بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Tanggal: 14 Dzulqa’dah 1446 / 12 Mei 2025
Tempat: Aind Khalid Coumpound
Bersama: Ustadz Abu Abdus Syahid Isnan Efendi, Lc, M.A Hafidzahullah



Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 196-197

  • Lanjutan Faedah ayat 196:

Telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya: https://www.assunnah-qatar.com/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-196-hukum-dan-adab-haji/

Hadyu

Hadyu adalah binatang ternak (unta, sapi dan kambing/domba) yang dihadiahkan untuk Baitul-Haram dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Hadyu ada beberapa jenis, yaitu:

1. Hadyu Tamattu’ dan Qiran, wajib bagi selain penduduk Makkah yang melaksanakan haji tamattu’ atau qiran. Hadyu ini sebagai bentuk ibadah, bukan sebagai kafarah (penebus dosa). Dapat diganti dengan berpuasa 10 hari, yaitu 3 hari pada hari-hari haji (boleh di hari tasyriq) dan 7 hari setelah kembali ke negeri asal.

2. Hadyu Jubran, merupakan fidyah yang wajib dibayarkan karena meninggalkan wajib haji, atau karena melakukan hal-hal yang dilarang saat ihram, atau karena tertahan/terhalang (ihshar) tidak bisa menyempurnakan ibadah haji. Ia tidak boleh memakan daging hadyu tersebut, dan harus disedekahkan seluruhnya kepada orang-orang faqir di tanah haram. Contoh hadyu ihshar adalah ketika perjanjian Hudaibiyah, Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sudah berihram tapi terhalang oleh musuh dan tidak bisa memasuki kota Mekkah, maka beliau shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pun membayar hadyu. Termasuk yang dikenai kewajiban hadyu ihshar adalah apabila seseorang sakit sehingga ia tidak bisa meneruskan manasiknya.

3. Hadyu Tathawwu’ (sunnah)

  • Hal ini dianjurkan bagi setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih hadyu sebanyak 100 ekor unta ketika haji wada’. Dianjurkan juga untuk ikut memakan dagingnya.
  • Orang yang sedang tidak berhaji/umrah pun dibolehkan untuk mengirimkan/menitipkan hadyu untuk disembelih di Makkah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ia tidak dikenai larangan ihram. Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengirimkan hadyu, padahal beliau tidak berangkat haji pada tahun 9 H.

📖 Allâh ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 197:

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Wasiat Taqwa bagi Orang yang Berhaji

Wasiat taqwa bagi orang yang berhaji adalah anjuran untuk selalu menjaga kesadaran dan rasa takut kepada Allah ﷻ dalam setiap langkah ibadah haji. Taqwa ini merupakan bekal utama yang membuat ibadah haji menjadi lebih bermakna dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat.

Dalam akhir ayat 196 dan ayat 197 ini, Allah ﷻ menegaskan akan wasiat Taqwa, bahwa takwa adalah bekal terbaik yang bisa dibawa dalam perjalanan haji. Taqwa ini akan membuat ibadah haji menjadi lebih bermakna dan penuh keberkahan.

Wahai saudaraku jamaah haji : Ikhlas… ikhlas … dan jauhilah sifat riya dalam beribadah. Wahai saudaraku jamaah haji, anda akan menunaikan suatu amalan mulia dan salah satu syi’ar yang diberkahi, jika anda diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakannya, maka anda mendapatkan keuntungan yang agung. Akan tetapi saudaraku, apakah anda telah berniat dengan ikhlas ketika anda menuju ke Baitullah yang diberkahi?

Terutama hal-hal yang berkaitan dengan media sosial yang kerap menjadi celah perbuatan riya!

Bulan-bulan Haji

Yaitu bulan-bulan yang dimaklumi (terbatas atau tertentu): Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Meskipun sebagian ulama, tidak membatasi bulan kapan saja.

Haji Akbar

Dalam sebuah hadis, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Abu Bakr As-Siddiq radhiallahu ‘anhu mengutusku ketika musim haji yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum musim haji wada’, bersama sekelompok kaum muslim. Mereka mengumumkan kepada masyarakat pada hari nahr (Idul Adha),

لا يحج بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان

“Setelah tahun ini, orang musyrik tidak boleh berhaji dan orang yang telanjang tidak boleh lagi tawaf di kakbah.” (HR. Muslim).

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, maka makna hari haji akbar adalah hari dimana Abu Bakr bersama kaum muslim yang lain, mengumumkan kepada masyarakat Mekah bahwa orang musyrik tidak boleh lagi melakukan haji di kakbah. Ini menunjukkan bahwa hari haji akbar adalah hari nahr (Idul Adha), karena pengumuman tersebut dilakukan pada saat Idul Adha.

Imam An-Nawawi juga mengatakan, “Ulama berselisih pendapat mengenai apa yang dimaksud hari haji akbar. Ada yang mengatakan, hari Arafah. Sementara Imam Malik, Imam as-Syafi’i, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa haji akbar adalah hari Nahr (Idul Adha)… sebagian ulama menjelaskan, ‘Dinamakan hari haji akbar, untuk membedakannya dengan haji Asghar, yaitu umrah.” (Syarh Sahih Muslim karya An-Nawawi, 9:116).

Syeikh Muhammad Abd al-Rahman al-Mubarakfuri memberi peringatan serta menyanggah pemahaman sebahagian masyarakat yang mengatakan bahawa Haji Akbar ini adalah apabila hari Arafah jatuh pada hari Jumaat. Disebabkan itu, ia dinamakan Haji Akbar. Beliau berkata:

قَدْ اشْتَهَرَ بَيْنَ الْعَوَّامِ أَنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ إِذَا وَافَقَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ الْحَجُّ حَجًّا أَكْبَرَ وَلَا أَصْلَ لَهُ

Maksudnya: “Telah tersebar dan masyhur dalam kalangan orang awam bahawa apabila hari Arafah jatuh pada hari Jumaat maka ia adalah Haji Akbar. Kenyataan atau pemahaman ini adalah tidak mempunyai asal sama sekali”. [Tuhfah al-Ahwazi, 4/27]

Dengan demikian, semua haji yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syaratnya secara sempurna dapat disebut haji akbar, karena termasuk dalam makna umum yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Yang penting bukanlah hari pelaksanaan wukuf, tetapi kesempurnaan dan keikhlasan ibadah itu sendiri.

Sebagaimana sabda Nabi dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Larangan-larangan Haji

1. Rofats: Adalah segala hal baik ucapan atau tindakan yang berbau cabul atau tidak senonoh (pembicaraan laki-laki terkait syahwat wanita).

Rofats juga berkaitan dengan ucapan yang sia-sia. Seperti ghibah.

2. Fusuq: Yaitu segala kemaksiatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah ﷻ.

Yakni perbuatan maksiat seperti mencaci, takabbur atau sombong, merugikan dan menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan, bertindak zalim terhadap orang lain seperti mengambil haknya atau merugikannya, berbuat sesuatu yang dapat menodai akidah dan keimanannya kepada Allah, merusak alam dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan, juga termasuk menghasut atau memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat.

3. Jidal: Yaitu berbantah-bantahan atau bertengkar yang bisa menimbulkan kemarahan.

Yaitu segala hal yang dapat menimbulkan emosi lawan maupun orang itu sendiri adalah seperti berbantah-bantahan hanya untuk memperebutkan kamar, kamar kecil, makanan dan termasuk melakukan demonstrasi terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya.

Adapun diskusi atau musyawarah tentang masalah agama dan kemaslahatan yang dilakukan dengan cara baik dan santun, maka hal itu diperbolehkan.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Az-Zalzalah Ayat 7:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

Berbekallah…

Bahkan pakaian takwa inilah yang jadi bekal terbaik. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Bekal yang sebenarnya yang tetap mesti ada di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, ini adalah bekal yang mesti dibawa untuk negeri akhirat yang kekal abadi. Bekal ini dibutuhkan untuk kehidupan sempurna yang penuh kelezatan di akhirat dan negeri yang kekal abadi selamanya. Siapa saja yang meninggalkan bekal ini, perjalanannya akan terputus dan akan mendapatkan berbagai kesulitan, bahkan ia tak bisa sampai pada negeri orang yang bertakwa (yaitu surga). Inilah pujian bagi yang bertakwa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 92)

Di akhir ayat disebut bagi orang yang berakal maka orang yang bermaksiat adalah orang yang kehilangan akalnya. Na’udzubillahmindalik.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم