بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Doha, 28 Rabi’ul Akhir 1447 / 20 Oktober 2025
Bagian Kelima: Muamalat | Bab 5: Hukum-hukum
Materi Kedua: Wadi’ah (Titipan)
1. Definisi Wadi’ah
Wadi’ah ialah sesuatu yang dititipkan, baik berupa uang atau lainnya kepada orang lain agar dijaga untuk dikembalikan kepada pemiliknya kapan pun ia diminta.
Perbedaan utama wadiah dan amanah adalah wadiah adalah akad penitipan, sementara amanah adalah prinsip kepercayaan yang menjadi dasar dalam akad wadiah. Maka,Setiap wadiah adalah Amanah dan tidak setiap Amanah wadiah. Karena wadiah khusus ada barang titipan, sementara Amanah secara umum.
2. Hukum Wadi’ah
Wadi’ah disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah :
فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ
“(Akan tetapi sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain), maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.” (Al-Baqarah: 283)
2. Lihatlah perintah Allah Ta’ala dalam menunaikan amanat,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An Nisa’: 58)
3. Demikian sabda Rasulullah,
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ ، وَلا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Laksanakan amanat pada siapa saja yang memberikanmu amanat itu, dan jangan berkhianat pada orang yang mengkhianatimu.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Wadi’ah adalah salah satu bentuk amanat sehingga hukumnya menjadi berbeda-beda berdasarkan kondisinya. Terkadang menerima wadi’ah itu menjadi perkara wajib bagi seorang muslim. Contohnya, seorang muslim terpaksa harus menjaga harta saudaranya, karena saudaranya tersebut tidak mendapatkan orang yang bisa menjaga hartanya selain dirinya.
Menerima wadi’ah kadang juga sunah hukumnya bagi orang yang diminta menjaga sesuatu dan ia senang melakukannya karena hal tersebut termasuk bekerjasama dalam kebaikan yang diperintahkan Allah dengan firman-Nya,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2).
Menerima wadi’ah itu kadang juga makruh hukumnya jika orang yang dititipi tidak bisa menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
3. Ketentuan dalam Wadi’ah
Di antara ketentuan dalam wadi’ah adalah sebagai berikut:
1. Masing-masing dari penitip dan penerima wadi’ah harus orang mukallaf dan orang yang sempurna akalnya. Oleh sebab itu, anak kecil atau orang gila tidak boleh menitipkan atau dititipi.
2. Penerima wadi’ah tidak wajib mengganti wadi’ah yang rusak padanya jika ia tidak teledor dan tidak sengaja merusaknya, karena Rasulullah bersabda:
لاَ ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
“Tidak ada kewajiban mengganti bagi orang yang diberi amanat.” HR. Daruquthni no. (4113), Baihaqi 6/289, dan dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. (1547).
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
“Barang siapa dititipi wadi’ah, ia tidak ada kewajiban mengganti.” HR. Ibnu Majah no. (2401), dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. )1959).
3. Penitip berhak mengambil titipannya kapan saja, dan penerima wadi’ah berhak mengembalikan barang titipan kepada penitipnya kapan saja ia mau.
4. Penerima wadi’ah tidak boleh memanfaatkan wadi’ah dalam bentuk apa pun kecuali dengan izin dan kerelaan dari penitipnya.
5. Jika terjadi konflik apakah wadi’ah sudah diambil atau belum oleh penitipnya, maka ucapan yang diterima ialah ucapan penerima wadi’ah dengan diminta bersumpah, kecuali jika penitip bisa menunjukkan bukti yang menegaskan bahwa wadi’ah-nya belum ia ambil.
4. Contoh teks perjanjian:
– Contoh teks wadi’ah:
“Si A mengaku bahwa ia menerima uang dari si B sebesar sekian sebagai barang titipan secara syar’i, dan penerima wadi’ah berjanji menjaganya di tempat penyimpanan sebagaimana yang diperintahkan penitip. Pihak penerima wadi’ah yang namanya tertulis dalam akad ini hadir dalam akad ini dan disaksikan oleh saksi yang syar’i.”
– Contoh teks pengembalian wadi’ah:
“Si A mengaku telah menerima uang dari si B sebesar sekian dengan penerimaan yang syar’i, kemudian wadi’ah tersebut berada di tangan si A dan dalam penjagaannya. Uang sebesar itulah yang dititipkan si B kepada siA dan si B tidak memberikan kompensasi apa pun, kecil atau besar kepada A. Hal ini dibenarkan oleh si B dengan pembenaran yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian.”
Materi Ketiga: ‘Ariyyah (Pinjam-meminjam)
1. Definisi ‘Ariyyah
‘Ariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga batas waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Contohnya, seorang muslim meminjam pensil untuk menulis, atau pakaian untuk dikenakan, kemudian ia mengembalikannya.
- Manfaat Wadi’ah kepada pemilik barang tetapi ‘Ariyyah manfaatnya kepada yang meminjam barang.
- Wadi’ah hukum asalnya tidak untuk dimanfaatkan sedangkan ‘ariyyah untuk dimanfaatkan.
- ‘ariyyah tanggung jawabnya pada peminjam sementara wadi’ah tanggung jawab pada pemilik barang, kecuali kesengajaan atau kelalian.
2. Hukum ‘Ariyyah
‘Ariyyah disyariatkan berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2)
وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ
“Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Al-Ma’un: 7)
Sabda Rasulullah: “Namun ‘ariyyah (pinjaman) itu harus diganti.”
Hal ini diucapkan Rasulullah kepada Shafwan bin Umayyah ketika beliau meminjam baju besinya dan ia berkata, “Apakah ini perampasan hai Muhammad?” Kemudian Rasulullah bersabda seperti di atas, “Apabila pemilik onta, pemilik lembu, dan pemilik kambing tidak menunaikan haknya, niscaya ia didudukkan untuk hewan-hewan tersebut pada hari Kiamat di tanah lapang yang luas dan datar kemudian diinjak oleh hewan-hewan tersebut dengan kaki-kakinya, ditanduk dengan tanduk-tanduknya, dan pada hari itu tidak ada hewan-hewan yang tak bertanduk atau tanduknya pecah.” Kita (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak hewan-hewan tersebut?” Rasulullah bersabda, “(Hak hewan-hewan tersebut) ialah hewan jantan dipinjamkan untuk dikawinkan dengan hewan betina, meminjamkan capnya, meminjamkannya untuk dimanfaatkan, dibawa ke air, dan dinaiki di jalan Allah.”
Dan hukum ‘ariyyah adalah sunah berdasarkan firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (Al-Ma’idah: 2),
Terkadang ‘ariyyah itu hukumnya wajib, misalnya bagi orang muslim yang terpaksa harus meminjamkan sesuatu yang amat dibutuhkan oleh saudara seagamanya sementara dirinya sendiri tidak membutuhkannya.
3. Ketentuan dalam ‘Ariyyah.
Di antara ketentuan dalam ‘ariyyah adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah (diperbolehkan). Jadi, seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli, atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang muslim untuk melayani orang kafir, atau meminjamkan parfum haram, atau pakaian yang diharamkan. Sebab, bekerjasama dalam dosa itu diharamkan. Allah berfirman:
وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
2. Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan musta‘ir(peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusakannya, maka musta‘ir wajib menggantinya. Karena Rasulullah bersabda:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ
“Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
3. Jika mu’ir tidak mensyaratkannya, kemudian barang pinjaman tersebut rusak bukan karena keteledoran musta’ir dan bukan karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib menggantinya, namun ia disunahkan menggantinya, karena Rasulullah bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah satu tempat makanan: “Makanan dengan makanan dan bejana dengan bejana.”
- Dan hukum mengganti tetap berlaku meskipun tidak ada akad, karena kebiasaan yang berlaku bisa menjadi hukum. Kaidah fikih menyatakan:
العُرْفُ وَالْعَادَةُ يُرْجَعُ إِلَيْهِ فِي كُلِّ حُكْمٍ حَكَمَ بِهِ الشَّارِعُ, وَلَمْ يَحُدَّهُ بِحَدٍّ
‘Urf dan kebiasaan dijadikan pedoman pada setiap hukum dalam syariat yang batasannya tidak ditentukan secara tegas
4. Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena keteledoran dan disengaja oleh musta’ir, maka ia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut, karena Rasulullah bersabda: “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, dan. Al-Hakim)
5. Musta’ir Harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.” (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, dan. Al-Hakim)
6. Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu‘ir merelakannya. Jika mu’ir tidak merelakan hal itu maka tidak boleh dipinjamkan.
7. Jika seseorang meminjam dinding untuk meletakkan kayu misalnya maka ia tidak boleh mengembalikan dinding tersebut hingga roboh. Begitu juga orang yang meminjam sawah untuk ditanami, ia tidak boleh mengembalikan sawah tersebut hingga tanaman tersebut dipanen. Sebab praktik seperti itu akan menimbulkan mudarat kepada seorang muslim, dan itu diharamkan.
8. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah batas waktu peminjaman habis.
Contoh teks ‘ariyyah: “Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah—atau kuda atau baju—dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati, menaiki atau memakai hingga batas waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang sah, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir menyerahkan barang yang tersebut di atas kepada musta’ir dan musta’ir menerimanya dengan penerimaan yang syar’i kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya, dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian.”
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم




