang yang dijamin wafat maka penjamin tetap menjamin uang itu. Jika seseorang menjamin dengan jaminan kehadiran orang yang dijamin di hadapan hakim maka tanggungannya menjadi gugur.
- Kafalah hanya berlaku dalam hal-hal yang boleh diwakilkannya, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tanggungan seperti tanggungan berbentuk uang. Adapun yang tidak bisa diwakilkan, seperti dalam masalah hudud dan qishash, Maka Kafalah tidak dibenarkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ : tidak ada kafalah dalam hukuman hudud.
C. Rahn (Gadai)
1. Definisinya
Rahn (gadai) adalah menjamin utang dengan barang yang utang dimungkinkan bisa dibayar dengan barang itu atau dengan penjualan barang itu. Misalnya, si A ingin meminjam uang kepada si B. Si B minta kepada si A agar memberikan jaminan berupa binatang, perhiasan, ataupun yang lainnya.
Sehingga ketika jatuh tempo waktu pembayaran tiba dan si A belum bisa membayar makautang tersebut bisa dilunasi dengan jaminan yang ada di tangan si B. Orang yang memberi utang (B) disebut juga murtahin (orang yang menerima barang gadaian). Sementara itu orang yang berutang disebut juga rahin (orang yang menggadaikan) dan barang yang digadaikan disebut rahn (barang yang digadaikan).
2. Hukumnya
Hukum Rahn adalah jaiz (boleh). Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah:283)
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah ﷺ,
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya, dia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” (Hadits Hassan riwayat Hakim dan Ibnu Majah).
Anas Radhiyallahu’anhu berkata, “Rasulullah ﷺ mengadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi, kemudian beliau mengambil gandum untuk keluarganya” (HR. Al Bukhari).
3. Hukum-hukum Terkait
1. Rahn (barang gadai) harus berada ditangan murtahin (yang menerima barang gadaian) dan bukan rahin (penggadai). Jika penggadai ingin barang gadaiannya dikembalikan maka dia tidak berhak untuk mengambilnya. Sedangkan orang yang menerima gadai berhak mengembalikannya, jika haknya telah ditunaikan.
2. Barang-barang yang tidak boleh dijual belikan tidak boleh pula digadaikan, kecuali hasil pertanian dan buah buahan sebelum keduanya masak. Jual beli hasil pertanian dan buah-buahan sebelum masak diharamkan. Namun untuk pegadaian keduanya sebelum masak dibolehkan. Karena hal itu bagi orang yang menerima gadai tidak ada gharar. Sebab, utangnya tetap dalam tanggungan, walau hasil pertanian dan buahnya rusak.
3. Jika waktu gadai telah habis maka murtahin meminta rahin melunasi utangnya. Jika rahin melunasi utangnya maka murtahin mengembalikan barang gadaian. Namun jika tidak maka murtahin mengambil seluruh barang gadaian yang dilahan di bawah kekuasaannya. Murtahin bisa memanfaatkan barang gadaian itu menjadi sesuatu yang menghasilkan. Jika tidak, bisa menjualnya dan dia mengambil seluruh haknya. Apabila nilai barang gadaian melebihi dari utang rahin maka kelebihan itu dikembalikan kepada rahin. Sedangkan jika sebaliknya, nilai barang dagangan kurang dari utang rahin maka sisanya itu menjadi tanggungan rahin.
4. Barang gadaian menjadi tanggung murtahin, jika terjadi kerusakan karena ulahnya. Namun jika tidak maka itu menjadi tanggung jawab rahin.
5. Rahn boleh dititipkan kepada orang yang dipercaya selain murtahin, Sebab,yang dijadikan ukuran adalah adanya perjanjian, dan itu bisa dilakukan di hadapan orang yang dipercaya.
6. Jika rahin mensyaratkan bahwa jika sudah jatuh tempo barang gadaian tidak boleh dijual maka akad pegadaian menjadi batal. Demikian pula jika murtahin mengajukan syarat bahwa jika waktu jatuh tempo tiba dan utang belum dilunasi oleh rahin maka barang gadaian menjadi milik murtahin. Jika mensyaratkan seperti ini maka akad pegadaian menjadi batal. Sebab, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannyu, dia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
7. Jika rahin dan murtahin berbeda pendapat tentang besarnya utang maka rahin diminta mengucapkan tentang besarnya utang dan ucapannya ini disertai dengan sumpah, kecuali jika murtahin mengajukan bukti akan kebenarannya. Jika mereka berdua berselisih tentang barang gadaian. Rahin berkata, “Saya menggadaikan seekor binatang tunggangan besarta anaknya.” Sementara murtahin berkata, “Engkau hanya menggadaikan seekor binatang tunggangan saja.” Bila kondisinya seperti ini maka murtahin diminta untuk menyebutkan barang gadaian disertai dengan sumpah, kecuali rahin mendatangkan bukti tentang kebenaran ucapannya. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukti merupakan kewajiban orang yang menuntut dan sumpah merupakan kewajiban orang yang mengingkari”. (HR Al-Baihaqi, 8/279).
8. Jika murtahin menyatakan bahwa dia telah mengembalikan barang gadaian, kemudian rahin mengingkarinya. Jika kondisinya seperti ini maka rahin dituntut mengatakan bahwa barang gadaian belum dikembalikan, dengan ucapan disertai sumpah, kecuali murtahin mendatangkan bukti yang secara pasti membuktikan bahwa barang gadaian telah dikembalikan.
9. Murtahin memiliki hak mengendarai barang gadaian yang bisa dikendarai. Dia juga berhak memerah susu dari binatang yang menjadi barang gadaian, namun sebatas untuk membiayai makanan dan minuman barang gadaian. Murtahin harus memperlakukannya secara adil dan tidak boleh memanfaatkan melebihi untuk membiayai barang gadaian itu. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Punggung (binatang) boleh ditunggangi karena menafkahinya, jika binatang itu merupakan barang gadaian. Susu (binatang) boleh diperah karena menafkahinya, jika binatang itu berstatus barang gadaian. Bagi orang yang mengendarai dan memerah susu binatang yang merupakan barang gadaian, wajib untuk menafkahinya ” (HR. Abu Dawud, Kitab Al Buyu’, 78, dan Imam Ahmad, 2/472).
10. Buah dari barang gadaian, seperti perdagangan dan anak dari barang gadaian merupakan hak atau milik rahin. Rahin wajib memberi minum dan segala yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan barang gadai. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang gadaian milik orang yang menggadaikan (rahin), hasilnya untuk rahin dan utang merupukan kewajibannya.”
11. Jika murtahin membiayai binatang yang menjadi barang gadaian tanpa seizin rahin maka murtahin tidak bisa menuntut atau meminta rahin untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan. Jika murtahin mempunyai udzur meminta izin karena alasan jarak yang jauh (antara tempat tinggal rahin dan murtahin) maka dia bisa menuntut atau meminta raahin untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan, jika dia membiayai binatang barang gadaian itu untuk mengembalikannya kepada rahin. Namun, jika tidak ada maksud untuk mengembalikan kepada rahin maka tidak bisa menuntut ganti biaya yang telah dikeluarkan. Sebab, orang yang berbuat baik terhadap orang lain tidak bisa menuntut karena perbuatannya.
12. Jika rumah yang menjadi barang gadaian roboh, kemudian murtahin membangunnya kembali tanpa izin rahin maka dia tidak bisa meminta ganti biaya yang telah dikeluarkan kepada rahin, kecuali minta ganti biaya seperti kayu atau batu. Namun jika dia memiliki udzur untuk meminta izin (padahal dia ingin meminta izin-penj) maka dia berhak untuk meminta ganti biaya yang telah dikeluarkan.
13. Jika rahin wafat atau bangkrut maka murtahin lebih berhak memperoleh barang gadaian, yaitu lebih berhak dibandingkan yang lain. Jika waktu jatuh tempo telah tiba maka murtahin dapat menjual barang gadaian. Dari sana, murtahin berhak memperoleh nilai yang besarnya senilai piutangnya. Sedangkan jika nilai jual barang gadaian itu lebih besar dari piutangnya maka dia dapat memberikan atau mengembalikan kelebihan itu kepada ahli waris rahin. Namun jika nilai jual barang gadaian itu lebih kecil dari nilai piutangnya maka murtahin harus menjadi contoh bagi orang-orang berutang lainnya.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم