بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 29 Rabi’ul Awal 1447 / 21 September 2025
KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Jenazah | Bagian Ke-2
Pertama:
Hukum-hukum Terkait Dengan Orang Sakit Dan Orang Sekarat
Anjuran Untuk Tabah Saat Sakit
Apabila seseorang mengalami sakit, hendaknya ia bersikap tabah, mengharapkan pahala, tidak mengeluh atau kesal terhadap takdir dan ketetapan Allah. Ia boleh memberitahukan penyakitnya atau jenis penyakit yang dideritanya kepada orang lain, tapi dengan tetap ridha terhadap ketetapan Allah.
Mengadu kepada Allah dan memohon kesembuhan dari-Nya tidaklah berlawanan dengan sikap tabah. Bahkan menuru syari’at, itu dituntut dan dianjurkan.
Nabi Ayyub alaihissalam juga menyeru Rabb-nya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ﷻ:
۞ وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al-Anbiyaa’: 83)
Tuntunan dalam Berobat
Seseorang juga diperbolehkan berobat menggunakan obat-obatan yang mubah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa berobat itu hukumnya ditekankan, sehingga mendekati wajib.
Terdapat banyak hadits yang menyebutkan tentang keabsahan hukum sebab musabab, serta perintah untuk berobat, dan bahwa berobat itu tidak berlawanan dengan tawakal. Sama halnya dengan makan dan minum untuk mengusir rasa lapar dan dahaga.
Berobat Dengan Sesuatu yang Haram
Namun, tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, berdasarkan riwayat dalam Shahiih al-Bukhari, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhuma, bahwa ia menuturkan:
إنَّ اللَّهَ لم يجعل شفاءَكُم فيما حرَّمَ عليكُم
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan obat dari yang Allah haramkan bagi kalian” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Sementara Abu Dawud dan perawi lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Allah menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” – (HR. Abu Daud no. 3874. Sanad hadits ini dho’if kata Al Hafizh Abu Thohir).
Thoriq bin Suwaid Al Ju’fiy pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai khomr. Kemudian beliau melarang atau tidak suka untuk diolah. Kemudian Thoriq mengatakan bahwa khomr itu akan digunakan sebagai obat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
« إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ »
“Khomr itu bukanlah obat, namun ia adalah penyakit.” (HR. Muslim no. 1984).
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa ini adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa khomr bukanlah obat dan diharamkan berobat dengan khomr (Syarh Shahih Muslim, 13: 139).
Ini adalah prinsip penting dalam kaidah fiqhiyah,
اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ.
Kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal
Artinya, penyakit itu tidak boleh dihilangkan dengan penyakit lainnya. Karena khamr itu penyakit seperti yang Nabi ﷺ sampaikan, maka tidak boleh hukumnya menggunakan khamr sebagai obat.
Berobat dengan sesuatu yang najis
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
- Hanabilah: Haram hukumnya menggunakan sesuatu yang najis sebagai pengobatan, mereka berdalil dengan khamr (Kasyaful qina 6/198).
- Hanafiyah dan Syafi’iyah: Hukumnya boleh kecuali khamr. Al-Majmu Syarah Al Muhadzdzab (9/50) dan Fathul Qadir (9/40)
- Malikiyah: Haram hukumnya menggunakan sesuatu yang najis sebagai pengobatan apabila bentuk pengobatannya diminum atau dimakan. Karena sesuatu yang najis jika tidak masuk mulut maka tidak mengapa. (Al-bayan wataksil (18/429).
Pendapat ketiga inilah yang lebih rajih. Dengan catatan ada kebutuhan secara medis dan tidak ada alternatif obat suci yang lain. Kemudian dicuci setelah pemakaian. [Majmu’ Al Fatawa, 24: 270]
Al-Izz Ibnu Abdisaalam dalam Qowaidul Ahkam (1/95) menguatkan pendapat ini, jika tidak ada obat lain yang suci untuk berobat karena kemaslahatan kesehatan lebih diutamakan dari maslahat menjauhi najis.
Haram Berobat Dengan Sesuatu Yang Dapat Merusak Aqidah
Hukum berobat dengan menggunakan sesuatu yang dapat merusak aqidah juga haram. Seperti menggunakan jimat yang memuat lafazh-lafazh syirik (mantra syirik), nama-nama yang tidak dikenal, atau rajah-rajah, liontin, benang, kalung dan sejenisnya, yang dikenakan di bagian lengan atas, lengan bawah atau di bagian tubuh lainnya. Di mana semua itu diyakini dapat memberikan kesembuhan atau mengantisipasi (pengaruh pandangan) mata jahat, atau marabahaya.
Karena cara itu dapat membuat hati bergantung pada selain Allah dalam mencari manfaat atau menolak mudarat. Semua itu termasuk kemusyrikan atau sarana-sarana menuju kemusyrikan.
Begitu pula halnya dengan berobat pada para dukun, peramal, ahli nujum, tukang santet dan orang-orang yang menggunakan kekuatan jin. Bagi seorang muslim, aqidah lebih penting daripada kesehatannya.
Perdukunan menimbulkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat kaum muslimin. Oleh karena itu, Islam mengecam berbagai macam praktik perdukunan dan melarang keras untuk mendatangi dukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari” (HR. Muslim).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Quran yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad, hasan).
Maka, hukum mendatangi dukun dikelompokkan menjadi tiga kondisi:
- Haram: Jika sebatas bertanya dan tidak membenarkan.
- Haram dan Kufur terhadap Nabi ﷺ: Jika bertanya dan membenarkan.
- Boleh: Untuk mengetes dan menunjukkan kebohongan dukun serta tidak mempercayainya. Kemudian menjelaskan kebohongannya kepada manusia.
Dalilnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpapasan atau bertemu dengan Ibnu Shayyad, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan sesuatu untuknya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, apa yang beliau sembunyikan. Ibnu Shayyad menjawab, “Asap.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Menyingkirlah, Engkau tidak akan melampaui kemampuanmu.” (HR. Bukhari no, 6173 dan Muslim no. 2925)
Obat yang Paling Utama
Allah telah menciptakan obat yang berasal dari sesuatu yang dibolehkan dan bermanfaat bagi tubuh, akal dan agama. Dan yang paling utama dari hal tersebut adalah Al-Qur’anul Karim dan ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan do’a-do’a yang dibenarkan syari’at.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Di antara obat yang paling mujarab adalah: melakukan kebaikan dan berbuat baik (pada orang lain), berdzikir, berdo’a, bersikap tunduk kepada Allah, memohon dan memelas serta bertaubat kepada-Nya. Pengaruh hal tersebut jauh lebih kuat daripada obat-obatan biasa. Namun semua itu tergantung sejauh mana kesiapan hati dan sejauh mana hati dapat menerima.”
Tidak mengapa berobat dengan menggunakan obat-obatan yang mubah, melalui dokter-dokter yang berkompeten di bidang analisa dan pengobatan berbagai macam penyakit, baik di rumah sakit maupun di balai pengobatan lain.
Disunnahkan Menjenguk Orang Sakit dan Mendo’akannya
Menyjenguk orang sakit hukumnya sunnah, berdasarkan riwayat dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, serta yang lainnya:
“Ada lima hal yang wajib dilakukan seorang muslim terhadap saudaranya.” Disebutkan salah satunya, “Menjenguk orang sakit.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1240), kitab al-Janaiz, bab 2, dan Muslim dari Abu Hurairah (no. 2162 (5650)) (VII:367), kitab as-Salam, bab 3.
Hikmah menjenguk orang sakit:
- Menghibur keluarga dan yang sakit.
- Mendoakannya.
- Bisa menjadi sarana untuk menasehati atau Islam (Jika si sakit kafir).
- Diingatkan akan nikmat sehat dan dekat dengan kematian.
Saat menjenguk orang sakit, dianjurkan untuk menanyakan kondisinya. Apabila Nabi ﷺ menjenguk orang sakit, beliau biasa mendekatinya, lalu menanyakan kondisinya.
Menjenguk orang sakit bisa dilakukan setiap dua hari sekali, atau tiga hari sekali, kecuali bila yang bersangkutan menghendaki dijenguk setiap hari. Hendaknya tidak duduk berlama-lama saat mengunjunginya, kecuali bila dia menghendaki hal tersebut.
Dianjurkan mengucapkan kepada si sakit:
«لَا بَأْسَ عَلَيْكَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ»
“Tidak mengapa, semoga penyakit ini membersihkan dosa-dosamu insya Allah.”
Kemudian penjenguk berusaha menyenangkan hatinya, mendo’akannya agar lekas sembuh, merugyahnya dengan al-Our-an, terutama sekali surat al-Faatihah, surat al-Ikhlas, al-Falaq dan anNaas.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم