بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Daurah Al-Khor Sabtu Pagi – Masjid At-Tauhid
Syarah Riyadhus Shalihin Bab 54-1
🎙 Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, PhD. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
📗 | Syarah: Prof. Dr. Khalid Utsman Ats-Tsabt 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
🗓 Al-khor, 5 Rabi’ul Akhir 1447 / 27 September 2025



٥٤ ـ باب فضل البكاء من خشية الله تعالى وشوقا إليه

Bab 54/1: Keutamaan Menangis Karena Takut Kepada Allah ﷻ Dan Karena Rindu Pada-Nya.

Tentang Menangis – البكاء

  • Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah :

Penulis -semoga Allah merahmatinya- berkata: Bab tentang keutamaan menangis karena takut kepada Allah ﷻ, artinya karena takut kepada-Nya dan rindu kepada-Nya, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Hal ini karena menangis memiliki sebab: terkadang takut, terkadang sakit, terkadang rindu, dan sebab-sebab lain yang diketahui manusia.

Namun, menangis karena takut kepada Allah ﷻ bisa jadi karena takut kepada-Nya atau karena rindu kepada-Nya, Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Jika menangis karena dosa yang telah diperbuat seseorang, maka menangis ini disebabkan oleh rasa takut kepada Allah ﷻ . Jika menangis karena ketaatan yang telah dilakukannya, maka menangis ini karena rindu kepada Allah ﷻ.

Syaikh Khalid Utsman Ats-Tsabt 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan jenis-jenis menangis:

1. Menangis karena rasa senang.

Sebagaimana hadits Aisyah tatkala akan hijrah, Aisyah menceritakan bahwa saat Rasulullah mengabarkan izin hijrah, Abu Bakar menangis karena gembira bukan karena sedih, dan Aisyah belum pernah melihat orang menangis karena gembira kecuali pada ayahnya saat itu. Abu Bakar sangat rindu untuk menemani Nabi ﷺ.

2. Menangis karena Takut Kepada Manusia atau sakit

Hal ini karena merasa terancam, tidak aman, atau cemas terhadap tindakan, perkataan, atau kehadiran seseorang atau tubuh merasakan ketidaknyamanan fisik yang serius atau tidak tertahankan.

3. Menangis karena suatu kejadian dan bertepatan dengan orang-orang menangis (tersentuh)

Seperti tatkala Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu menjumpai Abu Bakar dan Rasulullah ﷺ menangis, maka ia ikut menangis karena tangisan mereka berdua.

Demikian juga tatkala Umar bin Abdul Aziz menangis, maka tatkala isterinya Fatimah datang ikut menangis juga tanpa sebab kenapa menangis.

4. Tangisan orang-orang Munafik

Ibnu Katsir berkata mereka bisa menangis dengan satu mata dan menahan dengan mata yang lain. Artinya menangis dengan dibuat-buat.

5. Menangis karena sebab sedih dan takut

Biasanya menangis karena sedih sebabnya sesuatu yang telah terjadi seperti kematian kerabat terdekat. Sedangkan menangis terjadi karena takut pada sesuatu yang akan datang.

Beberapa macam penggolongan rasa takut:

1. Takut Thabi’iy (tabiat) Yaitu takut secara naluri manusia seperti takut kepada musuh yang kuat, takut hewan buas dan takut dengan api yang tidak terkendali. Hal ini bukanlah jenis takut ibadah dan tidak menafikan keimanan, karena takut yang merupakan tabiat manusia.

2. Khasyah: Menangis karena disertai dengan ilmu. Seperti takutnya ulama kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Fathir: 28)

3. Syafaqah: takut karena kekhawatiran, seperti orang tua yang takut anaknya yang masih kecil jatuh.

4. Raghbah: adalah takut dari sesuatu yang marhub (ditakuti), seperti takutnya orang tua kepada anaknya yang jatuh, takutnya hamba kepada Allah ﷻ. Allah berfirman:

وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut. (QS. Al-Baqarah: 40)

5. Takut yang membawa kematian: seperti takutnya kaum Tsamud yang diberi waktu tiga hari untuk bersenang-senang, kemudian akan dimatikan.

Tentang Rindu – شوقا

Raja’ atau pengharapan menimbulkan adanya kerinduan (شوقا) seperti tidak takut mati karena rindu bertemu dengan Allah ﷻ, disertai harapan dan khusnudzan kepadaNya akan rahmat dan ampunanNya.

Tangisan Rasulullah ﷺ

Teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Ibrahim meninggal beliau bersabar, tetap menangis dan hati bersedih akan tetapi beliau tidak melakukan kecuali apa yang Allah ridhai.

Beliau berkata ketika Ibrahim meninggal,

ﺇﻥَّ ﺍﻟﻌَﻴْﻦَ ﺗَﺪْﻣَﻊُ ﻭﺍﻟﻘَﻠﺐ ﻳَﺤْﺰﻥُ ، ﻭَﻻَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﻳُﺮْﺿِﻲ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ، ﻭَﺇﻧَّﺎ ﻟِﻔِﺮَﺍﻗِﻚَ ﻳَﺎ ﺇﺑﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻟَﻤَﺤﺰُﻭﻧُﻮﻥَ

“Sungguh mata menangis dan hati bersedih, akan tetapi tidak kita ucapkan kecuali yang diridhai oleh Allah, dan sungguh kami sangat bersedih berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR. Al-Bukhari no. 1303)

Ibrahim adalah putera Rasulullah ﷺ dari budak pemberian raja Mesir yaitu Mariah Al-Qibthiyah. Dan Ibrahim adalah satu-satunya anak beliau yang lahir setelah diutus menjadi Nabi, yang paling ditunggu-tunggu dari sekian banyak istri beliau.

  • 📖 Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

Allah ﷻ berfirman:

۞وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا۞

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (QS. Al-Isrâ: 17: 109)

📃 Penjelasan:

Dan mereka menyungkurkan wajah bersujud kepada Allah sembari menangis dalam keadaan khusyuk, dan pendengaran bacaan Al-Qur`ān serta pemahaman mereka terhadap makna kandungannya semakin membuat mereka tunduk dan takut kepada Allah ﷻ. (Tafsir Al-Mukhtashar).

Syaikh Khalid Utsman Ats-Tsabt 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 menjelaskan, kenapa didahulukan dagu (أَذْقَانِ)? Mungkin karena sebab dagu ini merupakan posisi terendah disaat orang yang sedang sujud.

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan maksud (وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعاً) (وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ) Artinya, atas mereka, dan yang dimaksud adalah berlebih-lebihan dalam sujud, hingga dagu mereka hampir menyentuh tanah karena saking berlebih-lebihannya mereka dalam sujud. (Dan Allah menambah kekhusyukan mereka)(وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعاً) yaitu kekhusyukan dalam hati, yang pengaruh dan tandanya nyata pada anggota badan.

📖 Dan ayat kedua, Allah ﷻ berfirman:

۞أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ۞وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ۞

“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (QS. An-Najm ayat 59-60).

📃 Penjelasan:

Allah mengingkari orang-orang musyrik: “Apakah kalian terheran dan ingkar terhadap al-Qur’an ini? Dan kalian menertawakannya, tidak takut terhadap ancamannya, dan lalai dari pelajaran-pelajaran yang dikandungnya? Hendaklah kalian bersujud dan menyembah Allah semata.” (Dan kamu mentertawakan) Karena ingin mengolok-oloknya, padahal itu bukanlah hal yang layak untuk didustakan atau diperolok. (dan tidak menangis?) Kerena rasa takut dan khawatir dari ancaman yang mengerikan. (Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir).

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, Sungguh celaka bagi mereka jika seseorang menertawakan Al-Qur’an dan merasa takjub dengan mengingkari dan mencelanya, tetapi tidak menangis karenanya. Al-Qur’an adalah pemberi peringatan yang paling dalam, yang dengannya Allah memperingati ke dalam hati. Namun, jika menyangkut hati yang bagaikan batu—naudzubillahu alaihi wa sallam—hati itu tidak melunak, melainkan mengeras. Kita memohon kepada Allah ‘afiyah.

📖 Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

٤٤٦ – وَعَن أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اِقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ » قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ: « إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي » فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى جِئْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ: { فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وِجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَؤُلَآءِ شَهِيدًا } [ الآية : ٤١ ] قَالَ: « حَسْبُكَ الْآنَ » فَالْتَفَتَّ إِلَيْهِ، فَإِذَا عِيْنَاهُ تَذْرِفَانِ. مُتّفَقٌ عَلَيْهِ.

Daripada Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Bacalah Al-Quran untukku.”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku harus membaca buat engkau, padahal Al-Quran diturunkan kepadamu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengar Al-Qur’an itu dibaca oleh orang lain.”

Kemudian Aku membacakan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam surah an-Nisa hingga sampai ayat, “Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.”
(QS. An-Nisa: 4: 41)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukup sampai di situ!”

Kemudian aku menoleh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu kedua matanya sedang berlinang air mata.”

[Shahih Al-Bukhari (VIII/250—Fathul Bari) no. 4582. Muslim no. 800]

📃 Kosa Kata Hadits:

  • Makna بِشَهِيدٍ : Seorang saksi yang memberi kesaksian kepada umat itu, yang dia tidak lain adalah Nabinya.
  • Makna حَسْبُكَ: Cukuplah bagimu.
  • Makna تَذْرِفَانِ: Meneteskan air mata.

📃 Penjelasan:

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, Penulis kemudian mengutip hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya untuk membacakan Al-Qur’an. Beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku membacakannya kepadamu padahal Al-Qur’an telah diturunkan kepadamu?” Artinya, “Engkau lebih mengetahuinya daripada aku, jadi bagaimana mungkin aku membacakannya kepadamu?” Beliau menjawab, “Aku lebih suka mendengarnya dari orang lain.”

Inilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menunjukkan bahwa mendengarkan bacaan orang lain dapat lebih menundukkan hati seseorang daripada jika ia membacanya sendiri, dan hal ini terkadang terjadi.

Dan ini merupakan perbuatan sunnah untuk meminta dibacakan Al-Qur’an pada orang lain. Dan dalam hadits ini bukan untuk pembenaran bacaan (koreksi) tetapi karena senang dan merasa nikmat mendengar Al-Qur’an.

Pertemuan: 04 Oktober 2025 M / 12 Rabiul Akhir 1447 H

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 54-2

Syaikh Utsaimin Rahimahullah menjelaskan, Maka ia membacakan Surat An-Nisa’ kepadanya, dan ketika sampai pada ayat agung ini: “Maka bagaimanakah jadinya, apabila Kami datangkan seorang saksi dari setiap umat, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka?” [An-Nisa’: 41], artinya, “Bagaimana keadaanmu?” Dan bagaimana keadaan mereka?

“Bagaimana” di sini digunakan untuk mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan merangsang jiwa dan meneguhkan hati. “Apabila Kami datangkan seorang saksi dari setiap umat” pada Hari Kiamat.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً (سورة البقرة: 143)

Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian” (QS  Al Baqarah: 143).

Imam  Bukhari (4487) meriwayatkan  dari Abi Sa’id Al Khudri Radliyallahu Anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

يُدْعَى نُوحٌ عَلَيْهِ السَّلام يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ : هَلْ بَلَّغْتَ ؟ فَيَقُولُ : نَعَمْ ؛ فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ : هل بلغكم ؟ فيقولون : ما اتانا من نذير أو ما أتانا من أحدٍ, قال : فيُقاللِنوح : مَن يَشهدُ لكَ ؟ فيقولُ : مُحمَّدٌ وَأُمَّتُهُ, قال ك فذالكَ قَوْلُهُ : وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا قَالَ : الوَسَطُ العَدْلُ

Nabi Nuh Alaihi As Salam dipanggil pada hari kiamat, dikatakan kepada beliau: Apakah engkau telah menyampaikan Riasalhmu? Beliau menjawab: Iya sudah; lalu dipanggillah kaumnya dan ditanyakan kepada mereka: Apakah dia telah menyampaikan risalahnya pada kalian? Kemudian kaumnya menjawab: Tidak ada seorang pun yang datang menyeru kepada kami. Lalu dikatakan kepada Nabi Nuh: Siapa yang bersaksi untukmu? Nuh menjawab: Muhammad dan umatnya, Rasulullah bersabda: Maka yang demikian itu Firman Allah: Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan}. 

Para saksi di hari kiamat ada beberapa golongan:

1.Nabi Muhammad dan umatnya menjadi saksi atas umat yang lain.

Umat Islam menjadi saksi seluruh umat manusia pada saat amalan dihisab. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda tentang umatnya yang menjadi saksi untuk Nabi Nuh Alaihissalam, “Nuh Alaihissalam dipanggil. Beliau menjawab, ‘Aku memenuhi panggilanMu, wahai Tuhanku,’
‘Apakah engkau sudah menyampaikan?’ Maksudnya adalah risalah. Nuh menjawab, ‘Ya, saya sudah menyampaikannya,’
Lalu, ditanyakan kepada umatnya, ‘Apakah ia (Nuh) sudah menyampaikan risalah kepada kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak ada pemberi peringatan yang mendatangi kami,’
Allah bersabda, ‘Siapa yang menjadi saksimu?’ Kemudian dijawab, ‘Muhammad dan umatnya,’ maka kami pun bersaksi bahwa Nuh telah benar-benar menyampaikan risalah-Nya,” (HR Bukhari).

2. Nabi menjadi saksi atas umatnya sendiri. Sebagai umat Nabi Muhammad , tentunya Allah ﷻ juga akan menghadirkan beliau sebagai saksi manusia pada hari kiamat. Sesuai dengan surah An Nisa ayat 41,

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا

“Dan bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.”

dalam ayat lain: “Dan Rasul itu menjadi saksi atas kalian.” [Al-Baqarah: 143].

3. Para nabi dan rasul, shalawat dan salam atas mereka, sebagaimana Allah ta’aala berfirman:

Surat Al-Qashash Ayat 75

وَنَزَعْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا فَقُلْنَا هَاتُوا۟ بُرْهَٰنَكُمْ فَعَلِمُوٓا۟ أَنَّ ٱلْحَقَّ لِلَّهِ وَضَلَّ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَفْتَرُونَ

Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu”, maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan.

4. Para Malikat menjadi Saksi.

Malaikat dan tugasnya dalam mencatat amal perbuatan manusia selama di dunia termasuk dalam salah satu saksi utama di hari penghisaban kelak. Allah berfirman dalam surah Qaf ayat 21,

وَجَاءَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَعَهَا سَائِقٌ وَشَهِيدٌ

“Setiap orang akan datang bersama (malaikat) pengiring dan (malaikat) saksi.

Berdasarkan tafsir dari Ibnu Katsir, ayat tersebut menjelaskan satu malaikat pencatat amal yang akan memberikan kesaksian atas manusia. Kemudian, satu malaikat lainnya bertugas menggiring manusia ke Padang Mahsyar.

5. Persaksian seseorang atas dirinya sendiri.

Melihat semua amal perbuatannya telah tertulis dalam buku catatan amal berikut dengan kesaksian dari pihak sebelumnya, barulah manusia akan mengakui segala perbuatannya semasa di dunia. Dirinya sendiri akan menjadi saksi utama atas perbuatannya pada hari kiamat. Allah berfirman dalam surah Al Isra ayat 14,

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu,”

Setelah proses penghisaban amal manusia melalui para saksi, para hamba-Nya kemudian akan menerima pembalasannya masing-masing secara adil. Pembalasan berupa tujuan akhir surga ataupun neraka sesuai dengan amalnya.

6. Persaksian Bumi

Benda-benda mati pun akan dihadirkan oleh Allah SWT untuk memberikan kesaksian. Termasuk, bumi sebagai tempat tinggal sementara para manusia.

Allah berfirman dalam surah Al Zalzalah ayat 4-5,

(4) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (5) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَىٰ لَهَا

“Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) padanya.”

7. Persaksian Anggota Badan Manusia

Pada hari kiamat, Allah akan membuat anggota-anggota tubuh manusia yang tidak berakal untuk berbicara. Seperti, lidah, tangan, dan kaki. Mereka akan memberikan kesaksian atas amal perbuatan dari pemiliknya.

Keterangan ini dapat dibuktikan dalam surah An Nur ayat 24 yang berbunyi,

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Dalam Q.S Yasin ayat 65;

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

8. Batu dan Pepohonan

لا يَسْمَعُ صَوْتَهُ جِنٌّ وَلا إِنْسٌ وَلا حَجَرٌ وَلا شَجَرٌ إِلا شَهِدَ لَهُ

“Tidaklah adzan didengar oleh jin, manusia, batu dan pohon kecuali mereka akan bersaksi untuknya,” (HR. Abu Ya’la)

لَا يَسْمَعُ صَوْتَهُ شَجَرٌ وَلَا مَدَرٌ وَلَا حَجَرٌ وَلا جِنٌّ وَلا إِنْسٌ إِلا شَهِدَ لَهُ

“Tidaklah suara adzan didengar oleh pohon, lumpur, batu, jin dan manusia, kecuali mereka akan bersaksi untuknya,” (HR Ibnu Khuzaimah).

Kenapa Nabi Menangis Saat Dibacakan Surat An-Nisa’: 41?

  1. Beliau tersentuh, bisa jadi karena takut kejadian yang akan terjadi pada saat itu.
  2. Beliau tersentuh, karena mempersaksikan sebagian umatnya yang kufur. Beliau menangis karena tidak bisa menyelamatkan mereka.

🏷 Fiqhul Hadits:

1. Penjelasan mengenai keutamaan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu, di mana Rasulullah ﷺ menginginkan firman Allah dibacakan olehnya, hal itu menunjukkan kegigihan Ibnu Mas’ud untuk mendalami, menghafal, menekuni Al-Qur’an dan pelakunya memang demikian.

2. Dianjurkan agar mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain, karena hal itu saat yang paling tepat untuk merenung dan bertafakur. Berbeda jika Al-Qur’an yang dibaca sendiri, saat dia selalu memantau kebenaran hafalannya, bacaan tartilnya, atau sibuk oleh penentuan hukum bacaan lafazh dan memenuhi haknya.

3. Diperbolehkan bagi murid membacakan Al-Qur’an kepada gurunya. Dan tidak boleh bagi seorang yang lebih utama merasa hina ataupun rendah diri dari sisi martabatnya karena menimba ilmu dari seorang yang berada di bawahnya.

4. Diperbolehkan memerintah orang lain untuk menghentikan bacaan Al-Qur’an, jika pada penghentian itu mendatangkan kebaikan dengan mengucapkan: “Cukuplah….”

5. Perintah memperhatikan dan merenungkan Al-Qur’an pada waktu membacanya, atau mendengarnya, sehingga, Al-Qur’an itu memberi pengaruh pada jiwa.

6. Keutamaan menangis dikarenakan takut kepada Allah ﷻ di saat mendengar ayat-ayat-Nya dengan tetap bersikap tenang, juga tidak berbicara, dan tidak pula berteriak-teriak. Demikianlah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an (VI/285): “Seperti itulah keadaan para ulama. Mereka menangis tetapi dengan tidak mengangkat suara, meminta tetapi tidak dengan berteriak-teriak, tidak tenggelam dalam kesedihan, dan tidak berangan-angan untuk mati.”

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم