بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Ain Khalid – Doha, 21 Dzulqa’dah 1446 / 19 Mei 2025



Bagian Kelima: Muamalat | Pasal: Beberapa Akad

Materi Kelima: Ju’alah (Sayembara)

1. Definisinya

Ju’alah secara bahasa adalah memberikan upah (hadiah) kepada seseorang karena orang itu melakukan sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan pengertian menurut syariat adalah seseorang yang diberi sesuatu dengan kadar tertentu untuk mengerjakan perbuatan khusus baik yang sudah diketahui ataupun belum diketahui. Seperti seseorang yang berkata, “Barangsiapa yang membangunkan saya sebuah tembok maka dia akan memperoleh bayaran sekian.” Orang yang diberi tugas untuk membangun tembok itu, berhak memperoleh upah yang diberikan kepadanya baik dalam sedikit maupun banyak.

2. Hukamnya

Hukum Juw’alah adalah Boleh, berdasarkan firman Allah ﷻ,

وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ

“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban onta, dan aku menjamin terhadapnya?” (Yusuf : 72)

Dalil yang lain adalah sabda Rasulullah ﷺ kepada orang yang mendapatkan sekawanan kambing karena berhasil mengobati dari sengatan binatang berbisa, “Ambillah itu dan jadikanlah bagianku bersama kalian”. (Sebagian hadits diriwayatkan oleh Al Bukhari dalarn Kitab Al Ijarah).

3. Hukum-hukum Terkait

1. Ju’alah merupakan akad yang dibolehkan (jaiz). Sehingga siapa pun diantara kedua belah pihak yang mengadakan akad, boleh membatalkan akadnya. Jika pembatalan sebelum bekerja maka bagi pekerja tidak mendapatkan apa apa. Namun jika pembatalan ditengah tengah pekerjaan maka pekerja memperoleh upah sesuai dengan apa yang telah dikerjakan.

2. Di dalam Ju’alah tidak disyaratkan bahwa waktu pekerjaan diketahui. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa orang yang bisa mengembalikan binatang ternaknya yang hilang maka berhak memperoleh satu dinar. Orang yang mengembalikan binatang ternak yang telah hilang tersebut herhak memperoleh satu dinar walaupun hilang sudah selama sebulan atau setahun.

3. Jika sekelompok orang melakukan satu pekerjaan maka upah dari pekerjaan itu dibagi secara merata.

4. Ju’alah tidak boleh untuk pekerjaan yang diharamkan. Seperti bernyanyi, main alat tiup, memukul seseorang atau menampar seseorang.

5. Barangsiapa mengembalikan barang temuan atau barang yang hilang atau dia melakukan perbuatan untuk menemukan suatu barang, namun semua ini dilakukan sebelum dia mengetahui bahwa terdapat akad ju’alah untuk menemukan barang itu maka orang yang mengembalikan barang temuan itu tidak berhak memperoleh bayaran. Sebab, dia melakukan hal itu bukan karena adanya upah. Oleh karenanya orang ini tidak berhak memperoleh bayaran atas akad ju’alah kecuali ketika menyerahkan orang buronan atau menyelamatkan orang yang tenggelam. Dia diberi balas budi karena keberaniannya melakukan hal itu.

6. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan seperti ini atau minum seperti ini dari bahan-bahan yang halal maka dia berhak memperoleh upah sekian. Ju’alah seperti ini dinilai sah. Lain halnya jika seseorang berkata, “Barangsiapa makan sekian dan meninggalkan sesuatu karena telah makan dan itu menjadi kewajibannya”, Maka, jualah ini dianggap tidak sah.

7. Jika pemilik modal dan pekerja berbeda pendapat tentang besarnya ju’alah maka ucapan yang didengar adalah ucapan pemilik modal yang disertai dengan sumpah. Namun jika mereka berdua berbeda pendapat tentang asal ju’alah maka ucapan yang perlu didengar adalah ucapan pekerja yang disertai dengan sumpah.


Materi Keenam: Hawalah (Pemindahan Hutang).

1. Definisinya

Hawalah adalah pemindahan utang dari pengutang satu kepada pengutang lainnya. Hal ini seperti seseorang (A) yang memiliki utang. Di waktu yang bersamaan A mempunyai piutang pada orang lain (B) dan jumlah piutangnya itu sama dengan jumlah utangnya. Suatu ketika A ditagih utangnya, lalu A berkata kepada penagih (C), “Saya punya piutang pada B dan jumlah piutangnya sama dengan jumlah utang saya kepadamu, oleh karenanya ambil saja uang saya pada si B” Jika yang dikirimi uang ridha maka orang yang mengirimkan uang (pengutang) telah bebas utangnya.

2. Hukumnya

Hawalah hukumnya boleh. Hanya saja orang yang dikirimi uang, harus menerima uang yang dikirimkan kepadanya. Dasarnya adalah Rasulullah ﷺ bersabda,

“Penundaan (pelunasan) utang dari orang kaya adalah zhalim. Apabila salah seorang dari kalian dialihkan utangnya pada orang yang kaya maka hendaklah menerimanya”. (HR. Al-Bukhari, 3/123, Muslim,Kitab Al Musaqat,33, dan Abu Dawud,Kitab Al-Buyu’, 10).

Begitu pula sabdanya, “Penundaan pelunasan utang dari orang kaya adalah zhalim, apabila utangmu dialihkan kepada orang kaya itu maka ikutilah.” (HR. Ashabus Sunan dan merupakan hadits shahuh. Hadits ini lafadz dari Ibnu Majah, 2404).

3. Syarat-syaratnya

a. Utang yang dikirimkan kepada orang yang akan menerimanya merupakan utang yang sudah fix pada pengutang yang dituju proses hawalah.

b. Dua utang yang sama jenisnya, besarnya, dan waktunya.

c. Pengutang dan orang yang dikirimi uang sama sama ridha. Jika orang yang berutang memiliki kewajiban maka dia tidak harus menunaikannya dengan cara hawalah. Tetapi hal itu hanyalah pilihan dalam menunaikan kewajiban itu. Sebab, orang yang menerima kiriman uang, jika syariat memintanya untuk menerima hawalah maka itu tidak harus, tetapi hanya anjuran atau sebaiknya menerima hawalah. Itu saja, tidak lebih. Jadi, hawalah bukan merupakan akad yang mengikat dan harus. Hawalah hanya bermaksud melunak hati di antara kaum Muslimin.

4. Hukum-hukum Terkait

a. Orang yang dikirimi uang adalah orang yang mampu untuk memenuhi janji untuk menerima pengiriman uang lewat cara hawaalah. Sebab, sabda Rasulullah, “Jika salah satu dari kalian dialihkan utangnya kepada orang yang kaya” *) “maka terimalah.’

*) Merupakan mafhum syarth. Jika dialihkan kepada yang tidak kaya, maka tidak harus mengikutinya. Sebab, tidak ada gunanya mengikuti seorang yang fakir dalam pengalihan, karena tidak akan dapat apapun.

b. Jika dialihkan maka pastikan bahwa orang itu telah bangkrut, sudah wafat atau hilang yang menurut perhitungan manusia amat sulit dia melunasi utang. Maka kewajiban pelunasan utang dialihkan kepada orang yang berutang padanya (orang yang bangkrut, wafat atau hilang itu).

c. Seorang laki laki (A) mengalihkan utangnya kepada orang yang lain (B). Sementara si B mengalihkan utangnya kepada si C. Maka hawalah dalam kondisi ini tetap boleh, berulang kalinya/berpindahnya orang yang menerima kiriman uang tidak menjadi masalah, selama syarat-syaratnya terpenuhi.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم