بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Daurah Al-Khor Sabtu Pagi – Masjid At-Tauhid
Syarah Riyadhus Shalihin Bab 51-15
🎙️ Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, PhD. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Syarah: Prof. Dr. Khalid Utsman Ats-Tsabt 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
🗓️ Al-khor, 14 Syawal 1446 / 12 April 2025



51 – باب الرجاء

Bab 51-14: Berharap kepada Allah ﷻ

Balasan Kebaikan Orang-orang Kafir dan Mukmin

📖 Hadits ke-17:

428- وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً، أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنَ الدُّنْيَا، وَأَمَّا الْمُؤمِنُ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِي الآخِرَةِ، وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِي الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ » . وَفِي رِوَايَةٍ: « إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا، وَيُجْزَى بِهَا فِي الآخِرَة، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ لِلّٰهِ تَعَالَى فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَة، لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Daripada Anas radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang kafir itu apabila melakukan kebaikan, dia akan diberi balasan yang dia nikmati di dunia. Sedangkan orang Mukmin, sesungguhnya Allah menyimpan kebaikan-kebaikannya untuk di akhirat, dan dia dikurniakan rezeki di dunia karena ketaatannya.”

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya kebaikan bagi orang Mukmin, dia diberi nikmat di dunia, kerana kebaikannya dan kebaikan itu masih dibalas lagi kelak di akhirat. Adapun orang kafir, dia mendapat nikmat di dunia, karena kebaikan-kebaikan yang dia lakukan tidak kerana Allah. Sehingga apabila dia pulang ke akhirat, maka dia tidak akan memperoleh balasan apa-apa atas kebaikan yang dia kerjakan itu.”

[Shahih Muslim no. 2808]

📃 Penjelasan:

Hadits ini menjelaskan sisi keadilan Allah ﷻ kepada makhluk-Nya, bahwa Dia tidak mendazalimi mereka sedikitpun. Baik kafir maupun mukmin, siapapun yang berbuat kebaikan akan diberikan balasan kebaikannya.

Diantara mereka ada yang berbuat kebaikan menginginkan balasannya karena ingin mendekatkan dirinya kepada Allah ﷻ namun ditolak karena dia kafir. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 23:

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.

Dan dalam Surat An-Nur Ayat 39:

وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَٰلُهُمْ كَسَرَابٍۭ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥ ۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.

Karena syarat diterimanya amal ada dua: ikhlas dan ittibâ, sementara ikhlas didasarkan pada keimanan.

Bagi orang kafir bisa berupa diringankan sisanya, Siksaan neraka paling ringan adalah diletakkan terompah neraka di bawah tumit, yang menyebabkan otak mendidih. Siksa ini dialami oleh Abu Thalib, paman Rasulullah yang tidak masuk Islam tapi setia membela beliau, berkat syafaat Nabi Muhammad ﷺ . Siksa ini merupakan siksaan paling ringan di neraka, bukan berarti siksaan yang tidak pedih, tetapi relatif paling ringan dibandingkan siksaan lain yang dialami oleh penduduk neraka.

Maka, Fir’aun siksanya paling tinggi, karena mengaku sebagai Tuhan dan para penyembahnya orang-orang akan mengikutinya.

Dalam Surat Al-Hadid ayat 12 dan 13 menggambarkan kontras antara orang-orang beriman yang mendapatkan cahaya di hari kiamat dan orang-orang munafik yang tidak mendapatkan cahaya. Ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk selalu beriman dan berbuat baik, agar di hari kiamat kita juga mendapatkan cahaya yang menerangi jalan kita menuju surga.

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-Hadid Ayat 12-13:

وَيَوْمَئِذٍ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْن أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ

“Dan pada hari itu kamu akan melihat orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, cahayanya berjalan di depan mereka dan di sebelah kanan mereka.”

يَوْمَئِذٍ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبِّنا آتِي الْبُورَادِ هَوِ يْجَاذِي الْقُرَادِ فَالِتْ تَرْبِي الْبُورِادِ

“Pada hari itu orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tuhan kami, berikan kami cahaya dari cahaya kalian!'”

  • Tafsir Singkat:
    Ayat 12 menggambarkan cahaya orang-orang beriman yang bersinar terang dan membimbing mereka di hari kiamat.
  • Ayat 13 menggambarkan orang-orang munafik yang menyesali keadaannya dan ingin mendapatkan cahaya dari orang-orang beriman, namun permohonan mereka ditolak. Mereka kemudian akan dipisahkan dan tidak mendapatkan cahaya.

Maka, demikianlah janji Allah ﷻ yang akan membalas kebaikan orang kafir secara umum, meskipun tidak berniat akhirat, mereka akan diberikan balasan di dunia.

  • Sebagian amalan tidak disyaratkan adanya niat, seperti beberapa contoh berikut:
    Hadits Anas bin Malik yang mengisahkan seorang wanita kepada Aisyah radliyallahu ‘anha (meminta-minta), Aisyah memberinya tiga butir kurma (karena hanya itu yang dimilikinya). Wanita itu memberi masing-masing anaknya satu butir kurma, dan menyimpan sebutir lainnya untuk dirinya sendiri. Setelah kedua anaknya memakan kurma (pemberian Aisyah), keduanya menatap pada ibunya. Sang ibu mengambil kurma (jatahnya) kemudian membelahnya. Ia memberi masing-masing anaknya separuh kurma tersebut. Dalam hadits ini disyiratkan tidak adanya niat.
  • Atau hadits mendatangi isteri adalah sedekah. Bagi orang beriman, hubungan intim adalah sedekah dan bernilai pahala. Karena jika menyalurkan ke jalan yang haram adalah berdosa, dan dalam hal ini terkadang tidak adanya niat ataupun lupa.
  • Demikian juga Ada kisah tentang seorang laki-laki yang dimasukkan surga karena menyingkirkan dahan pohon yang menjulang di jalan, dengan niat agar tidak mengganggu orang lain. Terkadang tidak ada niat khusus mencari ridha Allâh, hanya agar tidak mengganggu jalan.
  • Rasulullah ﷺ dalam haditsnya pernah mengisahkan seorang pelacur dari kalangan Bani Israil yang masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan. Kisah ini menekankan bahwa sebuah tindakan kasih sayang yang sederhana bisa menjadi jalan menuju ampunan Allah ﷻ.
  • Keringat yang digunakan untuk mencari nafkah adalah keringat yang dikeluarkan karena bekerja atau beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Dalam Islam, mencari nafkah dianggap sebagai ibadah yang mulia dan dianjurkan.

Semua aktivitas di atas, semuanya diberikan balasan atas kebaikannya, walaupun tidak ada niatnya. Dengan syarat tidak ada niat yang buruk sedikitpun dari apa yang dilakukannya dan juga tidak ada niat mencari wajah Allah ﷻ, maka dia akan mendapat balasan. Tetapi, jika diniatkan karena Allah ﷻ maka akan mendapatkan pahala yang lebih sempurna dan besar.

Tetapi, jika ada niat riya dan sum’ah maka, pahalanya akan dihapuskan. Maka, jangan ada niat buruk dalam perbuatan baik!

Maka,orang kafir diberikan balasan atas kebaikannya. Diberikan kemudahan dalam urusan dunia dan kelapangan rezeki. Tetapi, tidak ada balasan untuknya di akhirat. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahqaf ayat 20:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ عَلَى ٱلنَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَٰتِكُمْ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنْيَا وَٱسْتَمْتَعْتُم بِهَا فَٱلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ ٱلْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik”.

Adapun orang-orang mukmin, disimpankan pahalanya untuk akhirat dan di dunia diberikan padanya rezeki.

Madzhab sahabat mengenai harta ada tiga:

  1. Harta yang tersisa harus disedekahkan, ini pendapat Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu’anhu. (Dasarnya surat At-Taubah ayat 34).
  2. Tidak menganggap baik merasakan kenikmatan dunia terlalu banyak. Secukupnya dan tidak terlalu bermewah-mewah. Ini pendapat Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu. (Mengambil dalil dalam surat Al-Ahqaf ayat 20). Tetapi, bukan kesepakatan sahabat.
  3. Mayoritas para sahabat dan kesepakatan ulama termasuk Ibnul Qayyim rahimahullah berpendapat bolehnya menikmati kelezatan dunia. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Ad-Dhuha Ayat 11:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.

Yang disebutkan imam Ibnul Qayyim rahimahullah adalah perbuatan maksiat orang-orang mukmin inilah yang menjadi pengurang haknya di akhirat. Diantaranya dia mati sebelum bertaubat atau minum khamr di dunia dan tidak bertaubat.

Perkataan ini telah disebutkan Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat yang dikenal dalam pemikirannya tentang Maqashid Syariah.


Syarah Riyadhus Shalihin Bab 51-16
🎙️ Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, PhD. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
Syarah: Prof. Dr. Khalid Utsman Ats-Tsabt 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱.
🗓️ Al-khor, 21 Syawal 1446 / 19 April 2025



Kesimpulannya: terlalu berlapang-lapang dalam urusan dunia, terlalu lebar pada perkara-perkara yang mubah, maka:

  1. Orang tersebut telah berada di ujung sesuatu, di ujung batasan halal, maka orang tersebut bisa terjatuh dalam perkara yang haram dan itu terjadi. Lama-lama bermudah-mudah dan akhirnya menjadi tergelincir. Hingga Nabi ﷺ melaknat : Celakalah hamba pakaian, celakalah hamba dinar, dan lainya.
  2. Sibuk dengan perkara yang mubah dan terlalu berlebihan, akan menyebabkan berkurangnya waktu mereka dalam urusan akhirat dan ini akan memperlama hisab di akhirat kelak. Hari-harinya banyak tersita untuk urusan dunia dan berlebihan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan untuk keluarga, misalnya ingin menjadi milyarder, dan seterusnya. Hal tersebut bukan hal haram, tetapi kesibukannya mengurangi persiapan akhirat dan akan memberatkan dalam hisabnya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Humazah:

وَيۡلٌ لِّـكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةِ

1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,

اۨلَّذِىۡ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗ

2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya

Makanya, para sahabat khawatir seperti Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu, jangan-jangan nikmat tersebut akan mengurangi kenikmatan di akhirat.

Kita lihat Mush’ab bin Umar Radhiyallahu’anhu yang terhormat dan kaya, akan tetapi saat meninggal, kain kafannya tidak mencukupi seluruh tubuhnya!

Dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia bercerita,

أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ – رضى الله عنه – أُتِىَ بِطَعَامٍ وَكَانَ صَائِمًا فَقَالَ قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّى ، كُفِّنَ فِى بُرْدَةٍ ، إِنْ غُطِّىَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلاَهُ ، وَإِنْ غُطِّىَ رِجْلاَهُ بَدَا رَأْسُهُ – وَأُرَاهُ قَالَ – وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّى ، ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنَ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ – أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنَ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا – وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ، ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِى حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ

“Suatu saat pernah dihidangkan makanan kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Tetapi waktu itu ia sedang berpuasa. ‘Abdurrahman ketika itu berkata, “Mush’ab bin ‘Umair adalah orang yang lebih baik dariku. Ia meninggal dunia dalam keadaan mengenakan selimut yang terbuat dari bulu. Apabila kepalanya ditutup, maka terbukalah kakinya. Jika kakinya ditutup lebih baik dariku. Ketika ia terbunuh di dalam peperangan, kain yang mengafaninya hanyalah sepotong, maka tampaklah kepalanya. Begitu pula Hamzah demikian adanya, ia pun lebih baik dariku. Sedangkan kami diberi kekayaan dunia yang banyak.” Atau ia berkata, “Kami telah diberi kekayaan dunia yang sebanyak-banyaknya. Kami khawatir, jikalau kebaikan kami telas dibalas dengan kekayaan ini.” Kemudian ia terus menangis dan meninggalkan makanan itu.” (HR. Bukhari, no. 1275)

Hadits di atas disebutkan dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 454 pada judul Bab “Keutamaan Menangis Karena Takut pada Allah Ta’ala dan Rindu pada-Nya”.

Dalam hal niat, setiap kebaikan meskipun tidak ada niat khusus, maka seseorang akan tetap mendapat pahala, seperti berbakti kepada orang tua, saat menyiapkan makanan tidak setiap saat berniat untuk berbakti kepada orang tua. Meskipun dia seorang kafir, akan tetap mendapatkan balasan kebaikannya di dunia dan di akhirat tidak mendapatkan apapun.

Adapun bagi seorang mukmin, di dunia akan diberikan rezeki karena ketaatannya dan dijauhkan dari rezeki karena dosa yang dikerjakan. Maka, dosa-dosa adalah sebab jauhnya rezeki. Sedangkan Allah ﷻ berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mengerjakan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberikan rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Thâhâ/20:132]

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa sholat adalah penyebab datangnya rezeki, tetapi ini bukan tujuan utama, tujuan utama adalah pahala di akhirat. Dan rezeki adalah pengikut dari keutamaan ibadah dan tidak mengurangi pahala di akhirat.

Seandainya ada seseorang yang mengerjakan ibadah dan dia ingin ditambah rezekinya, anak-anak menjadi sholeh, keberkahan harta, cepat dapat jodoh dan lainnya, tetapi bukan tujuan utama, hanya tujuan tambahan dan ini hukumnya boleh. Akan tetapi, jika seseorang beribadah hanya karena pahala dari Allah ﷻ, maka kebaikan lainya akan mengikutinya. Biidznillah.

Akan tetapi, jika setiap ibadah diniatkan hanya urusan dunia, maka hal ini tidak pantas dilakukan, dan dia tidak mendapatkan pahala.

Kesimpulan: Seseorang yang beribadah dengan niat dunia ada dua keadaan:

1. Jika keinginan dunia sebagai tujuan utama, seperti sholat dan puasa agar sehat, haji dan umrah agar kaya, jihad untuk mendapatkan ghanimah, sedekah agar sehat, maka tidak ada bagiannya di akhirat.

Allah ta’ala berfirman dalam Surat Al-Isra Ayat 18:

مَّن كَانَ يُرِيدُ ٱلْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُۥ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُۥ جَهَنَّمَ يَصْلَىٰهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.

2. Dia berniat ingin mendapatkan pahala dari Allah ﷻ, tetapi dia ingin faedah duniawi. Seperti tambahan rezeki, sehat, keberkahan dan lainya. Maka, ini dilihat dari tiga sisi:

  • Jika yang lebih kuat adalah ingin mendapatkan pahala, maka hukumnya boleh.
  • Adapun jika keinginan duniawi yang lebih dominan, maka tidak ada pahala untuknya.
  • Jika imbang keduanya, maka ini tidak ada yang kuat. Dan ia juga tidak mendapatkan pahala, hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah dalam Majmu Fatawa.

🏷️ Fiqhul Hadits:

  1. Menjelaskan Keadilan Allah ﷻ bersama hambaNya yaitu sampai menyempurnakan pahala kepada mereka meskipun kafir.
  2. Orang-orang kafir diberikan kebaikan pahala di dunia, baik tambahan rezeki dan dijauhkan keburukan, tetapi di akhirat tidak mendapatkan apa-apa, karena kafir menghapuskan pahala di akhirat, dan bagi seorang mukmin akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal. Maka, niatkan ibadah dalam perkara-perkara dunia. Dan niatkan ibadah dalam perkara-perkara akhirat, jangan didominasi dalam niat untuk perkara dunia.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم