بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ummahat Doha – Senin Pagi
Membahas: Kitab Minhajul Muslim karya Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi Rahimahullah
Bersama Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. Hafidzahullah
Ain Khalid – Doha,  7 Dzulqa’idah 1446 /  5 Mei 2025



Bagian Kelima: Muamalat | Pasal: Beberapa Akad

Materi Kedua: Mudharabah

B. Muzaara’ah

1. Definisinya

Muzara’ah adalah seseorang memberikan tanahnya kepada seorang pekerja untuk ditanami dengan upah bagian tertentu yang diambil dari hasil tanah tersebut.

2. Hukumnya

Mayoritas para sahabat, tabi’in dan imam-imam madzhab membolehkan aktivitas Muzara’ah. Sementara yang lain melarangnya. Dalil yang membolehkannya adalah Rasulullah pernah bermuamalah dengan mempekerjakan penduduk Khaibar, dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwasanya beliau mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil pertanian dan buah-buahan. Pada saat itu, Rasulullah memberikan istri-istrinya sebanyak 100 Wasyaq (30 wasyaq korma dan 20 wasyaq gandum).

Adapun yang berpendapat bahwa Muzara’ah itu dilarang adalah karena ada sesuatu yang tidak jelas, Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Raai’ bin Khudaij, “Kami adalah orang Anshar yang paling banyak memiliki kebun dan kanu memperkerjakan orang untuk menggarap ladang. Apabila ada hasilnya penggarapnya mendapatkan bagian dan bila tidak maka tidak dapat bagian. Kemudian kami dilarang mempraktikkan ini”. (HR. Al Bukhari , Kitab Asy Syuruth, 7, dan Muslim, Kitab Al Buyu’, 99).

Atau pengertian larangan ini adalah makruh (al karahah at tanzihiyyah) dalilnya adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma berkata, “Nabi ﷺ tidak melarang hal itu. Namun beliau bersabda, Perbuatan salah seorang di antara kalian yang memberikan kepada saudaranya itu lebih baik daripada dia mengambil hasil yang ditentukan”. (HR Al-Bukhari dalam Shahihnya).

3. Hukum-hukum Terkait

  1. Jelas waktunya, harus ditentukan dan terbatas, misalnya satu tahun. Jangan sampai gharar (akhirnya tidak jelas) yang mempengaruhi hasil dan bisa menimbulkan perselisihan.
  2. Bagian yang disepakati besarnya harus diketahui. Misalnya, 1/2, 1/3 atau 1/4. Bagian yang disepakati ini berlaku pada seluruh hasil yang berasal dari tanah ini. Jika ada orang yang menyatakan, “Bagianmu adalah tanaman yang tumbuh di bagian ini saja,” apabila perkataan ini diterapkan maka akad muzaraah seperti ini tidak sah.
  3. Bibit tanaman dari pemilik tanah. Adapun jika bibit dari pekerja maka istilahnya bukan muzar’ah tetapi mukhabarah. Perbedaan keduanya amat jauh. Jabir berkata, “Rasulullah melarang mukhabarah”.
  • HR. Imam Ahmad 2/11 Idengan sanad shahih. Al Mukhabarah sebagaimana dijelaskan dalam Fath Al-Bari adalah bibit berasal dari pekerja bertentangan sekali dengan muzara’ah yang mana bibit berasal dari pemilik tanah.
  • Ulama berbeda pendapat, sebagian menyamakan istilah keduanya. Dan hukumnya sama, jumhur ulama membolehkan.
  1. Jika pemilik tanah mensyaratkan mengambil bibit dari hasil panen sebelum dibagi dan sisanya untuknya, sedangkan untuk pekerja adalah sesuai yang disyaratkan maka muzaraah seperti ini tidak sah.
  2. Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih utama daripada muzara’ah, berdasarkan yang diriwayatkan dari Rafi’ bin Khudaij, “Adapun dengan emas atau mata uang maka kami tidak dilarang”

Barangsiapa memiliki tanah, namun tidak dimanfaatkan maka disunnahkan untuk dipersilahkan saudaranya untuk menggarap tanah itu tanpa bayaran. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barangsiapa memiliki tanah maka tanamilah atau berikanlah kepada saudaramu untuk menggarapnya”. (HR. Al Bukhari, 3/141, dan Muslim, Kitab Al Buyu’, 102)

Jumhur ulama melarang pemyewaan tanah dengan pembayaran dalam bentuk makanan, Ini berarti menjual makanan dengan bayaran dalam bentuk makanan masuk kategori riba nasi’ah dan riba fadhl dan hal ini dilarang. Adapun yang diriwayatkan dari Ahmad tentang kebolehannya mengandung pengertian kebolehan muzara’ah dan bukan penyewaan tanah dengan pembayaran dalam bentuk makanan.

Materi Keempat: Ijarah

1. Definisinya

Ijarah (sewa) adalah akad untuk memperoleh manfaat dalam masa tertentu dengan harga tertentu.

2. Hukumnya

Hukum ijarah adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah ﷻ,

لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

“Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (Al Kahfi: 77)

Begitu pula firman Nya dalam surat Al-Qashash ayat 26-27:

ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ

Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.

عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ

atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.

Legalitas ijarah juga diperkuat dengan sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits qudsi, “Ada tiga golongan yang Aku memusuhi mereka….(di antaranya) seorang laki-laki yang menyewa seseorang. Kemudian orang yang disewanya minta agar upahnya dipenuhi. Namun laki-laki itu tidak memenuhi upah orang sewaan itu.” HR. Ibnu Majah, 2442. Terdapat puta dalam Fath Al-Bari, 4/447.

Dalam hadits yang Jain disebutkan, ketika Rasulullah dan Abu Bakar hijrah mereka menyewa seorang laki-laki dari bani Dail. Tugas orang ini adalah menjadi penunjuk jalan menuju ke Madinah.

3. Syarat-syarat Ijarah

  1. Mengetahui manfaatnya. Misalnya, menyewa seseorang sebagai tukang sapu di rumah atau untuk menjahit baju. Ijarah sebenarnya hampir sama dengan jual beli, harus mengetahui apa yang dibeli.
  2. Manfaatnya berupa sesuatu yang dibolehkan secara syariat. Tidak dibolehkan menyewa hamba sahaya untuk berzina, menyewa perempuan untuk menyanyi atau meratap. Tidak dibolehkan pula menyewa tanah untuk dibangun gereja atau bar.
  3. Besarnya upah harus diketahui. Sebab, Abu Sa’id berkata, “Rasulullah melarang menyewa seseorang hingga jelas berapa upah yang akan diterimanya.” (HR. Imam Ahmad, 3/59, 68, 71).

4. Hukum-hukum Terkait

  1. Dibolehkan menyewa seorang guru untuk mengajarkan sebuah ilmu atau tentang perindustrian. Dalilnya adalah Rasulullah ﷺ memanfaatkan para tawanan perang Badar untuk mengajarkan sejumlah anak kecil di Madinah dalam hal tulis menulis. (Muhammad bin Ishaq, Ashab Al Maghazi wa As-Siyar)
  2. Dibolehkan menyewa seseorang dengan memberinya makanan dan pakaian. Sebab, Rasulullah membaca ayat tha sin mim (surat Al-Oashash) sampai ayat tentang kisah nabi Musa, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Musa menjadikan dirinya buruh selama delapan atau sepuluh musim haji dengan upah keterjagaan kemaluannya dan makanan untuk perutnya” (HR. Ibnu Majah, 2444, dalarn sanadnya terdapat hal yang dibicarakan).
  3. Sahnya mengontrak rumah tertentu, setelah diperkirakan secara yakin bahwa rumah itu akan ditempati.
  4. Jika seseorang menyewa sesuatu, kemudian menolak untuk memanfaatkannya dalam beberapa waktu maka biaya sewa batal selama waktu penolakan itu. Namun jika penolakan pemanfaatan berasal dari diri orang yang menyewanya maka dia harus membayar sewa secara penuh.
  5. Ijarah menjadi batal jika terjadi kerusakan pada barang yang disewa. Misalnya, rumah yang disewa roboh atau binatang ternak yang disewa mati. Orang yang menyewa harus membayar uang sewa untuk waktu yang telah berlalu, yaitu waktu ketika barang yang disewa telah dimanfaatkan.
  6. Barangsiapa menyewa sesuatu dan menemukan ada bagian yang rusak. Jika pada awalnya dia tidak mengetahui adanya kerusakan dan menerima dengan kondisi barang yang disewa maka dia berhak membatalkan akad ijaarah itu. Namun jika dia sudah memanfaatkan barang itu dalam waktu tertentu maka dia harus membayar uang sewanya.
  7. Orang yang disewa secara bersama seperti tukang jahit dan tukang besi menjamin apa yang rusak karena ulah mereka, selama barang itu tidak hilang dari tokonya. Karena pada saat itu, barang konsumen yang ada pada tukang jahit atau tukang besi seperti barang titipan. Barang titipan tidak dijamin selama pemiliknya tidak kehilangan. Orang sewa tenaga khusus seperti seorang laki laki yang menyewa seseorang dengan tugas khusus. Tidak ada jaminan atasnya pada apa yang rusak, selama tidak ditetapkan bahwa barang itu hilang.
  8. Uang sewa harus ditetapkan dengan akad. Penyerahan upah juga harus ditentukan setelah memperoleh manfaat atau setelah pekerjaan selesai, kecuali jika disyaratkan uangnya harus diserahkan pada saat akad. Sebab, berdasarkan keterangan hadits bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Pekerja memperoleh upahnya setelah selesai bekerja” (HR. Imam Ahmad, Musnad. Dalam sanadnya terdapat kelemahan. Imam As-Suyuthi mencantumkan hadits ini di dalam Ad Durr Al-Mantsuur, 1/184).
  9. Orang yang disewa berhak untuk menahan barang yang dipesan hingga upahnya dilunasi, jika pekerjaan orang sewaan itu terkait dengan barang yang ditahan, Misalnya, seorang tukang jahit. Namun jika pekerjaannya tidak ada kaitannya dengan suatu barang, seperti seorang kuli panggul yang disewa untuk membawa barang dagangan ke tempat tertentu maka dia tidak berhak untuk menahan barang dagangan itu. Dia harus mengantarkan barang itu ke tempat yang diperintahkan, kemudian dia menuntut dibayarkan upahnya.
  10. Barangsiapa mengobati seseorang dengan upah, kemudian terjadi suatu gangguan, kesalahan, padahal dia tidak memiliki pengetahuan tentang kedokteran maka dialah sebagai penjaminnya yang bertanggung jawab. Sebab, Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa mengobati seseorang, padahal dia tidak mengetahui ilmu kedokteran” maka dialah sebagai penjaminnya.” (HR. Abu Dawud, 5960, Al-Hakim, 4/212, dan Ad Daraguthni, 4/216. Abu Dawud mengomentari hadits ini, “Tidak tahu apakah hadits ini shahih atau tidak.”).
  • Orang yang diajarkan ilmu kedokteran adalah orang yang mengetahui berbagai penyakit dan obat-obatan. Dia memiliki guru-guru yang mengetahui bahwa dia mengerti ilmu kedokteran. Guru-guru itu pula yang membolehkannya untuk melakukan tindakan medis dan melakukan praktek kedokteran.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم