Tag Archives: Ustadz Hanafi

Di antara hukum-hukum yang terkait dengan jenazah yaitu memandikan mayit, bagi orang yang mengetahui kematian orang tersebut dan memiliki kemampuan untuk memandikannya.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang yang meninggal dunia karena tersepak hewan tunggangannya,

اِغْسِلُوْهُ بِماَءِ وَسِدْرِ

“Mandikanlah dengan air dan daun bidara.” Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 1265) dan Muslim no. 2883.

Soal memandikan mayit ini sudah menjadi kebiasaan dan umum dilakukan di kalangan kaum muslimin.

Bagi orang yang sakit, disunnahkan untuk berwasiat atau berpesan agar sebagian hartanya disumbangkan untuk kebaikan. Ia juga harus berpesan seputar hartanya, hutang-hutangnya, juga titipan dan amanah orang yang ada padanya. Ini dianjurkan, bahkan bagi orang yang masih segar bugar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِىَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ [رواه مسلم].

“Tidak patut bagi seorang muslim bermalam hingga dua malam, sementara dia mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, kecuali seharusnya wasiatnya telah tertulis di sisinya.” Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar. Diriwayatkan oleh al Bukhari (no. 2738)

Disebutkannya kata ‘dua malam’ di sini sebagai penekanan saja, bukan merupakan pembatasan waktu. Artinya, jangan sampai berlalu waktu sedikit pun tanpa pesan itu tertulis di sisinya. Karena seseorang tidak tahu, kapan ajal menjemputnya.

Apabila seseorang mengalami sakit, hendaknya ia bersikap tabah, mengharapkan pahala, tidak mengeluh atau kesal terhadap takdir dan ketetapan Allah. Ia boleh memberitahukan penyakitnya atau jenis penyakit yang dideritanya kepada orang lain, tapi dengan tetap ridha terhadap ketetapan Allah.

Mengadu kepada Allah dan memohon kesembuhan dari-Nya tidaklah berlawanan dengan sikap tabah. Bahkan menuru syari’at, itu dituntut dan dianjurkan.

Nabi Ayyub alaihissalam juga menyeru Rabb-nya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ﷻ:

۞ وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al-Anbiyaa’: 83)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Petunjuk Nabi dalam soal menyiapkan jenazah adalah petunjuk yang paling sempurna, berbeda sekali dengan ajaran umat-umat lainnya di dunia ini. Ajaran itu meliputi:
– Penegakan penghambaan diri (ubudiyah) kepada Allah dengan cara paling sempurna.
– Berbuat baik (Ihsan) pada mayit dan melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya di dalam kubur dan di hari Kiamat kelak. Seperti menjenguknya, menalqinkan, memandikan dan menyiapkannya agar bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi terbaik. Kemudian mereka berdiri berbaris di dekat jenazahnya, sambil memuji kepada Allah ﷻ dan menyanjung-Nya, lalu membaca shalawat kepada Nabi-Nya, kemudian memohon agar dosa-dosa mayit diampuni oleh Allah ﷻ, diberi rahmat dan dimaafkan. Selanjutnya mereka masih berdiri di dekat kuburnya, memohon agar mayit diberi keteguhan di alam kubur. Setelah itu menziarahi kuburannya dan mendo’akannya, layaknya orang yang masih hidup di dunia mengunjungi temannya. Kemudian berbuat baik kepada karib kerabat dan keluarga si mayit, dan lain sebagainya. [Zaadul Ma’aad (I: 498)].

Karena shalat Jum’at adalah shalat wajib, maka disyaratkan baginya masuk waktu untuk melaksanak annya,seperti shalat-shalat wajib lainnya. Karenanya, tidak sah dilakukan sebelum atau setelah habis waktunya. Dasarnya adalah firman Allah ﷻ :

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisaa: 103)

Pelaksanaan shalat Jum’at sesudah tergelincirnya matahari (setelah masuk Zhuhur) lebih baik dan aman. Karena inilah waktu di mana Rasulullah ﷺ, menunaikan sebagian besar shalat Jum’at beliau. Sementara pelaksanaannya sebelum matahari tergelincir adalah masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Akhir waktu Jum’at sama dengan akhir waktu Zhuhur, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

Keistimewaan lain dari hari Jum’at adalah adanya anjuran berangkat lebih awal ke masjid, untuk tujuan shalat Jum’at. Lalu menyibukkan diri dengan melakukan shalat sunnah, berdzikir dan membaca al-Qur’an, hingga imam datang untuk berkhutbah. Juga keharusan untuk diam bagi orang yang mendengarkan khutbah. Apabila seseorang tidak diam saat mendengarkan khutbah, maka ia dianggap berbuat sia-sia.

Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka ia tidak mendapatkan (pahala) Jum’at.

Makna tidak mendapatkan Jum’at baginya:
– Dianggap tidak ada Jum’at baginya atau sia-sia.
– Shalat Jum’atnya tidak sempurna (pendapat yang rajih).

Berkata as-Sindi, “Makna tidak mendapatkan Jumat adalah tidak mendapatkan keutamaan yang lebih dari Jumatnya, dan bukan berarti tidak sah shalatnya dan tidak gugur kewajibannya.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dan kawan-kawan (II:125).

Ibnu Qudamah berkata, khutbah merupakan syarat dalam shalat Jum’at, maka shalat Jum’at tidak sah jika tidak khutbah. Ini juga merupakan pendapat Imam Atha’, Annakhai, Qotadah As-Tsauri, Syafi’i, Ishak, Abu Zaur, Ashabur Ra’yi (Imam Abu Hanifah).

Makruh hukumnya, bagi seseorang mengimami jama’ah yang sebagian besar diantara mereka sangat tidak menyukainya karena alasan yang benar. Di mana ketidaksukaan mereka terhadapnya berpijak kepada hujjah yang dibenarkan, berupa kredibelitas agama imam yang memang bermasalah.

Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ :

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

“Ada tiga jenis manusia yang shalatnya tidak melebihi batas telinga mereka (tidak diangkat ke atas langit): Hamba sahaya yang melarikan diri dari tuannya, hingga ia kembali pulang. Wanita yang tidur sementara suaminya sedang murka kepadanya. Seseorang yang mengimami jama’ah sementara mereka membencinya.”

Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Umamah (360) [II: 1931, kitab ash-Shalaah, bab 149. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykat al-Mashabih, dengan tahqiq beliau (no. 1122).

Yang terbaik bagi seorang muslim adalah shalat di masjid yang shalat berjama’ah di sana hanya dapat ditegakkan dengan kehadirannya. Karena dengan hal tersebut ia akan memperoleh keutamaan memakmurkan Masjid.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 18:

Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, se