بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 23 Rabi’ul Awal 1447 / 15 September 2025



KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Jenazah | Bagian Ke-1

Mukadimah

Siapapun kita yang ada di dunia ini, baik tua maupun muda, kaya ataupun miskin, dan apapun profesinya pasti akan mati. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabut Ayat 57:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.

Ayat ini menjadi dalil bahwasanya hidup di dunia ini adalah fana, tidak kekal. Setiap makhluk pasti merasakan kematian di tanah air dan wilayahnya atau di tempat asing dan tempat hijrahnya. Kemudian kalian dikembalikan kepada Kami setelah mati untuk dihisab dan dibalas

Maka, pelajaran akan jenazah mutlak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan syar’i dalam setiap kematian yang terjadi kepada hamba-hamba-Nya.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah berkata dalam kitabnya Mulakhas Fiqhi:

BAB TENTANG: HUKUM-HUKUM JENAZAH

Sesungguhnya syari’at kita (Islam) adalah syari’at yang sempurna lagi menyeluruh, serta mencakup segala perkara bagi kemaslahatan manusia, baik saat hidup maupun sesudah mati.

Tidak ada satu pun kebaikan kecuali Islam telah mengaturnya dan tidak ada satu keburukan pun, kecuali Islam telah melarangnya. Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).

Islam telah sempurna, demikian yang harus umat Islam yakini. Islam juga adalah agama yang diridhoi oleh Allah Ta’ala dan bukan agama lainnya, ini pun harus dipahami.

عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ حَنْطَبٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا تَرَكْتُ شَيْئًَا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَلاَ تَرَكْتُ شَيْـئًا مِمَّا نَـهَاكُمُ اللهُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.

Dari Muththalib bin Hanthab, seorang Tabi’in terpercaya, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ‘Tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari perintah-perintah Allah kepada kalian, melainkan telah aku perintahkan kepada kalian. Begitu pula tidaklah aku tinggalkan sesuatu pun dari larangan-larangan Allah kepada kalian melainkan telah aku larang kalian darinya.’”

Riwayat Imam asy-Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 87-93 no. 289), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah, al-Baihaqi (VII/76). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 1803).

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah berkata, “Syariat Islam dibangun berdasarkan asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Ia merupakan keadilan yang bersifat mutlak, kasih sayang, kemaslahatan, dan hikmah. Oleh karenanya, setiap persoalan yang bertolak belakang dari keadilan menuju kezaliman, kasih sayang menuju kekerasan, maslahat menuju kemudaratan, serta hikmah menuju sesuatu yang bernilai sia-sia, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, sekalipun ditafsirkan sebagai syariat.” (I’lamimul Muwaqqi’in, 3/3)

Segala puji bagi Allah. Di antara hal tersebut adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah terkait hukum-hukum tentang jenazah. Mulai dari saat seseorang sakit dan menghadapai sakratul maut, hingga mayatnya dikebumikan dalam kubur. Hukum-hukum tersebut meliputi: menjenguk orang sakit, mentalqinnya, memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya dan memakamkannya.

Termasuk juga hal-hal yang menjadi konsekuensinya, seperti membayar hutang-hutangnya, menjalankan pesan-pesan (wasiat)nya, membagi-bagikan harta warisannya, serta pemberian hak perwalian bagi anak-anaknya yang masih kecil.

PETUNJUK NABI DALAM MENYIAPKAN JENAZAH

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Petunjuk Nabi dalam soal menyiapkan jenazah adalah petunjuk yang paling sempurna, berbeda sekali dengan ajaran umat-umat lainnya di dunia ini. Ajaran itu meliputi:

  • Penegakan penghambaan diri (ubudiyah) kepada Allah dengan cara paling sempurna.
  • Berbuat baik (Ihsan) pada mayit dan melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya di dalam kubur dan di hari Kiamat kelak. Seperti menjenguknya, menalqinkan, memandikan dan menyiapkannya agar bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi terbaik. Kemudian mereka berdiri berbaris di dekat jenazahnya, sambil memuji kepada Allah ﷻ dan menyanjung-Nya, lalu membaca shalawat kepada Nabi-Nya, kemudian memohon agar dosa-dosa mayit diampuni oleh Allah ﷻ, diberi rahmat dan dimaafkan. Selanjutnya mereka masih berdiri di dekat kuburnya, memohon agar mayit diberi keteguhan di alam kubur. Setelah itu menziarahi kuburannya dan mendo’akannya, layaknya orang yang masih hidup di dunia mengunjungi temannya. Kemudian berbuat baik kepada karib kerabat dan keluarga si mayit, dan lain sebagainya. [Zaadul Ma’aad (I: 498)].

Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” – (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3: 280, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya menghidangkan atau membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggal mati pada hari terjadinya musibah tersebut. Hal ini karena kasih sayang kita kepada mereka dan juga karena memperhatikan kondisi mereka yang baru saja tertimpa musibah. Ini termasuk dalam kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh agama Islam untuk memperkuat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin, dan disyariatkannya gotong royong ketika ada saudara yang sedang tertimpa musibah. (Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’ani tatkala mengomentari Hadits di atas).

Ibnu Qudamah mengatakan, “Dianjurkan membuat makanan untuk keluarga mayat dan dikirim sebagai bantuan untuk mereka dan menghibur hatinya. Karena mereka terkadang sibuk dengan musibah dan kedatangan orang-orang kepadanya sehingga mereka tak sempat membuat makanan untuk dirinya.” – [Al-Mughni, 3/496]

ANJURAN MEMPERBANYAK MENGINGAT KEMATIAN

Dianjurkan juga banyak mengingat mati, dan bersiap-siap untuk menghadapinya. Yakni dengan bertaubat dari segala maksiat, mengembalikan harta orang lain yang diambil secara zhalim, serta segera melakukan amal shalih, sebelum maut datang menjemput saat kita dalam keadaan lalai.

Nabi bersabda:

أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ.

“Banyak-banyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian).”

Diriwayatkan oleh perawi yang lima, dengan beberapa sanad-sanad yang shahih. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan ulama lainnya. Arti kata ‘pemutus kenikmatan’ adalah kematian.

Hadits shahih. Diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh at-Tirmidzi (no. 2307))
[IV:553], kitab az-Zuhud, bab 4, An-Nasa’i (no. 1823) [II:301], kitab Al-Janaaiz, bab 3, Ibnu Majah (no. 4258) [IV:495], kitab az-Zubud, bab 31, Ibnu Hibban (2992) [VII:259], kitab al-Jana-iz, bab 4, dan al-Hakim (4990) [IV:465], Kitab ar-Riqaq. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil (no. 682).

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-A’la Ayat 17:

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰٓ

Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.

👤 Abu Darda’ radhiyallahu anhu ‘anhu berkata :

ما أكثر عبد ذكر الموت، إلا قل فرحه وقل حسده

“Tidaklah seorang hamba sering mengingat kematian kecuali dia akan jarang bersuka ria dan jarang mendengki.”

📚 Mausu’ah Ibnu Abid Dunya 5/514.

👤 Ibrahim At-Taimi rahimahullah berkata, Ada 2 hal yang akan memutuskan kelezatan dunia dariku, yakni:
1. Mengingat kematian
2. Mengingat kondisi di hadapan Allah Ta’ala.

📚 At-Tadzkiroh bi Ahwalil Mauta wal Akhiroh 125.

👤 Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

فضح الموت الدنيا، فلم يترك لذي لب فيها فرحًا، وما ألزم عبد قلبه ذكر الموت إلا صغرت الدنيا عليه، وهان عليه جميع ما فيها.

“Kematian telah menyingkap hakikat dunia. Karena itu, seorang hamba yang cerdas, ia (kematian) tidak menyisakan kebahagiaan di sana. Tidaklah hati seorang hamba selalu mengingat kematian, melainkan dunia ini akan terasa rendah baginya, serta akan hina segala yang ada di atasnya.”

📚 Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 353

At-Tirmidzi dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu’:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، قَالَ قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى ، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Hendaklah kalian malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sifat malu yang sebenarnya.” Perawi mengatakan, “Kami menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu (walhamdulillah).’” Rasulullah bersabda, “Bukan seperti itu. Tetapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah hendaklah dia menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, hendaklah dia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah dia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah dia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan sifat malu yang sebenarnya.”

Hadits hasan li ghairihi. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2458) [IV:637], kitab Sifat al-Qiyamah, bab 24. Dihasankanoleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (no. 1724).

Pertama:
HUKUM-HUKUM TERKAIT DENGAN ORANG SAKIT DAN ORANG SEKARAT

ANJURAN UNTUK TABAH SAAT SAKIT

Apabila seseorang mengalami sakit, hendaknya ia bersikap tabah, mengharapkan pahala, tidak mengeluh atau kesal terhadap takdir dan ketetapan Allah. Ia boleh memberitahukan penyakitnya atau jenis penyakit yang dideritanya kepada orang lain, tapi dengan tetap ridha terhadap ketetapan Allah.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

Dan jika dia bersabar, Allah ﷻ akan ganti dengan pahala yang tanpa batas, sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zumar Ayat 10:

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Bahkan, musibah yang diterima seorang hamba akan menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاه

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampaipun duri yang melukainya melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya” – (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573)

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم