Assunnah Qatar

Kegiatan Kajian Melayu Assunnah Qatar

Luqathah ialah sesuatu yang tercecer di tempat yang tidak dimiliki siapa pun. Contohnya orang muslim menemukan beberapa uang dirham atau pakaian di salah satu jalan tertentu. Ia khawatir barang-barang tersebut hilang sehingga ia memungutnya. Hukum Luqathah Memungut luqathah diperbolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah

اعْرِفْ وِكَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ لَمْ تَعْرِفْ فَاسْتَنْفِقْهَا وَلْتَكُنْ وَدِيعَةً عِنْدَكَ فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

“Umumkan tempatnya beserta apa yang ada di dalamnya, dan talinya, kemudian umumkan selama setahun, Jika pemiliknya datang, berikan kepadanya. Dan jika pemiliknya tidak datang, maka terserah kepadamu.” (HR. Muslim no. 1722 dan Bukhari no. 2428).

Kemudian, setelah berabad-abad tersebut, umat manusia pun tersesat, dan terjadilah berbagai hal di antara mereka, termasuk:

Perselisihan dan perbedaan pendapat dalam ilmu fiqih dan seluk-beluknya, sebagaimana disebutkan Al-Ghazali: Ketika era para khalifah yang benar berakhir, kekhalifahan beralih kepada suatu kaum yang menerimanya tanpa dasar dan pengetahuan yang memadai tentang hukum dan keputusan hukum. Mereka terpaksa bergantung pada para ahli hukum dan melibatkan mereka dalam semua urusan mereka. Di antara para ulama masih tersisa orang-orang yang tetap di jalan yang benar dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip iman. Ketika mereka dipanggil, mereka lari dan berpaling (mengabaikannya). Orang-orang pada zaman tersebut, yang bukan ulama, melihat perhatian para imam diberikan kepada mereka sementara ulama diabaikan, maka mereka bersemangat belajar ilmu untuk meraih kehormatan dan kedudukan.

Pengafanan mayit laki-laki dilakukan dengan cara menumpuk ketiga lembar kain tersebut dalam tiga lapisan. Setelah itu, diambil tubuh mayit yang telah dalam keadaan tertutup dengan kain atau yang semisalnya secara wajib dan diletakkan di atas lapisan-lapisan kain tersebut dalam kondisi telentang.

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

كُفِّنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في ثلاثِ أثوابٍ بيضٍ سحوليةٍ ، من كُرْسُفَ . ليس فيها قميصٌ ولا عمامةٌ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah” (HR. Muslim no. 941).

Dan darinya (Anas), ia berutur bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu’anhu pernah mengatakan kepada Umar Radhiyallahu’anhu, sepeninggal Rasulullah ﷺ : “Marilah kita berkunjung ke tempat Ummu Aiman , sebagaimana Rasulullah dahulu biasa mengunjunginya.” Ketika keduanya sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis. Maka keduanya segera bertanya kepadanya: “Apa yang membuat engkau menangis? Bukankah engkau mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi Rasulullah?”

Ummu Aiman pun menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak mengetahui bahwa apa yang disediakan Allah ﷻ tersebut lebih baik bagiRasulullah , tetapi aku menangis karena wahyu dari langit terputus.”

Maka ucapan Ummu Aiman itu membuat keduanya terdorong untuk menangis, sehingga mereka menangis bersamanya. (HR. Muslim)

Allâh ﷻ berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Munculnya Sikap Bermazhab bagi para Mujtahid Setelah 100 tahun Pertama dan Kedua

Dan setelah tahun 200H, muncul di antara mereka sikap bermazhab bagi para mujtahid dengan tokoh-tokohnya sendiri, dan sedikit dari mereka yang tidak bergantung pada mazhab seorang mujtahid tertentu. Seseorang yang berkecimpung dalam fiqh biasanya tidak terlepas dari dua kondisi.

Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ

“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).

Ketahuilah, bahwa bab ini luas sekali, tidak mungkin dibatasi karena isinya yang banyak. Akan tetapi kami isyaratkan kepada sebagian besarnya atau banyak darinya dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas. Sebagian besar yang kami sebutkan itu sudah dikenal oleh para ulama maupun orang awam. Oleh karena ini, saya tidak menyebutkan dalil-dalil pada sebagian besarnya.

1. Termasuk sunnah itu ialah banyaknya perhatian kepada pembacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan, dan lebih banyak lagi di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan lebih ditekankan pada malam-malam ganjil darinya.
2. Termasuk sunnah itu ialah pembacaan Al-Qur’an di sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah, hari Arafah, hari Jum’at, sesudah Subuh dan di waktu malam.
3. Hendaklah ia sering membaca surah Yasin, Al-Waqi’ah dan surah Tabarak (Al-Mulk).

Al-Ghashbu ialah mempergunakan harta orang lain dengan paksa dan dengan cara yang tidak dibenarkan. Seperti seseorang yang merampas rumah orang lain kemudian menempatinya, atau merampas kendaraan orang lain kemudian menaikinya.

Hukum Al-Ghashbu

Al-Ghashbu hukumnya haram berdasarkan Dalil-dalil berikut ini: Firman Allah ﷻ:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ

“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)

Ketahuilah bahwa pada abad pertama dan kedua [100 tahun pertama dan kedua], manusia tidak sepakat untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam bukunya (Quwwat al-Qulub) berkata: Sesungguhnya buku-buku dan kumpulan ilmu merupakan hal baru, dan berbicara berdasarkan pendapat orang, atau memberikan fatwa menurut satu mazhab seseorang, atau mengambil kata-katanya, dan meriwayatkannya dalam segala hal, serta mempelajari ilmu fiqh menurut mazhabnya, hal itu tidaklah dilakukan oleh orang-orang pada abad pertama dan kedua.

Dan Ibn al-Humam dalam bukunya (at-Tahrir) berkata: Mereka pernah meminta fatwa kepada satu orang, dan kadang kepada orang lain, tanpa terikat pada satu fatwa tertentu.