بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 26 Dzulhijjah 1446 / 22 Juni 2025
KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Shalat Jum’at
Berangkat Jum’at Lebih Awal
Keistimewaan lain dari hari Jum’at adalah adanya anjuran berangkat lebih awal ke masjid, untuk tujuan shalat Jum’at. Lalu menyibukkan diri dengan melakukan shalat sunnah, berdzikir dan membaca al-Qur’an, hingga imam datang untuk berkhutbah. Juga keharusan untuk diam bagi orang yang mendengarkan khutbah. Apabila seseorang tidak diam saat mendengarkan khutbah, maka ia dianggap berbuat sia-sia.
Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka ia tidak mendapatkan (pahala) Jum’at.
Makna tidak mendapatkan Jum’at baginya:
– Dianggap tidak ada Jum’at baginya atau sia-sia.
– Shalat Jum’atnya tidak sempurna (pendapat yang rajih).
Berkata as-Sindi, “Makna tidak mendapatkan Jumat adalah tidak mendapatkan keutamaan yang lebih dari Jumatnya, dan bukan berarti tidak sah shalatnya dan tidak gugur kewajibannya.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dan kawan-kawan (II:125).
Ibnu Qudamah berkata, khutbah merupakan syarat dalam shalat Jum’at, maka shalat Jum’at tidak sah jika tidak khutbah. Ini juga merupakan pendapat Imam Atha’, Annakhai, Qotadah As-Tsauri, Syafi’i, Ishak, Abu Zaur, Ashabur Ra’yi (Imam Abu Hanifah).
Tidak ada yang menyelesihi bahwa syarat sahnya shalat Jum’at adalah dengan adanya khutbah, kecuali Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah.
Maka, ketika paham syarat sahnya shalat Jum’at adalah adanya khutbah, maka jangan sampai kita berbuat sia-sia yang merusak kekhusyuan dalam khutbah, sampai-sampai mengingatkan diam dalam khutbah Jum’at, dilarang.
Dan haram hukumnya berbicara saat khutbah. Telah diriwayatkan dalam Mwsnad Imam Ahmad secara marfu’.
“Orang yang berkata kepada kawannya, ‘Diamlah!’, dia tidak mendapatkan (pahala) Jum’at.” Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu ‘Abbas (no. 2033 [I:230].
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).
Maka, perbuatan yang sia-sia dalam khutbah Jum’at adalah dilarang.
Hukum Memberi Salam ketika Khutbah
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu berkata, Memberikan salam ketika khutbah adalah perkara yang tidak disyariatkan. Hendaknya dia shalat Tahiyyatul masjid dan duduk diam sampai imam selesai berkhutbah. Jika ada yang memberi salam, maka gunakanlah isyarat. Sebagaimana Ketika menjawab salam ketika shalat, tidak boleh mendesak orang lain menjawab salam, dan jika ada yang mengulurkan tangan maka balaslah tanpa berkata apapun sampai khutbah selesai.
Adab Bersin disaat Khutbah
Imam malik rahimahullah menjelaskan, hendaknya jika seseorang bersin saat khutbah berlangsung, dia mengucapkan hamdalah tanpa dikeraskan (siir), dan orang yang mendengar tidak perlu menjawab yarhamukallah. Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Penjelasan di atas menunjukkan pentingnya menjaga kekhusyukan dan wajibnya diam disaat khutbah berlangsung (meskipun tidak paham bahasa pengkhotbah), meskipun dalam hal-hal yang disyariatkan di luar shalat.
Abul Walid Al-Baji dan al-Muntaqa mengatakan, bahwa kewajiban mendengarkan khutbah disaat shalat Jum’at adalah wajib, baik dia mendengarnya ataupun tidak. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Ali, Abu Hanifah dan sebagian besar fuqaha.
Sebagian berpendapat jika tidak mampu mendengar suara khotib, dibolehkan berdzikir atau membaca Al-Qur’an dalam hati. Ibnu Rajab menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa hal ini merupakan pendapat Imam Al-Qomah, Attha’, Sa’id ibnu Jubair, An-Nakhai, Syafi’i, Ahmad dan Tsauri rahimahumullah.
Pendapat yang tepat adalah pendapat jumhur ulama yaitu diam meskipun tidak mendengar khotib. Karena meskipun tidak mendengar khutbah, kita tetap mendapat pahala sama seperti yang lain.
Dahulu Utsman bin Affan Radhiyallahu’anhu berkhutbah dan selalu mengucapkan, “jika imam berdiri dalam shalat Jum’at hendaknya kalian diam, sesungguhnya bagi orang yang diam meskipun tidak mendengar, maka tetap akan mendapat pahala seperti yang lain.”
Anjuran Membaca surat Al-Kahfi
Keistimewaan lain dari hariJum’at adalah adanya anjuran membaca surat al-Kahfi pada hari tersebut. Telah diriwayatkan dengan shahih dari Nabi ﷺ, bahwasanya beliau bersabda:
“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, akan memancar cahaya dari bawah kakinya ke atas langit. Cahaya itu akan menyinarinya pada hari Kiamat. Ia juga akan memperoleh ampunan (atas dosa-dosa yang terjadi) antara dua Jum’at.” Hadits Lemah. Diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqita.
Hadits lain dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan diterangi dengan cahaya di antara ia dengan Ka’bah.” (HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 3450, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 736.) Hadis ini mauquf dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Waktu Membaca Surat Al-Kahfi
Ada perbedaan riwayat, ada yang menyebut hari Jum’at dan malam Jum’at.
Imam munawi menjelaskan bahwa keduanya dimaknai satu kesatuan, bisa malam Jum’at atau hari Jum’at. Beliau menyampaikan pendapat Ibnu Hajar, bahwa ada dua riwayat waktu pembacaan, yang di maksud hari Jum’at maka termasuk malamnya dan apabila disebut malam Jum’at maka masuk harinya.
Waktu Mustajab untuk Berdo’a
Keistimewaan lain dari hari Jum’at adalah adanya waktu dikabulkannya do’a pada hari itu.
Dalam Shahiih al-Bukbari dan Sbahiih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu disebutkan:
“فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.”
“‘Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” [Shahih al-Bukhari (I/224) kitab al-Jum’ah dan Shahih Muslim (II/584) kitab al-Jumu’ah].
Penafsiran waktu mustajab di hari Jum’at terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, Syaikh Usman Al-Khamis berkata waktunya satu jam setelah shalat Ashar. Namun bukanlah 60 menit tepat tetapi rentang waktu dari ashar hingga maghrib.
Adanya Khutbah Jum’at yang Mulia
Keistimewaan lain dari hari Jum’at adalah adanya khutbah di hari itu, yang memiliki tujuan untuk menyanjung Allah, memuliakan-Nya dan persaksian atas keesaan-Nya, juga persaksian atas kerasulan Nabi Muhammad, disamping juga untuk mengingatkan para hamba Allah.
Keistimewaan hari Jum’at sangatlah banyak. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah memaparkan hal tersebut dalam buku beliau yang berjudul Zaadul Ma’aad fi Hadyi Khairil ‘lbaad, dan merunutnya hingga mencapai 133 keistimewaan.
Namun demikian, masih banyak orang yang meremehkan hari Jum’at, sehingga bagi mereka hari Jum’at ini tidak memiliki keistimewaan apa pun dibandingkan hari-hari lain. Bahkan sebagian orang menjadikan hari Jum’at sebagai hari untuk bermalas-malasan dan tidur seharian. Ada juga mereka yang menyia-nyiakan hari Jum’at ini dengan bermain, berhura-hura dan lalai berdzikir kepada Allah. Sehingga, jumlah orang-orang yang shalat Shubuh di hari itu justru terlihat berkurang secara siginifikan. Laa hawla walaa quwata illaa billah!.
Shalat Sunnah Jum’at
Pada hari Jum’at, seorang muslim dianjurkan datang ke masjid lebih awal. Saat masuk masjid, dianjurkan shalat Tahtyyatul Masjid terlebih dahulu dua rakaat.
Apabila ia datang lebih dini, dan ingin menambah beberapa rakaat lagi selain dua rakaat Tahiyyatul Masjid tersebut, maka tidak mengapa. Dahulu para ulama Salaf biasa datang ke masjid lebih dini, lalu melakukan shalat sunnah hingga imam masuk masjid.
Dalam ash-Shahihain terdapat hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ.”
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah lalu segera pergi ke masjid, maka seakan-akan berkurban dengan unta yang gemuk, dan barangsiapa yang pergi pada jam yang kedua, maka seakan-akan ia berkurban dengan sapi betina, dan barangsiapa pergi pada jam yang ketiga, maka seakanakan ia berkurban dengan domba yang bertanduk, dan barangsiapa yang pergi pada jam yang keempat seakan-akan ia berkurban dengan seekor ayam, dan barangsiapa yang pergi pada jam kelima, maka seakan-akan ia berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam telah keluar (untuk berkhutbah), maka para Malaikat turut hadir sambil mendengarkan dzikir (nasihat/peringatan).” [Shahih al-Bukhari (I/213) kitab al-Jumu’ah bab fadhlul Jumu’ah dan Shahih Muslim (II/587) kitab al-Jumu’ah bab at-Tahjiir Yaumil Jum’ah].
Kapan jam pertama dimulai?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang makna waktu-waktu di atas, beliau menjawab
فقسَّم الزمن من طلوع الشمس إلى مجيء الإمام خمسة أقسام ، فقد يكون كل قسم بمقدار الساعة المعروفة ، وقد تكون الساعة أقل أو أكثر ؛ لأن الوقت يتغير ، فالساعات خمس ما بين طلوع الشمس ومجيء الإمام للصلاة ، وتبتدئ من طلوع الشمس
Waktu dari mulai terbitnya matahari sampai Imam datang (Khatib naik mimbar) dibagi menjadi lima (5) bagian, terkadang setiap bagian seperti satu jam dan terkadang kurang atau lebih karena waktu berubah-rubah, maka lima (5) jam adalah di antara matahari terbit dan imam datang untuk sholat (jum’at).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Bagi orang yang datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lebih baik menyibukkan diri dengan shalat hingga imam masuk masjid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shabiih al-Bukhari, bahwa Nabi ﷺ, bersabda: “Kemudian dia (hamba) melakukan shalat sesuai kesempatan yang dia miliki.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Salman ai-Farisi (883) [II:476], kitab al-Jumu’ah, bab 6.
Bahkan sabda Nabi ﷺ, tersebut mengandung motivasi untuk melakukan shalat saat seseorang datang ke masjid untuk shalat Jum’at, tanpa pembatasan waktu. Demikiankan kebiasaan yang tercatat dart para Sahabat, bahwa mereka datang ke masjid di hari Jum’at, lalu melaksanakan shalat sesuai kemampuan mereka. Ada yang melaksanakan shalat 10 rakaat, adayang12 rakaat, ada yang 8 rakaat dan ada pula yang melakukan lebih sedikit dari itu.
Oleh sebab itu pula, mayoritas Imam Ahli Fiqih bersepakat bahwa sebelum (shalat)Jum’at tidak ada shalat sunnah dengan waktu dan jumlah rakaat tertentu. Shalat sebelum (shalat) Jum’at merupakan suatu kebaikan, namun bukan sunnah rawatib. Siapa pun yang melaksanakannya atau meninggalkannya, tidak boleh disalahkan. Inilah pendapat yang paling bijak. Sehingga, bisa saja meninggalkannya adalah lebih baik. Yaitu apabila orang-orang yang tidak mengerti beranggapan bahwa itu adalah sunnah rawatib.
Inilah hal yang terkait dengan shalat sunnah sebelum (shalat) Jum’at. Sebelum Jum’at tidak ada sunnah rawatib, yang ada adalah sesudah Jum’at.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
“Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka lakukanlah shalat setelahnya empat raka’at.” (HR. Muslim no. 881)
Sementara dalam Shahiib al-Bukhari dan Sbahiih Muslim disebutkan: “Bahwasanya Nabi ﷺ melakukan shalat dua rakaat sesudah Jum’at.”
Untuk mengompromikan kedua hadits di atas, kita tegaskan, bahwa apabila Rasulullah ﷺ shalat di rumahnya, beliau melakukannya dua rakaat. Sementara bila beliau melaksanakannya di masjid, beliau melakukannya empat rakaat.
Seseorang dibolehkan (shalat sunnah setelah Jum’at) enam rakaat jika dia mau. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan dari Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ انْصَرَفَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصْنَعُ ذَلِكَ
“Jika Ibnu ‘Umar melaksanakan shalat Jum’at, setelahnya ia melaksanakan shalat dua raka’at di rumahnya. Lalu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan seperti itu.” (HR. Muslim no. 882)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم