بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc. M.A. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 30 Rabi’ul Akhir 1447 / 22 Oktober 2025



Pembahasan sebelumnya dapat diakses melalui link berikut: Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran

Bab-7: Adab-Adab Para Ulama dengan Al-Qur’an

Berdalih dengan Al-Qur’an

Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas mengenai orang yang tidak beradab kepada Al-Qur’an.

  • Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Muhammad bin Abi Zaid berfatwa mengenai orang yang berkata kepada seorang anak kecil: “Semoga Allah melaknat gurumu dan apa yang diajarkannya kepadamu?” Ia berkata: “Aku maksudkan adab yang tidak baik dan tidak aku maksudkan Al-Qur’an.” Maka Muhammad berkata: “Orang yang mengatakan itu dihukum.”

Adapun orang yang melaknat mushaf, maka ia boleh dibunuh. Inilah akhir perkataan Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu.

Menafsirkan Al-Qur’an tanpa Ilmu

  • Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits mengenai hal itu dan ijma’ berlaku atasnya.

*****

  • Penafsiran Al-Qur’an dilakukan dengan 2 metode:

1. Manqul: Diambil dari ayat-ayat atau hadits yang semakna dengan ayat tersebut. Inilah yang terbaik.
2. Bir-rayi’ : Dengan Ijtihad (dengan Kaidah ilmu). Tetapi yang dilarang adalah menafsirkan tanpa ilmu, seperti yang dilakukan oleh orang-orang liberal.

  • Seperti Saat menafsirkan surat An-Nasr, sahabat Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa surat tersebut adalah isyarat bahwa ajal Rasulullah ﷺ sudah dekat, setelah Allah memberikan pertolongan dan kemenangan dalam peristiwa Penaklukan Mekah (Fathu Makkah). Ibnu Abbas menafsirkan bahwa “kemenangan” dalam ayat itu merujuk pada Fathu Makkah, di mana orang-orang masuk Islam secara berbondong-bondong.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” [HR. At Tirmidzi 2950.

Para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar , apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba.

Beliau menjawab: “Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku”.

*****

  • Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 berkata:

Adapun penafsirannya oleh para ulama adalah boleh dan baik. Ijma’ telah menetapkan hal itu. Maka siapa yang ahli untuk menafsirkan dan mempunyai alat-alat yang dibutuhkan untuk mengetahui maknanya dan benar dugaannya terhadap apa yang dimaksud, ia pun boleh menafsirkannya jika dapat diketahui dengan ijtihad.

Seperti makna-makna dan hukum-hukum yang terang maupun yang samar, keumuman dan kekhususan serta i’raab dan lainnya.

Bilamana tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara-perkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan kata-kata menurut bahasa, maka tidak boleh berbicara mengenainya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diandalkan.

Adapun orang yang bukan ahlinya karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan maknanya. Akan tetapi ia boleh menukil tafsirnya dari ahlinya yang dapat diandalkan. (Kitab tafsir yang mudah dipahami yang kontemporer antara lain Tafsir Muyassar).

Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka tanpa dalil yang sahih ada beberapa macam:

  1. Di antara mereka ada yang berhujjah dengan ayat untuk membenarkan mazhabnya, dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar dugaannya bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. la hanya ingin mengalahkan lawannya.
  2. Di antara mereka ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujjah dengan suatu ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.
  3. Di antara mereka ada yang menafsirkan kata-kata Arabnya tanpa memahami makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil, kecuali dengan mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir. Seperti penjelasan makna kata dan i’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakikat dan majaz, keumuman dan kekhususan, ijmal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan lain sebagainya dari hal-hal yang berbeda dengan lahirnya.
  • Nahwu dan shorof adalah dua bidang ilmu dasar bahasa Arab yang saling melengkapi. Nahwu berfokus pada struktur kalimat, sedangkan shorof berfokus pada bentuk dan perubahan kata. Keduanya sangat penting untuk memahami makna kalimat Arab secara akurat,
  • Jika salah membaca atau menafsirkan maka akan berakibat salah paham atau tidak paham. Seperti menafsirkan majelis dzikir pada hadits larangan Nabi ﷺ sebelum Jum’at, hanya karena perubahan harakat, maka diartikan cukur (yang malah disunahkan), tentu ini kesalahan yang fatal.

*****

Di samping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi harus mengetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir mengenainya. Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan lahirnya atau memaksudkan kekhususannya atau idhmaar atau selain itu yang bertentangan dengan lahirnya.

Seperti apabila lafadhnya mempunyai beberapa makna, lalu ia mengetahui di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa makna itu, kemudian ia menafsirkannya dengan semua makna yang dikandungnya. Maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi) dan hukumnya haram. Dan Allah lebih mengetahui.

*****

Jangan sampai menjadikan Al-Qur’an sebagai dalih, bukan dalil. Seperti tukang cerita (قَصَّاص ) yang sering dipanggil para raja, mereka menggunakan Al-Qur’an untuk mempermanis ceritanya.

Demikian juga untuk tujuan remeh, seperti mendebat saudaranya karena taqlid terhadap Madzhab. Seperti:

رُوِيَ عن أنس بن مالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال: قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَكونُ في أُمَّتي رجلٌ يقال له محمدُ بنُ إدريسَ أَضَرُّ على أُمَّتي مِنْ إبليس، ويكون في أُمَّتي رجلٌ يقال له أبو حَنِيْفَةَ هو سِراجُ أُمَّتي » حديث موضوع

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Akan ada di umatku (nanti) seorang laki-laki yang bernama Muhammad bin Idris (asy-Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis dan akan ada di umatku (nanti) seorang laki-laki yang bernama Abu Hanifah, dialah pelita bagi umatku”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhû’ât (2/48) dan dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Ahâdîtsu Mukhtârah (hlm 112), dari jalur Ma’mun bin Ahmad as-Sulami, dari Ahmad bin ‘Abdillah al-Juwaibari, dari ‘Abdullah bin Ma’dan al-Azdi, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam .

Haramnya Menjatuhkan Martabat Saudaranya

Allah ﷻ telah jelas melarang hal ini dalam surat Al-Hujurat ayat 11, dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tafsirnya, “Allah Ta’ala melarang dari perbuatan sikhriyyah terhadap manusia, yaitu sikap merendahkan orang lain dan menghina mereka. Hal ini sebagaimana terdapat pula dalam hadits Nabi tatkala beliau bersabda, ‘Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’, maksudnya adalah menghina dan menganggap orang lain lebih rendah, dan ini adalah perbuatan haram”.

Dalam pandangan Islam, menghina atau merendahkan martabat saudara seiman merupakan tindakan yang sangat buruk dan tidak bermoral.

Bersabda Rasulullah ﷺ: “Seseorang sudah cukup įahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya.’ (HR. Muslim)

Kita harus memahami bahwa setiap manusia memiliki hak-haknya sendiri, yang harus dihormati dan dijaga. Kehormatan, jiwa, darah,
harta benda setiap individu harus dianggap suci, dan kita bertanggung jawab untuk menjaga semua itu.

Siapa sangka setiap tindakan kecil yang penuh kasih dan hormat bisa memberikan dampak besar dalam menjalin hubungan harmonis di antara sesama manusia.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم