بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc. M.A. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 25 Rabi’ul Awal 1447 / 18 September 2025.



Pembahasan sebelumnya dapat diakses melalui link berikut: Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran

Pada pembahasan lalu Telah dibahas tentang bagaimana hukum penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai jawaban atau merespon panggilan seseorang:

1. Jika dijadikan ayat untuk menjawab kebutuhan atau panggilan seseorang maka tidak boleh, karena bentuk ihtihza (meremehkan Al-Qur’an) seperti :

  • Apa kabar anda? Dijawab Membaca Al-Qur’an Surat Alfatihah –
    “Alhamdulillah rabbil alamin” (ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ)
  • Jika ditagih hutang, maka dia menjawab:

وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

Meskipun dalam shalat, jika tujuannya untuk merespon seseorang, maka batal shalatnya.

2. Untuk merespon keadaan sesuai realita, maka ini boleh, seperti saat Umar bin Khathab menjadi Imam membaca surat at-Tim.

وَهَٰذَا ٱلْبَلَدِ ٱلْأَمِينِ

dan demi kota (Mekah) ini yang aman,

Kapan Boleh Memutus Bacaan Al-Qur’an karena Kebutuhan tertentu.

1. Membaca Al-Qur’an sambil berjalan:

Pasal: Apabila seseorang membaca Al-Qur’an sambil berjalan, lalu melewati sekelompok orang, dianjurkan baginya memutuskan bacaannya dan memberi salam kepada mereka, kemudian kembali lagi meneruskannya.

Jika mengulangi ta’awwudz, maka perbuatan itu lebih baik.

2. Membaca Al-Qur’an sambil duduk:

Andaikata membaca sambil duduk, lalu ada orang lewat di depannya, maka dikatakan oleh Al-Imam Abul Hasan Al-Wahidi: “Yang lebih utama adalah tidak memberi salam kepada pembaca Al-Qur’an, karena ia sibuk membaca.”

Dan ia berkata: “Jika seseorang memberi salam kepadanya, cukuplah ia menjawab dengan isyarat.”

la berkata pula: Jika ia ingin menjawab dengan lafadh salam, ia boleh menjawabnya, kemudian mulai membaca isti’adzah dan meneruskan bacaannya. Namun, pendapat yang dikatakannya itu lemah. Yang jelas adalah kewajiban menjawab dengan ucapan.

Menjawab salam hukumnya wajib. Karena Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menjawab salam. Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu tahiyyah (penghormatan), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An-Nisa: 86).

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak sesama Muslim ada lima: membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya, dan ber-tasymit ketika ia bersin” (HR. Bukhari no.1164, Muslim no.4022).

Sahabat-sahabat kami berkata: Apabila orang yang masuk memberi salam pada hari Jum’at dalam keadaan imam sedang berkhutbah, padahal kami mengatakan bahwa diam adalah sunnah, maka wajiblah dia menjawab salam menurut pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851)

Tidak mengucap salam lebih baik, tetapi menjawab salam tetap lebih wajib.

Apabila mereka katakan: Ini adalah dalam keadaan khutbah, sedangkan terdapat perselisihan mengenai kewajiban diam dan pengharaman berbicara, maka dalam keadaan membaca Al-Qur’an yang tidak diharamkan berbicara di dalamnya berdasarkan ijma’ adalah lebih utama di samping hukum menjawab salam adalah wajib. Wallohu’alam.

3. Membaca Al-Qur’an kemudian Bersin

Bilamana ia bersin dalam keadaan membaca, maka dianjurkan mengucapkan: “Alhamdulillah” demikian pula halnya di dalam shalat.

Karena ucapan Alhamdulillah adalah bagian dari dzikir dan sama sekali tidak mencacati shalat. Tetapi menjawab bersin disaat sedang shalat dilarang.

Andaikata orang lain bersin sedang ia membaca Al-Qur’an di luar shalat dan orang itu mengucapkan: “Alhamdulillah”, disunnahkan bagi pembaca itu mendoakannya dengan mengatakan: “Yarhamukallahu (Semoga Allah merahmatimu).”

4. Membaca Al-Qur’an kemudian Mendengar Adzan

Andaikata pembaca Al-Qur’an mendengar adzan, ia hentikan bacaannya dan menjawabnya dengan mengikutinya membaca lafadh-lafadh adzan dan iqamat, kemudian ia kembali membacanya. Ini disepakati oleh para sahabat kami.

5. Membaca Al-Qur’an dan datang Orang yang Punya Keperluan

Apabila ada orang yang punya keperluan dengannya, sedangkan ia dalam keadaan membaca Al-Qur’an, dan memungkinkan baginya untuk menjawab orang yang bertanya dengan isyarat yang dapat dipahami dan ia yakin bahwa hal itu tidak mengecewakan hatinya dan tidak mengganggu hubungan antara keduanya, maka sebaiknya ia menjawabnya dengan isyarat dan tidak menghentikan bacaan.

Jika ia menghentikannya, maka hal itu dibolehkan. Dan Allah Maha Mengetahui.

6. Berdiri saat Membaca Al-Qur’an

Apabila datang kepada pembaca Al-Qur’an orang yang berilmu atau terhormat atau orang tua yang terpandang atau memiliki kehormatan sebagai pemimpin atau lainnya, maka tidak ada masalah bila pembaca berdiri untuk menghormati dan memuliakannya, bukan karena riya’ dan membanggakan diri. Bahkan perbuatan itu mustahab (sunnah). Berdiri sebagai penghormatan adalah perbuatan Nabi dan perbuatan para sahabatnya di hadapan beliau dan dengan perintahnya serta perbuatan para tabi’in dan ulama yang shaleh sesudah mereka.

Telah saya kumpulkan sebagian tentang berdiri dan saya sebutkan di dalamnya hadits-hadits dan atsar-atsar yang diriwayatkan tentang kesunnahannya dan pendapat yang melarangnya.

Saya jelaskan semua itu dengan memuji Allah Ta’ala. Maka siapa yang meragukan sesuatu dari hadits-haditsnya, hendaklah ia mempelajarinya, niscaya ia dapati keterangan yang menghilangkan keraguannya, insya’ Allah.

Syaikh bin Baz Rahimahullahu saat ditanya bolehkah berdiri menyambut tamu untuk menghormatinya, beliau menjawab:

Anda tidak harus berdiri menyambut orang yang datang. Barang siapa berdiri untuk menjabat tangannya dan menuntunnya—terlebih lagi tuan rumah dan para pemuka—ini merupakan akhlak yang mulia.

Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiallahu anha (putri beliau, -red.). Demikian juga Fathimah radhiallahu anha berdiri menyambut kedatangan beliau.

Para sahabat berdiri atas perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyambut Saad bin Muadz radhiallahu anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah.

Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berdiri di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika Kaab bin Malik radhiallahu anhu datang pada peristiwa diterimanya tobat beliau oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya, kemudian duduk.

Ini merupakan akhlak yang mulia.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم