بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: Doha, 6 Rabi’ul Akhir 1447 / 28 September 2025
KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Jenazah | Bagian Ke-3
Pertama:
Hukum-hukum Terkait Dengan Orang Sakit Dan Orang Sekarat
ANJURAN UNTUK BERWASIAT
Bagi orang yang sakit, disunnahkan untuk berwasiat atau berpesan agar sebagian hartanya disumbangkan untuk kebaikan. Ia juga harus berpesan seputar hartanya, hutang-hutangnya, juga titipan dan amanah orang yang ada padanya. Ini dianjurkan, bahkan bagi orang yang masih segar bugar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَىْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِىَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ [رواه مسلم].
“Tidak patut bagi seorang muslim bermalam hingga dua malam, sementara dia mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, kecuali seharusnya wasiatnya telah tertulis di sisinya.” Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Umar. Diriwayatkan oleh al Bukhari (no. 2738)
Disebutkannya kata ‘dua malam’ di sini sebagai penekanan saja, bukan merupakan pembatasan waktu. Artinya, jangan sampai berlalu waktu sedikit pun tanpa pesan itu tertulis di sisinya. Karena seseorang tidak tahu, kapan ajal menjemputnya.
Ketentuan Terkait Wasiat
Ketentuan terkait wasiat dalam bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) dengan harta, ia tidak boleh lebih dari 1/3 total harta. Karena jika lebih dari 1/3 total harta, akan membahayakan ahli waris, yang mereka lebih berhak terhadap harta warisan mayit. Sehingga tidak sah wasiat harta yang melebihi 1/3 dari total harta. Sebagaimana dalam hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu’anhu:
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ ، أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَ بِى مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى ، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ لِى وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَىْ مَالِى قَالَ « لاَ » . قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ « لاَ » . قُلْتُ فَالثُّلُثِ قَالَ « وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا ، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِى فِى امْرَأَتِكَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آأُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِى قَالَ « إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلاً تَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً ، وَلَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ ، اللَّهُمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِى هِجْرَتَهُمْ ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ . لَكِنِ الْبَائِسُ سَعْدُ ابْنُ خَوْلَةَ رَثَى لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ تُوُفِّىَ بِمَكَّةَ
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan segera berpisah dengan kawan-kawanku?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya engkau belum akan berpisah. Kamu masih akan menambah amal yang kamu niatkan untuk mencari ridha Allah, sehingga akan bertambah derajat dan keluhuranmu. Dan barangkali kamu akan segera meninggal setelah sebagian orang dapat mengambil manfaat darimu, sedangkan yang lain merasa dirugikan olehmu. Ya Allah, mudah-mudahan sahabat-sahabatku dapat melanjutkan hijrah mereka dan janganlah engkau mengembalikan mereka ke tempat mereka semula. Namun, yang kasihan (merugi) adalah Sa’ad bin Khaulah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyayangkan ia meninggal di Makkah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 4409 dan Muslim no. 1628).
Hikmah Menuliskan adanya Wasiat:
1. Tidak ada hak manusia terabaikan setelah kematian.
2. Membebaskan tanggungan utang seseorang di hadapan Allah ﷻ.
3. Sebagai bentuk menjaga amanah agar tidak tercampur dengan harta warisan.
4. Untuk menghindarkan sengketa di antara ahli waris.
PERINTAH UNTUK BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH
Orang-orang yang sakit hendaknya berbaik sangka kepada Allah. Karena Allah berfirman (dalam sebuah hadits qudsi):
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku dalam keadaan sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.” Muttafaqun ‘alaihi. [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675]
Dan berbaik sangka kepada Allah lebih ditekankan lagi, saat seseorang sudah merasa akan segera berjumpa dengan Allah ﷻ.
An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
قَالَ الْقَاضِي قِيلَ مَعْنَاهُ بِالْغُفْرَانِ لَهُ إِذَا اسْتَغْفَرَ وَالْقَبُولِ إِذَا تَابَ وَالْإِجَابَةِ إِذَا دَعَا وَالْكِفَايَةِ إِذَا طَلَبَ الْكِفَايَةَ
“Al Qadhi mengatakan: maknanya Allah akan memberikan ampunan jika hamba beristighfar, dan Allah akan terima taubat jika hamba bertaubat, dan Allah akan kabulkan doa jika ia berdoa, dan Allah akan berikan kecukupan jika ia meminta kecukupan” (Syarh Shahih Muslim, 17/2).
Disampaikan oleh Dr. Mustafa Dib Al-Bugha dalam taklik shahih al-Bukhari bahwa makna hadist di atas adalah bahwa Aku akan membalasnya sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Ku , jika ia berharap Aku mengampuninya maka itu yang akan ia dapatkan, karena tidak ada yang berharap kecuali seorang mukmin, karena seorang mukmin tahu ada Rabb yang akan membalasnya, jika ia putus asa dari rahmat Ku maka dia telah bersuudzan Allah ﷻ akan membalasnya maka itulah yang akan ia dapatkan.
Keutamaan bersabar dan berbaik sangka jika sakit:
- Dapat menghapuskan dosa-dosa.
- Jalan mendapatkan pahala jika bersabar, bahkan pahalanya tanpa batas.
- Sebab semakin dekat dengan Allah ﷻ.
Antara Khauf dan Roja’
Bagi orang yang datang menjenguk orang sakit, dianjurkan untuk memotivasinya agar senantiasa berharap rahmat Allah dan mendominasikan sisi harapan (Roja’) daripada sisi takut (khauf).
Adapun di saat sehat, rasa berharap (Roja’) dan rasa takut harus berimbang (khauf).
- Karena orang yang didominasi rasa takut, akan membuatnya mudah putus asa.
- Sementara orang yang didominasi rasa berharap, akan terjebak pada rasa aman terhadap siksa Allah.
Allah ﷻ melarang orang-orang yang berputus asa, sesuai firman-Nya dalam Surat Az-Zumar Ayat 53:
۞ قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam surat Yusuf ayat 87,Allah ﷻ berfirman :
إِنَّهُۥ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.
Jika, terlalu mengedepankan harapan, maka akan bermudah-mudahan dalam berbuat dosa, tidak merasa takut:
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 99:
أَفَأَمِنُوا۟ مَكْرَ ٱللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, tiadalah yang merasa aman dari azab Allah berarti dia tidak mempercayai balasan amal perbuatan dan tidak pula beriman kepada para rasul dengan iman yang sebenarnya.
Ayat ini mengandung peringatan yang mendalam bahwa seorang hamba tidak sepatutnya merasa aman terhadap keimanan yang dimilikinya, justru hendaknya dia merasa takut dan khawatir jika ditimpa sebuah ujian yang dapat melenyapkan imannya, hendaknya dia selalu berdoa:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
hendaknya dia beramal dan berusaha melalui berbagai cara yang bisa membebaskannya dari keburukan pada saat terjadinya fitnah-fitnah karena seorang hamba walaupun dia telah mencapai apa yang telah dicapai, dia tidak benar-benar yakin bisa selamat.
ANJURAN MEMBIMBING ORANG YANG SEKARAT MEMBACA SYAHADAT
Kalau orang sakit sudah mengalami sekarat, dianjurkan untuk dibimbing membaca Laa Ilaaha Illallaah (ditalqinkan), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162)
Tujuannya adalah agar orang sakit meninggal dunia dengan kalimat tauhid, sebungga kalimat tauhid itu menjadi ucapan terakhirnya.
Diriwayatkan dari Mu’adz sebuah hadits marfu’:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Talqin atau bimbingan itu hendaknya dilakukan dengan santun, tidak boleh terlalu sering agar ia tidak marah dalam kondisinya yang sedemikian rupa.
Adab-Adab Mentalqin:
1. Jangan dipaksa dan memberatkannya
2. Mengingatkan dengan lembut
3. Jika sudah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah maka jangan diulang lagi, kecuali dia mengucapkan kalimat yang lain, agar kalimat tauhid adalah kalimat terakhirnya.
4. Disunnahkan untuk menghadapkannya ke kiblat.
Syaikh Al-Albani menyatakan dalam Ahkamul Janaiz, tidak ada hadits yang bersambung kepada Rasulullah ﷺ yang menganjurkan akan hal ini. Namun ada Atsar dari sahabat dan tabi’in, hingga tetap dianjurkan.
Imam Ibnu Syaibah meriwayatkan bahwa dahulu Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu berwasiat menyuruh anaknya untuk menghadapkan ke arah kiblat saat sakaratul maut menjemputnya.
Ibrahim An-nakhai mengatakan mereka para sahabat Nabi ﷺ dan tabi’in menganjurkan mereka yang sakaratul maut untuk dihadapkan ke arah kiblat.
“Dianjurkan juga membaca surat Yaasin di dekatnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
اقْرَءُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ
“Bacakanlah surat Yaasin di hadapan orang-orang yang sedang sekarat di antara kalian.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, serta dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban. ( Didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah adh Dha’iifah (no. 5861) dan Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap Shahiih Ibnu Hibban (VII:269)
Demikian juga Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, 9/41-42 menyatakan tidak dianjurkan, karena landasan haditsnya dhaif: Seandainya dianggap shahih, maka maksudnya adalah membacakan surat Yasin kepada orang yang sedang sekarat supaya ingat, dan supaya pada akhir masa hidupnya di dunia mendengar bacaan Al-Qur’an. (Maksud hadits ini), bukanlah membacakan surat Yasin kepada orang yang sudah nyata-nyata meninggal.
Yang dimaksud dengan kalimat مَوْتَاكُمْ (mautaakum) dalam hadits tersebut adalah orang yang sedang sekarat. Adapun orang yang telah wafat, tidak perlu lagi dibacakan Yaasin di hadapannya. Membacakan Al-Qur’an untuk orang yang sudah mati hukumnya adalah bid’ah. Berbeda dengan membacanya di hadapan orang yang sedang sekarat, justru disunnahkan.
Membacakan Al-Qur’an di depan jenazah, di kuburan, atau dialamatkan kepada arwah orang yang telah wafat, kesemuanya itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak ada dasar ilmunya dari Allah. Seorang muslim wajib mengamalkan sunnah dan menjauhi bid’ah.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم


