Tag Archives: Ustadz Hanafi

Karena shalat Jum’at adalah shalat wajib, maka disyaratkan baginya masuk waktu untuk melaksanak annya,seperti shalat-shalat wajib lainnya. Karenanya, tidak sah dilakukan sebelum atau setelah habis waktunya. Dasarnya adalah firman Allah ﷻ :

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisaa: 103)

Pelaksanaan shalat Jum’at sesudah tergelincirnya matahari (setelah masuk Zhuhur) lebih baik dan aman. Karena inilah waktu di mana Rasulullah ﷺ, menunaikan sebagian besar shalat Jum’at beliau. Sementara pelaksanaannya sebelum matahari tergelincir adalah masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Akhir waktu Jum’at sama dengan akhir waktu Zhuhur, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

Keistimewaan lain dari hari Jum’at adalah adanya anjuran berangkat lebih awal ke masjid, untuk tujuan shalat Jum’at. Lalu menyibukkan diri dengan melakukan shalat sunnah, berdzikir dan membaca al-Qur’an, hingga imam datang untuk berkhutbah. Juga keharusan untuk diam bagi orang yang mendengarkan khutbah. Apabila seseorang tidak diam saat mendengarkan khutbah, maka ia dianggap berbuat sia-sia.

Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka ia tidak mendapatkan (pahala) Jum’at.

Makna tidak mendapatkan Jum’at baginya:
– Dianggap tidak ada Jum’at baginya atau sia-sia.
– Shalat Jum’atnya tidak sempurna (pendapat yang rajih).

Berkata as-Sindi, “Makna tidak mendapatkan Jumat adalah tidak mendapatkan keutamaan yang lebih dari Jumatnya, dan bukan berarti tidak sah shalatnya dan tidak gugur kewajibannya.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dan kawan-kawan (II:125).

Ibnu Qudamah berkata, khutbah merupakan syarat dalam shalat Jum’at, maka shalat Jum’at tidak sah jika tidak khutbah. Ini juga merupakan pendapat Imam Atha’, Annakhai, Qotadah As-Tsauri, Syafi’i, Ishak, Abu Zaur, Ashabur Ra’yi (Imam Abu Hanifah).

Makruh hukumnya, bagi seseorang mengimami jama’ah yang sebagian besar diantara mereka sangat tidak menyukainya karena alasan yang benar. Di mana ketidaksukaan mereka terhadapnya berpijak kepada hujjah yang dibenarkan, berupa kredibelitas agama imam yang memang bermasalah.

Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ :

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

“Ada tiga jenis manusia yang shalatnya tidak melebihi batas telinga mereka (tidak diangkat ke atas langit): Hamba sahaya yang melarikan diri dari tuannya, hingga ia kembali pulang. Wanita yang tidur sementara suaminya sedang murka kepadanya. Seseorang yang mengimami jama’ah sementara mereka membencinya.”

Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Umamah (360) [II: 1931, kitab ash-Shalaah, bab 149. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih, dengan tahqiq beliau (no. 1122).

Yang terbaik bagi seorang muslim adalah shalat di masjid yang shalat berjama’ah di sana hanya dapat ditegakkan dengan kehadirannya. Karena dengan hal tersebut ia akan memperoleh keutamaan memakmurkan Masjid.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 18:

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, se

Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah – Bagian 5

Jumlah minimal yang sah shalat berjama’ah adalah dua orang : imam dan makmum.

Sedikitnya, shalat Jama’ah dapat dilakukan oleh dua orang. Karena kata jama’ah itu sendiri diambil dari akar kata ijtimaa’ (berkumpul). Dua adalah jumlah terkecil yang bisa merealisasikan ‘berkumpul’.

Juga berdasarkan hadits Abu Musa secara marfu’:

“Dua orang atau lebih adalah jama’ah.”

Hadits dha’if. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (972) (I:517)kitab lqamat ash’ Shalawat, bab 44. Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam lrwaa’ al-Ghalil (no. 489). Perawi Ar-Rabi bin Badr adalah lemah.

Faedah-faedah Shalat Berjama’ah:

1. Sebagai sarana mengajari orang yang belum mengerti.

Karena dalam ibadah tidak didasari tanpa adanya dalil atau contoh Rasulullah ﷺ.

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»، رَوَاهُ البُخَارِيُّ.

Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 628 dan Ahmad, 34:157-158]

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Kajian Ahad – Doha Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Doha, 6 Jumadil Akhir 1446 / 8 Desember 2024 KITAB SHALAT Kewajiban dan Keutamaan Shalat Berjama’ah Mukadimah Rasulullah ﷺ sangat menekankan akan pentingnya shalat berjamaah, Beliau Nabi ﷺ bersabda […]

Telah kami jelaskan di muka sejumlah hukum tentang shalat sunnah. Maka saatnya sekarang kami mengingatkan bahwa ada beberapa waktu di mana shalat dilarang dikerjakan pada waktu tersebut, -kecuali apa yang dikecualian-. Waktu-waktu di maksud ada lima:

– Pertama, dari terbitnya fajar kedua hingga terbitnya matahari, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

Apabila fajar telah terbit, tidak ada shalat kecuali dua rakaat sunnah shubuh.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya.

Shalat sunnah dianjurkan setiap waktu, selain pada waktu-waktu yang dilarang. Namun shalat yang dilarang untuk dikerjakan pada dua waktu tersebut adalah shalat yang ghayru dzawatil asbab. Adapun shalat yang dzawatil asbab, shalat yang memiliki sebab khusus, boleh dikerjakan walaupun di dua waktu tersebut. Seperti Tahiyatul masjid atau gerhana matahari yang terjadi setelah ashar.

Shalat malam sendiri lebih baik dari shalat di siang hari, berdasarkan penjelasan di atas. Dan shalat malam yang paling utama adalah pada sepertiga malam, setelah lewatnya pertengahan, berdasarkan hadits dalam Shahih Bukhari.

  • 1
  • 2