بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Senin – Kitab Shahih Fiqh Sunnah
Karya: Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim Hafidzahullah
Download Kitab : Versi Arabic di Sini
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Pertemuan 2: 23 Rabi’ul Awal 1447 / 15 September 2025
Masjid: At-Tauhid Al-Khor Community – Qatar
Mukadimah: Asal Mula Ilmu Fikih
Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas tahapan dalam pensyariatan:
- Pada Masa Nabi ﷺ, tahapan pensyariatan, dari diutusnya Nabi ﷺ sampai tahun 11 H:
-
- Masa Mekah (Al-ahdul maki)
- Masa Madinah (Al-ahdul Madani)
Sumber Pensyariatan: Al-Qur’an dan Sunnah.
- Sebelum madzhab muncul sampai tahun 100 H.
- Tahapan Madzhab Fikih
- Masa kontemporer 1300 H sampai sekarang.
Tahapan 1: Fikih di Masa Nabiﷺ
Ketahuilah bahwa pada masa Rasulullah ﷺ yang mulia, fikih belum dikodifikasi, dan kajian hukum pada masa itu belum seperti yang dilakukan para fuqaha sekarang ini, yang dengan segala daya upaya menjelaskan rukun, syarat, dan adab, yang masing-masing dibedakan berdasarkan dalilnya.
Mereka menjelaskan bentuk-bentuk hukum mereka sendiri, mendefinisikan apa yang dapat didefinisikan, membatasi apa yang dapat dibatasi, dan seterusnya. Sebaliknya, Rasulullah ﷺ berwudhu, dan para sahabat melihat wudhu beliau, lalu mereka menerimanya tanpa beliau menjelaskan: Ini rukun dan itu adab.
Beliau shalat, dan mereka melihat shalat beliau, dan mereka shalat sebagaimana mereka melihatnya shalat. Beliau berhaji, dan orang-orang pun melaksanakan haji beliau, dan mereka pun melakukan sebagaimana beliau melakukannya. Inilah pola umum perilakunya.
Beliau tidak menjelaskan bahwa rukun wudhu ada enam atau empat, dan beliau juga tidak berasumsi bahwa seseorang dapat berwudhu tanpa adanya risalah hadits yang sah, sehingga beliau dapat menentukan sah atau tidaknya wudhu. Mereka jarang bertanya kepadanya tentang hal-hal ini.
- Para sahabat akan meminta fatwa kepada beliau ﷺ pada berbagai kesempatan, dan beliau akan memberikan fatwa. Berbagai kasus akan diajukan kepadanya, dan beliau akan memutuskannya.
- Beliau akan melihat orang-orang melakukan kebaikan, dan beliau akan memuji mereka, atau keburukan, dan beliau akan mencela mereka. Tidak semua hal yang beliau fatwakan, atau putuskan, atau celaan orang yang melakukannya, terjadi dalam suatu pertemuan.
- Setiap sahabat melihat apa yang telah Allah mudahkan baginya dalam ibadah, fatwa, dan keputusannya, dan beliau menghafal serta memahaminya. Beliau mengenali alasan untuk segala sesuatu berdasarkan konteksnya, sehingga beliau menafsirkan beberapa di antaranya sebagai halal, beberapa sebagai anjuran, dan beberapa sebagai larangan, berdasarkan dalil dan bukti yang cukup baginya.
- Mereka menemukan kedamaian dan ketenangan, tanpa mempedulikan metode pencarian dalil [istidlal].
Tahapan 2: Sebelum Madzhab Muncul sampai Tahun 100 H
1. Zaman Para Sahabat
Kemudian mereka berpencar ke seluruh negeri, dan masing-masing menjadi pengikut suatu wilayah tertentu.
Kemudian berbagai peristiwa bertambah banyak, dan berbagai masalah pun muncul. Mereka mencari fatwa tentang hal itu, dan masing-masing menjawab sesuai dengan apa yang telah dihafal atau disimpulkannya. Jika ia tidak menemukan sesuatu yang cocok untuk dijawab dalam apa yang telah dihafal atau disimpulkannya, ia akan mengerahkan seluruh daya upayanya.
Ia mengetahui alasan yang mendasari sesuai keputusan Rasulullah ﷺ, yang dengannya beliau mendasarkan hukumnya pada nash-nash beliau, dan beliau menerapkan hukum tersebut di mana pun beliau menemukannya, dengan mengerahkan seluruh upaya untuk mencapai tujuan atau cita-citanya.
2. Alasan dan Bentuk Perbedaan Pendapat di Antara Para Sahabat
Kemudian, muncul perbedaan pendapat di antara mereka dalam berbagai hal, di antaranya:
- Bahwa seorang sahabat akan mendengar suatu hukum atas suatu perkara atau fatwa, sementara yang lain tidak, maka ia akan melakukan ijtihadnya [pendapatnya] sendiri dalam perkara tersebut.
Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal:
- (a) Ijtihadnya sesuai dengan hadits.
Contohnya adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu, yang ditanya tentang seorang wanita yang suaminya telah meninggal dunia dan belum memberinya mahar. Ia berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah ﷺ memutuskan tentang perkara itu.” Mereka berselisih pendapat dengannya selama sebulan dan tetap bertahan.
Beliau melakukan ijtihadnya sendiri dan memutuskan bahwa wanita tersebut berhak atas mahar seperti istri-istrinya yang lain, tidak berlebih dan tidak kurang. Ia diwajibkan untuk menjalani masa iddah, dan ia berhak atas warisan.
Mu’qil bin Yasar Radhiyallahu’anhu kemudian berdiri dan bersaksi bahwa Nabi ﷺ telah membuat keputusan serupa mengenai salah seorang wanita mereka. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu bergembira atas hal ini dengan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan setelah Islam.
Ini menunjukan bahwa ijtihad sahabat Ibnu Mas’ud sesuai dengan pendapat Nabi ﷺ , mereka sangat takut untuk menetapkan suatu hukum jika ijtihad mereka salah, lain
- (b) Terjadi perdebatan di antara mereka, dan kemudian hadits tersebut muncul dan didengarnya. Ia kemudian kembali dari ijtihadnya kepada apa yang telah didengarnya (Dari hadits tersebut).
Contohnya adalah Abu Hurairah berpendapat bahwa siapa pun yang junub tidak wajib berpuasa, sampai salah seorang istri Nabi memberitahunya tentang pandangan yang berlawanan, sehingga ia kembali kepada hadits tersebut yang sampai kepadanya.
- (c) Ia tidak meninggalkan ijtihadnya, melainkan mengkritik [tidak menerima] hadits tersebut [Karena dipandang tidak kuat untuk dijadikan hujjah].
Contohnya adalah Fatimah binti Qais bersaksi di hadapan Umar bin Khattab bahwa ia telah dithalak tiga oleh suaminya, dan Rasulullah tidak menentukan nafkah dan tempat tinggal baginya. Umar menolak persaksian tersebut seraya berkata: ”saya tidak akan meninggalkan kitab Allah demi ucapan seorang perempuan yang tidak saya ketahui benar atau tidaknya. Dia berhak menerima nafkah dan tempat tinggal”.
Terhadap kasus tersebut Aisyah berkata: “Hai Fatimah, takutlah kepada Allah”. Hal ini sehubungan dengan ucapannya yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak menentukan nafkah dan tempat tinggal baginya.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

