بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 11 Jumadil Akhir 1447 / 2 November 2025
KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Jenazah | Bagian Ke-6
Ketiga: Memandikan Mayit
Tata Cara Memandikan Jenazah
Menyambung pertemuan sebelumnya tentang Tata Cara Memandikan Jenazah:
– Cara memandikan mayit adalah dimulai dengan mengangkat kepala jenazah hingga nyaris duduk, kemudian air dialirkan di atas perutnya, sambil ditekan dengan lembut, agar kotoran yang sudah siap keluar dari perut betul-betul keluar.
Dalam kondisi tersebut hendaknya air diguyurkan dalam jumlah banyak, agar kotoran tersebut lenyap. Setelah itu, orang yang memandikan melilitkan kain lap di tangannya, untuk digunakan membersihkan tubuh mayit dan membersihkan lubang keluarnya kotoran.
Imam Ibnu Qudamah berkata, hendaknya perut ditekan agar kotoran dan jenazah bisa keluar dari si jenazah.
– Setelah itu, orang yang memandikan melilitkan kain lap di tangannya, untuk digunakan membersihkan tubuh mayit dan membersihkan lubang keluarnya kotoran.
– Setelah itu orang yang memandikan berniat memandikan mayit.
– Membaca basmalah.
– Mewudhukan mayit layaknya wudhu untuk shalat, kecuali berkumur dan istinsyag cukup dilakukan dengan membersihkan gigi mayit dan lubang hidungnya dengan jari tangan yang sudah dibasahkan, atau menggunakan kain lap yang sudah dibasahkan dengan air, tanpa memasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, karena memasukkan air ke mulut dan hidung dapat merusakkan bagian tubuh mayit.
– Setelah itu, membasuh kepala dan jenggotnya dengan buih bidara atau dengan air sabun.
– Selanjutnya ia membasuh bagian kanan tubuh mayit, mulai dari leher sebelah kanan, tangan kanan, bahu kanan, dada kanan, pinggang kanan, paha kanan, betis kanan, hingga telapak kaki kanan.
Dari Hafshah, dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُنَّ فِي غَسْلِ ابْنَتِهِ: ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الوُضُوءِ مِنْهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka saat memandikan putrinya, ‘Hendaklah kalian mulai dari yang sebelah kanan dan anggota wudunya.’” (HR. Bukhari no. 167)
– Setelah itu, mayit dibalik ke sebelah kiri, dan mulai dibasuh punggung bagian kanan, lalu sebelah kirinya juga. Kemudian kembali dibalik ke sebelah kanan, dan mulai membasuh punggung kirinya.
– Saat memandikannya, hendaknya menggunakan campuran daun bidara atau sabun. Dan dianjurkan bagi yang memandikan agar membalut tangannya dengan kain lap.
– Yang wajib dilakukan adalah satu kali basuhan, apabila dengannya cukup membersihkan kotoran mayit. Namun yang dianjurkan adalah tiga kali. Apabila dengan itu belum juga membuatnya, maka ditambah lagi hingga tujuh kali.
– Pada basuhan terakhir, dianjurkan untuk mencampurkan kapur barus (campher), karena dapat membuat tubuh mayit kesat, mewangikan dan mendinginkannya. Untuk itulah, kapur barus dicampurkan di basuhan terakhir, agar pengaruhnya bertahan lama.
– Setelah itu tubuh mayit dikeringkan dengan kain (handuk) dan sejenisnya, dipotong kumisnya, dipotong kuku-kukunya kalau memang panjang dan dipangkas bulu ketiaknya. Bulu dan kuku yang telah dipangkas ditaruh di dalam kafan.
Ulama berbeda pendapat dalam memotong kuku atau kumis mayit:
1. Disunnahkan memotongnya jika panjang. Pendapat Imam Syafii dalam qaul jadid. Ini berdasarkan hadis Nabi Saw, ‘Hendaknya kalian perlakukan jenazah kalian sebagaimana kalian memperlakukan pengantin kalian.’ Selain itu, membersihkan rambut dianjurkan semasa hidup tanpa menimbulkan sakit, maka semestinya dianjurkan juga setelah meninggal seperti halnya menghilangkan najis.
2. Dimakruhkan, menurut Jumhur ulama. Demikian juga pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim, juga pendapat Imam Malik dan Imam Al-Muzanni. Karena tubuh mayit memiliki kehormatan dan tidak ada dalilnya untuk memotong.
Demikian juga dalam fatwa Syaikh bin Baz.
– Untuk wanita, rambutnya dikepang tiga, lalu dibiarkan menjuntai di belakang kepala.
Dalam lafaz Bukhari disebutkan,
فَضَفَرْنَا شَعَرَهَا ثَلاَثَةَ قُرُونٍ، وَأَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا
“Maka, kami menyisir (dan menguraikan lalu mengepangnya) rambut kepalanya menjadi tiga kepang dan kami letakkan di belakangnya.” (HR. Bukhari no. 1263)
– Mengulangi Memandikan tidak dianjurkan jika mayit keluar najis lagi. Mandi yang sudah dilakukan tetap sah dan tidak perlu diulang, tetapi bagian yang terkena najis harus dibersihkan kembali. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dan ini pendapat Tsauri, Malik, Abu Hanifah karena keluarnya najis dari orang yang masih hidup setelah mandi tidak membatalkannya, begitu juga bagi mayat.” (Al-Mughni, 1/168)
Dalam ‘Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah, 13/53: “Jika ada sesuatu yang keluar sementara dia masih dalam tempat pemandiannya, maka pendapat Hanafiyah, Malikiyah –selain Asyhab- dan pendapat paling kuat di mazhab Syafiiyyah dan pilihan Abu Al-Khattab dari Hanabilah, hal itu tidak perlu diulangi. Cukup dibersihkan di tempat itu saja. Dan ini pendapat Tsauri juga.”
Syekh Ibu Utsaimin rahimahullah mengomentari pendapat ini, “Maksudnya tidak mengulangi memandikan, cukup hanya membersihkan najisnya. Beliau mengatakan, ‘(Pendapat ini) yang paling dekat kepada kebenaran.” (Syarh Al-Kafi)
– Kalau proses pemandian mayit terhalang karena tidak ada air, atau dikhawatirkan bila dimandikan tubuhnya akan hancur, seperti pada kasus penderita lepra ganas dan orang yang terbakar, atau mayitnya adalah wanita, sementara yang ada hanyalah kaum pria dan tidak seorang pun dari mereka yang merupakan suaminya, atau karena mayit adalah pria, sementara yang ada hanyalah kaum wanita, dan tidak satupun dari mereka yang merupakan istrinya, maka dalam kondisi demikian, mayit cukup ditayammumi dengan debu. Wajah dan telapak tangannya cukup diusap dengan tangan yang berbalut kain.
– Apabila sebagian tubuh mayit tidak bisa dibasuh, maka cukup dibasuh bagian yang memungkinkan saja, sisanya cukup ditayammumi.
Hukum Mandi setelah Memandikan Jenazah
Syekh Albany rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan mandi bagi orang memandikan –maksudnya memandikan mayat, berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
من غسَّل ميتاً فليغتسل ، ومن حمله فليتوضأ (أخرجه أبو داود، 2/62–63 والترمذي 2/132)
“Siapa yang memandikan mayat, maka hendaknya dia mandi. Dan siapa yang menggotongnya hendaknya dia berwudhu.” (HR. Abu Daud, 2/62-63 dan Tirmizi, 2/132).
Dari Ibnu Abbas (dia berkata),
ليس عليكم في غسل ميتكم غُسل إذا غسلتموه ، فإنَّ ميتكم ليس بنجس ، فحسبكم أن تغسلوا أيديكم
”Tidak diwajibkan bagi kalian untuk mandi jika kalian memandikan mayat. Karena mayit kalian tidak najis, cukup bagi kalian semua mencuci tangan.” (HR. Al-Hakim, 1/386 dan Baihaqi, 3/398).
Kemudian setelah itu yang kuat adalah bahwa hadits ini mauquf (hanya sampai kepada shahabat). Sebagaimana yang telah saya jelaskan perinciannya di kitab Ad-Dhaifah, no. 6304.
Perkataan Ibnu Umar radhiallahu anhu,
كنا نغسل الميت ، فمنَّا من يغتسل ومنَّا من لا يغتسل
”Dahulu kami memandikan mayat, sebagian di antara kami ada yang mandi dan sebagian lainnya tidak mandi.”
(HR. Ad-Daroquthni, no. 191 dan Al-Khatib dalam kitab Tarikhnya, 5/424 dengan sanad shahih sebagaimana perkataan Al-Hafidz. Diisyaratkan hal itu oleh Imam Ahmad. Diriwayatkan bahwa Al-Khatib menganjurkan anaknya agar menulis hadits ini. Ahkamul Janaiz, 71, 72).
Maka, Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi setelah memandikan mayit hukumnya Sunnah dan bukan wajib. Wallohu’alam.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta padaMu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun padaMu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

