بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab Masail Jahiliyah (Perkara-perkara Jahiliyah)
Karya: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan 21: 12 Dzulqa’dah 1446 / 10 Mei 2025
Masalah Ke-24: Tidak Mempedulikan Kebenaran Jika Dibawa Oleh Orang-orang Lemah
Meninggalkan kebenaran jika orang-orang lemah mendahului mereka masuk ke dalamnya dengan sombong dan gengsi.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya :
وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya”. ( QS. al-An’am : 52 ).
Kaum jahiliyah menolak kebenaran jika ada orang-orang lemah di dalamnya. Oleh karena itu mereka mengatakan:
أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?”. (QS. al-An’am : 53 ).
🏷️ Syarah DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan:
Yakni mereka tidak lebih utama untuk meraih surga daripada kami, kami lebih dahulu dari mereka, lebih mulia dari mereka, mereka hanyalah orang-orang lemah yang tidak memiliki nilai dan tidak memiliki kedudukan dalam masyarakat. Allah ﷻ telah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya :
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?”. ( QS. al-An’am : 53 ).
Maka, Allah tidak memberikan agama ini kecuali kepada orang yang Dia cintai. Adapun dunia maka Allah memberikannya kepada yang Dia kehendaki baik kepada orang yang dicintain-Nya maupun kepada musuh-musuh-Nya.
*****
📃 Penjelasan:
Tidak Mempedulikan Kebenaran Jika Dibawa Oleh Orang-orang Lemah, Yang dimaksud orang-orang lemah adalah orang yang miskin, tidak punya kedudukan dan keturunan. Dan di awal-awal Islam, kebanyakan pengikut Nabi ﷺ adalah orang yang lemah.
Ibnul Qayyim al-Jauziy Rahimahullah dalam Kitab Zaadu Al-Mashiir menjelaskan ayat ini merupakan peringatan kepada Nabi ﷺ bahwa orang-orang Quraisy komplain bahwa orang-orang lemah itu bersama mereka, seperti Amr bin Yasr, Ibnu Mas’ud dan lainnya: Kami akan mengikutimu jika mereka tidak bersama kami, karena kami orang yang ashraf, orang-orang yang mulia.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya :
وَلَا تَطْرُدِ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَىْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَىْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). ( QS. al-An’am : 52 ).
Makna يَدْعُونَ رَبَّهُمْ adalah Orang-orang du’afa selalu berdzikir, membaca Al-Qur’an, berdakwah dan beribadah lainnya.
Allah membantah orang-orang musyrik yang meminta Rasulullah untuk mengusir para sahabat yang lemah dan miskin, dengan melarangnya melakukan permintaan mereka.
Hal ini karena para sahabat itu adalah orang-orang yang senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah di pagi dan petang hari tanpa mengharap balasan dari siapapun kecuali Allah; maka mengapa kamu akan mengusir mereka? Kamu tidak bertanggungjawab memikul kesalahan-kesalahan mereka, tidak pula dibebani menanggung rezeki mereka; dan merekapun tidak bertanggung jawab akan hal itu terhadapmu…
Dalam surat Al-Kahfi ayat 28 Allah ta’aala berfirman:
وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Wahai Rasulullah, bersabarlah ketika bersama para sahabatmu yang menyembah dan berdoa kepada Allah semata di waktu pagi dan petang karena mengharap keridhaan Allah; pedulilah kepada mereka dan kepada pertemuan dengan mereka, dan janganlah memalingkan pandanganku dari mereka menuju para pemuka orang-orang kafir karena kamu ingin duduk-duduk dengan mereka sebab mereka memiliki banyak kenikmatan dunia; dan janganlah kamu mentaati orang-orang yang lalai dari mengingat Allah dan mengikuti godaan setan. Sungguh urusan mereka dalam kerugian yang besar.
Ayat ini bersifat umum. Di antara kaidah-kaidah yang ada, salah satunya adalah kaidah:
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“‘Ibrah / Pelajaran itu Diambil dari Keumuman Lafadz bukan dari Kekhususan Sebab”
Artinya apabila terdapat suatu ayat yang memiliki sebab tertentu pada saat ayat itu turun, sedangkan ayat tersebut lafaznya umum, maka yang diambil adalah keumuman lafaznya.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Hud ayat 29:
إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ ۚ وَمَآ أَنَا۠ بِطَارِدِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ ۚ
Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman.
Maka, dakwah bersifat umum, tidak dikhususkan untuk golongan tertentu. Tidak ditentukan oleh orang-orang kaya yang bisa mengatur, exclusive dan rahasia. Dakwah bersifat umum dan terbuka.
Maka, jangan membeda-bedakan dalam berdakwah. Ciri dakwah salafiyah adalah dakwah terbuka, tanpa memandang status seseorang.
Ayat 29 surat Nuh di atas, ditafsirkan sebagai kejadian yang ada pada nabi Nuh alaihissalam: Nuh berkata kepada kaumnya, ”wahai kaumku aku tidak meminta dari kalian atas seruan dakwahku kepada kalian supaya mengesakan Allah dan memurnikan ibadah kepadaNya imbalan yang harus kalian bayarkan kepadaku setelah kalian beriman. Akan tetapi, pahala atas nasihat yang aku berikan kepada kalian menjadi tanggungan Allah semata, dan bukan menjadi sifatku untuk mengusir kaum mukninin. Sesungguhnya mereka akan berjumpa dengan tuhan mereka pada hari kiamat. Akan tetapi, aku melihat kalian adalah kumpulan orang-orang yang bodoh, karena menyuruhku mengusir kekasih-kekasih Allah dan menjuhkan mereka dari diriku.
Ukuran kebenaran adalah dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa memandang status keduniaan apapun. Jangan menjadi sombong, apapun alasannya. Karena sombong adalah:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“…Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
Masalah Ke-25: Berdalil Atas Batilnya Suatu Perkara Disebabkan Orang-orang Lemah Lebih Dahulu Masuk ke dalamnya
Berdalil Atas Batilnya Suatu Perkara Disebabkan Orang-orang Lemah Lebih Dahulu Masuk ke dalamnya. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
لَوْ كَانَ خَيْراً مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
“Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya”. ( QS. al-Ahqaf : 11 )
🏷️ Syarah DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan:
Diantara adat kebiasaan kaum Jahiliyah yaitu berargumen atas batilnya sesuatu karena perbuatan orang-orang lemah yang lebih dulu melakukan hal tersebut. Sebagaimana firman Allah tentang orang-orang musyrik bahwa mereka mengatakan :
لَوْ كَانَ خَيْراً مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
“Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya”. ( QS. al-Ahqaf : 11 )
Mereka mengatakan : “Kami ahli ilmu, berpengalaman, pemikir, mengatahui segala perkara, ketika kami melihat yang dibawa oleh Muhammad bukanlah kebenaran, kami pun meninggalkannya. Jika memang kebenaran niscaya kami lah yang lebih dulu membawanya, maka kami meninggalkan hal tersebut berarti hal tersebut bukanlah kebenaran “.
Ini merupakan kebatilan paling batil; karena mengikuti kebenaran tidak ditauqifikan ( ditetapkan ) pada golongan manusia, akan tetapi kebenaran adalah karunia dari Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-Nya dan di tunjukkan kepadanya. Dan pengikut para Rasul kebanyakan mereka merupakan orang-orang lemah. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْأَرْذَلُونَ
“Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?”. (QS. as-Syu’ara : 111 ).
Dan firman-Nya :
وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja..”. (QS. Hud : 27 ).
Yakni mereka tidak memiliki pemikiran, dan mereka mengklaim bahwa mereka pemikir dan cerdas. Jika yang dibawa oleh Nuh ‘alaihissalam adalah kebenaran niscaya akan diikuti para cerdik pandai dan banyak manusia. Maka, sikap mereka meninggalkan Nuh berarti apa yang dibawanya tersebut bukanlah kebenaran.
Pendapat ini batil, karena mayoritas orang yang mengingkari kebenaran adalah orang-orang kaya. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”. (QS. Saba : 34 ).
Dan mayoritas pengikut kebenaran adalah orang-orang lemah dan fakir, karena mereka tidak sombong.
Maka berargumen atas sesuatu bahwa hal tersebut adalah kebenaran karena orang-orang kaya mengikutinya atau orang-orang terhormat mengikutinya, atau argumen bahwa hal tersebut batil karena diikuti oleh orang-orang lemah, merupakan tolok ukur kaum Jahiliyah. Tidak boleh diambil sebagai timbangan untuk mengukur hak dan batil. Oleh karena itu para ulama mengatakan : “Kebenaran tidak diukur oleh manusia, akan tetapi manusia diukur oleh kebenaran “.
*****
📃 Penjelasan:
Masalah ke-25 ini adalah penguat dari masalah ke-24 dengan sedikit penambahan alasan. Sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيْهِ ۚ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا۟ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفْكٌ قَدِيمٌ
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. ( QS. al-Ahqaf : 11 )
Tafsir Ibnu Katsir Rahimahullah: yaitu mereka berkata tentang orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an bahwa sekiranya Al-Qur’an itu baik, maka mereka tidak akan mendahului kami dalam beriman kepadanya.
Yang mereka maksud adalah Bilal, Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang mukmin yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang mukmin yang lemah dan budak. Tidaklah mereka berpendapat demikian, melainkan mempunyai keyakinan bahwa mereka yakin bahwa bagi mereka itu kedudukan di sisi Allah dan diperhatikan olehNya.
Mereka keliru dalam hal ini dan besar kekeliruannya, sebagaimana Allah ﷻ berfirman:
وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لِّيَقُولُوٓا۟ أَهَٰٓؤُلَآءِ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنۢ بَيْنِنَآ ۗ أَلَيْسَ ٱللَّهُ بِأَعْلَمَ بِٱلشَّٰكِرِينَ
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Surah Al-An’am: 53)
yaitu mereka heran bagaimana bisa orang-orang seperti itu mendapat petunjuk, bukan kami? Oleh karena itu mereka berkata: (Kalau sekiranya dia (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya).
Adapun golongan ahlussunnah wal jamaah berkata tentang semua perbuatan dan ucapan yang tidak bersumber dari para sahabat maka hal itu adalah bid’ah, karena sesungguhnya seandainya hal itu baik, maka mereka mendahului kita pada hal itu, karena sesungguhnya mereka tidak meninggalkan suatu kebaikan melainkan mereka bersegera mengerjakannya.
Hindari Taklid Buta
Kebenaran berbeda dengan harta yang bisa diwariskan, maka kebenaran diukur dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan hal ini berasal dari guru-guru kita, tetapi tidak ada manusia yang sempurna, guru bisa juga salah. Maka, kembali kepada kebenaran yang bersumber dari Nabi ﷺ.
Imam Malik bin Anas berkata Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. (Dikalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad As-Salik (1/227).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم