Akhlak

Dianjurkan membaca Al-Qur’an ketika pembacanya dalam keadaan suci (berwudhu). Jika ia membacanya dalam keadaan berhadats, maka hukumnya boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Hadits-hadits mengenai hal itu banyak dan terkenal. Imamul Haramain berkata: Tidaklah dikatakan bahwa ia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggalkan yang lebih utama. Jika tidak menemukan air, dia bertayamum. Wanita mustahadhah dalam waktu yang dianggap suci mempunyai hukum yang sama dengan hukum orang yang berhadas.

Bab ini adalah tujuan kitab ini dan ia adalah pokok yang penting untuk dipelajari. Saya isyaratkan kepada beberapa hal dari tujuannya untuk menghindari pembahasan yang panjang karena takut menjemukan pembacanya.

Yang pertama ialah pembaca wajib bersikap ikhlas sebagaimana kami kemukakan dan memperhatikan adab terhadap Al-Qur’an. Maka ia harus menghadirkan dalam dirinya bahwa ia bermunajat kepada Allah Ta’ala dan membaca dalam keadaan orang yang melihat Allah Ta’ala. Jika ia tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Allah Ta’ala melihatnya.

Apabila hendak membaca, patutlah ia membersihkan mulutnya dengan siwak dan lainnya. Yang terpilih mengenai siwak ialah menggunakan kayu Arak dan boleh menggunakan kayu-kayu lainnya dan setiap sesuatu yang bisa membersihkan, seperti kain yang kasar dan lainnya.

Mengenai bolehnya menggunakan jari yang kasar ada tiga pendapat dari pengikut Asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala: Yang paling masyhur ialah tidak terwujud sunnahnya. Yang kedua terwujud dan yang ketiga terwujud jika tidak menemukan lainnya dan tidak terwujud jika menemukan lainnya.

Ketahuilah bahwa keutamaan shalat malam dan bacaan di dalamnya tercapai dengan jumlah sedikit dan banyak. Semakin banyak, maka lebih banyak keutamaannya. Kecuali apabila menghabiskan seluruh malam, maka tidak disukai bila terus mengerjakannya. Karena hal itu akan membahayakan dirinya.

Yang menunjukkan bahwa keutamaannya tercapai dengan amalan yang sedikit ialah hadits Abdullah bin Amru ibnul Ash, ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنْ الْغَافِلِينَ ، وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْقَانِتِينَ ، وَمَنْ قَامَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْمُقَنْطِرِينَ (صححه الألباني في صحيح أبي داود، رقم 1264)

“Barangsiapa mengerjakan shalat malam dengan membaca sepuluh ayat, ia pun tidak ditulis dalam golongan orang-orang yang lalai. Dan siapa yang mengerjakan shalat malam dengan membaca seratus ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang taat. Dan siapa yang mengerjakan shalat dengan membaca seribu ayat, ia pun ditulis dalam golongan orang yang berbuat adil.” Hadits riwayat Abu Dawud no. 1264 dan lainnya.

Di bulan Ramadhan, Allah ﷻ menginginkan setiap orang yang beriman menjadi hamba yang bertakwa. Maka, Allah ﷻ menjadikan wasilah untuk masuk ke dalam surga dengan taqwa dan akhlak yang baik.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Akhlak tidak bisa dipisahkan dari agama dan keimanan, ia adalah penentu agama seseorang.

Akhlak adalah sifat manusia yang menentukan perangainya. Apabila sifat itu baik maka perangainya pun baik. Sebaliknya, jika sifat Itu buruk, maka perangainya pun buruk.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah dalam Madarijus Salikin mengatakan agama itu seluruhnya akhlak, orang yang mampu mengalahkanmu dari segi akhlak, maka dia pun mengalahkanmu dalam segi agama.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 30:

وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”.

Ayat ini merupakan ayat bagi orang-orang yang tidak mengacuhkan Al-Qur’an (menghajr Al-Qur’an). Kata hajr bermakna memutus. Sedangkan maksud dari hajrul Qur’an adalah meninggalkan al-Qur’an dan berpaling darinya, seperti tidak mengimaninya, tidak membacanya, tidak mau mendengarkannya, tidak mau memahami dan mentadabburinya, serta tidak mengamalkannya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hajrul Qur’an” itu ada beberapa macam…

Tentang memelihara pembacaan Al-Qur’an di waktu malam.

Penghafal Al-Qur’an harus lebih banyak memperhatikan pembacaan Al-Qur’an di waktu malam dan shalat malam.

Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسُوا۟ سَوَآءً ۗ مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ أُمَّةٌ قَآئِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ. يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَأُو۟لَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

“Di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengajarkan) berbagai kebajikan dan mereka itu termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS Ali Imran: 113-114).

Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Adapun orang yang mengatamkan Alquran dalam satu raka’at tidak terhitung banyaknya. Di antara orang-orang terdahulu adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad-Daariy dan Said bin Jubair yang mengkhatamkan dalam setiap raka’at di Ka’bah.

Adapun orang-orang yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam seminggu banyak jumlahnya. Hal itu diriwayatkan dari Utsman bin Affan Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhum dan dari sejumlah tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Alqamah dan Ibrahim rahimahumullah.

Pendapat yang terpilih ialah hal itu berbeda-beda menurut perbedaan orang-orangnya. Barangsiapa yang ingin merenungkan dan mempelajari dengan cermat, hendaklah ia membatasi pada kadar yang menimbulkan pemahaman yang sempurna atas apa yang dibacanya.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ قَالَ: “بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا“، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدً

“Jika salah seorang dari kalian ketika mendatangi istrinya (berhubungan intim) mengucapkan do’a:

Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa

‘Bismillah, ya Allah jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rezekikan kepada kami.’ Lalu dari hubungan itu lahir seorang anak, maka syetan tidak akan membahayakannya selamanya.” (HR Bukhari no. 141, dan Muslim no. 1434)

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 Al-Khor, 13 Sya’ban 1446 / 12 Februari 2025. Kajian Ke-27 | Bab 5: Adab-Adab Pembawa Al-Qur’an. Dianjurkan Menjaga Tilawah dan Hafalan Bacaan Al-Qur’an Banyak kisah-kisah dan contoh-contoh teladan para salaf dalam kehidupan dan […]