بسم الله الرحمن الرحيم

𝗗𝗔𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥 𝗞𝗘-𝟮𝟲 & 𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥𝗜 𝗗𝗔𝗞𝗪𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥
bersama : 𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗔𝗺𝗺𝗶 𝗡𝘂𝗿 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘀, 𝗦𝗧., 𝗕𝗔 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩
📚 Jika Tidak Yakin, Jangan Diamalkan!
📆 Selasa, 1 Rabi’ul Akhir 1447/23 September 2025
🕌 Masjid Masjid#1235 Al-Wakra Qatar


Alhamdulillah atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan hingga masih dipertemukan dalam majelis ilmu. Semoga dengannya akan mendatangkan sakinah bagi kita semuanya.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)

Dengan adanya sakinah maka iman akan bertambah, maka Surat Al-Fath Ayat 4:

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,

Maka, ketika Muadz bin Jabal mengajak orang-orang yang menuntut ilmu beliau berkata,

عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ هِلَالٍ، قَالَ: كَانَ مُعَاذٌ يَقُولُ لِرَجُلٍ مِنْ إِخْوَانِهِ: اجْلِسْ بِنَا فَلْنُؤْمِنْ سَاعَةً، فَيَجْلِسَانِ يَتَذَاكَرَانِ اللَّهَ وَيَحْمَدَانِهِ

Dari al-Aswad bin Hilaal ia berkata: Muadz berkata kepada seorang laki-laki dari saudaranya: “Mari duduk bersama kami untuk (menambah) iman sesaat.” Maka keduanya duduk mengingat Allah dan memuji-Nya (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari)

Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu berkata kepada salah seorang Sahabat: “Duduklah bersama kami untuk beriman sesaat”. Bukankah mereka telah beriman sebelumnya? Maksudnya adalah menyempurnakan iman kita, menambah iman dengan duduknya kita dan mengingat (Allah). Saling mengingatkan tentang ilmu, mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Karena iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Menambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Kajian kali ini adalah sikap kehati-hatian karena setiap orang akan dihisab di akhirat, besar kecil semuanya akan diperhitungkan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat az-Zalzalah Ayat 7-8:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Jangan sampai kita ketakutan di akhirat kelak, seperti apa yang dikabarkan Allah ﷻ dalam Surat Al-Kahfi Ayat 49:

وَوُضِعَ ٱلْكِتَٰبُ فَتَرَى ٱلْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَٰوَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلْكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحْصَىٰهَا ۚ وَوَجَدُوا۟ مَا عَمِلُوا۟ حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”.

Makna ذَرَّةٍ adalah sesuatu yang kecil yang masih ditangkap indera manusia. Ada yang menjelaskan seperti debu yang kelihatan terbang saat matahari masuk kita mampu melihat, tetapi tidak terbaca dalam timbangan. Dan kelak amalan dan dosa sekecil ini manusia akan melihatnya.

Maka, jika kita memahami akan hal ini, kita akan sadar seperti yang dikatakan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu:

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا

HIsablah dirimu sebelum kamu dihisab…

Kemudian, segala urusan ada yang berkaitan dengan urusan dunia dan agama.

Dalam urusan dunia, Nabi ﷺ bersabda :

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)

Tetapi jika berkaitan dengan hukum urusan dunia, berkaitan dengan masalah agama yang mengatur kehidupan dunia.

Maka prinsip hati-hati Harus dalam konteks urusan dunia dan agama. Hal ini ada 3 bahasan: Berkaitan dengan masalah perintah, larangan dan aturan.

Prinsip dalam Urusan Agama

Dalam masalah ini, prinsipnya adalah ikuti saja aturan yang telah Allah Ta’ala berikan. Sebagaimana firman-Nya :

ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS Al A’raf ayat 3).

Ikutilah oleh kalian (wahai sekalian manusia). apa yang diturunkan kepada kalian dari tuhan kalian yang berupa kitabullah dan Sunnah dengan menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-laranganNya. dan janaganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Allah, seperti setan-setan, pendeta-pendeta., dan rahib-rahib. Sesungguhnya sedikit sekali dari kalian yang mau memahami nasihat dan mengambil pelajaran sehingga mau kembali menuju kepada yang haq.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, Ikuti saja jangan membuat sesuatu yang baru, karena kalian telah dicukupi.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Artinya semuanya sudah lengkap, baik perintah maupun larangan yang telah Allah ﷻ tetapkan sudah lama. Sudah 15 abad yang lalu, agama ini sudah lengkap, dan Allah ﷻ Maha Pengampun lagi penyayang.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: «إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi VII/356, dan selainnya)

Faedah: Ayat terakhir yang diturunkan Allah ﷻ kepada Nabi ﷺ adalah surat Al-Baqarah ayat 281, yang turun 9 hari sebelum Nabi ﷺ wafat.

وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Setelah Allah ﷻ turunkan surat Al maidah ayat 3, tidak ada ayat turun yang berkenaan halal dan haram.

Jika agama telah sempurna, maka jika ditambah lagi maka akan merusak. Apapun jenisnya, apalagi aturan Allah ﷻ.

📖 Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan surat Al-Maidah ayat 3:

Ini adalah nikmat Allah ﷻ yang paling besar atas umat ini, dimana Dia menyempurnakan bagi mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama lain, tidak pula terhadap nabi lain selain nabi mereka ﷺ . Oleh karena itu Allah ﷻ menjadikannya sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada golongan manusia dan jin, sehingga tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama kecuali yang disyariatkan olehnya, dan semua yang diberitakan melalui dirinya, maka itu adalah kebenaran yang tidak mengandung dusta dan penyimpangan, sebagaimana Allah ﷻ berfirman (Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil) (Surah Al-An’am: 115) yaitu benar dalam beritaNya, dan adil dalam semua perintah dan laranganNya. Maka ketika Dia menyempurnakan agama bagi mereka, maka lengkaplah nikmat itu bagi mereka.

Namun, alangkah sayang banyak manusia yang tidak ridha dengan sempurnanya agama ini. Tidak seperti para sahabat yang Allah ﷻ ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah ﷻ Radhiyallahu’anhum. Itulah kunci manisnya iman.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

📖 Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 16) dan Muslim (no. 43).

Demikian juga rasa syukur kita bertambah, karena dekatnya surga dan jauhnya neraka telah dijelaskan dalam agama.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ»

Dari Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Kami telah meninggalkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada seekor burung yang membalikkan dua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmu kepada kami dari hal tersebut. Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke sorga dan menjauhkan dari neraka, kecuali telah dijelaskan kepada kamu”.

(HR. Thobroni di dalam Al-Mu’jamul Kabir, no. 1647. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shohihah, no. 1803. Dan Syaikh Ahmad Syakir di dalam Ta’liq Ar-Risalah, hlm. 93-103)

Prinsip Taukifiyah

Tauqifiyah artinya segala sesuatu (terutama ibadah, nama, dan sifat Allah, serta akidah) yang penetapannya harus berdasarkan dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tidak bisa ditetapkan dengan akal atau logika semata karena agama telah sempurna dan segala ketentuannya telah ada dalam nash-nash syariat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, menjelaskan prinsip taukifiyah ini, Perintah dan larangan adalah syariat Allah ﷻ sehingga ibadah harus ada perintahnya, karena kalau tidak ada perintahnya maka bukan disebut ibadah.

Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 39:

وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَعْمَٰلُهُمْ كَسَرَابٍۭ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ ٱلظَّمْـَٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥ ۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.

Maka, beramallah dengan apa yang akan menghasilkan nilai pahala, Jangan seperti fatamorgana, kita sudah berangan-angan kebaikan tetapi zonk, akibat beramal tanpa dalil atau dalil yang tidak shahih.

Para Sahabat Nabi Mengingkari Amalan Bid’ah

Demikian pula para sahabat Nabi ridhwanullah ‘alaihim, mereka mengingkari orang yang melakukan ibadah jika disertai kebid’ahan. Walaupun niatnya baik dan bentuknya adalah ibadah. Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, beliau mengingkari orang-orang yang berdzikir secara berjama’ah di masjid. Dikisahkan oleh Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu:

“Abu Musa Al Asy’ari berkata: aku melihat di masjid ada beberapa orang yang duduk membuat halaqah sambil menunggu shalat. Setiap halaqah ada seorang (pemimpin) yang memegangi kerikil, kemudian ia berkata: bertakbirlah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertakbir 100 kali. Kemudian pemimpinnya berkata: bertahlil lah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertahlil 100 kali. Kemudian pemimpinnya berkata: bertasbih lah 100 kali! Maka para pesertanya pun bertasbih 100 kali.

Ibnu Mas’ud berkata: lalu apa yang engkau katakan kepada mereka wahai Abu Musa? Abu Musa menjawab: aku tidak katakan apapun karena menunggu pandanganmu. Ibnu Mas’ud berkata: mengapa tidak engkau katakan saja pada mereka: hitunglah keburukan-keburukan kalian saja, maka aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sama sekali.

Kemudian Ibnu Mas’ud pergi dan kami pun pergi bersama beliau. Sampai pada suatu hari Ibnu Mas’ud mendapati sendiri halaqah tersebut. Lalu beliau pun berdiri di hadapan mereka.

Ibnu Mas’ud berkata: apa yang kalian lakukan ini? Mereka menjawab: Wahai Abu Abdirrahman, ini adalah kerikil untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih! Ibnu Mas’ud berkata: hitunglah keburukan-keburukan kalian saja, maka aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sama sekali. Wahai umat Muhammad, betapa cepatnya kalian binasa! Demi Allah, yang kalian lakukan ini adalah ajaran agama yang lebih baik dari ajaran Muhammad atau kalian sedang membuka pintu kesesatan!

Mereka mengatakan: Wahai Abu Abdirrahman, kami tidak menginginkan apa-apa kecuali kebaikan! Ibnu Mas’ud menjawab: betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah mengatakan kepada kami tentang suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an akan tetapi (bacaan mereka) tidak melewati tenggorokan mereka, demi Allah, saya tidak tahu bisa jadi kebanyakan mereka adalah dari kalian. Kemudian Ibnu Mas’ud meninggalkan mereka”.

Amr bin Salamah berkata , ”Kami melihat kebanyakan orang-orang yang ada di halaqah itu adalah orang-orang yang ikut melawan kami di barisan khawarij pada perang Nahrawan” (Diriwayatkan Ad Darimi dalam Sunan-nya no.210, dishahihkan Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, 5/11).

Lihatlah! Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengingkari orang-orang yang berdzikir, namun dzikir mereka dengan tata cara yang bid’ah. Apakah kita akan menuduh Ibnu Mas’ud melarang orang berdzikir?! Tentu tidak, karena yang beliau ingkari bukan ibadah dzikir namun dzikir yang disertai kebid’ahan.

Prinsip dalam Urusan Dunia

Jangan mengambil yang haram dan tinggalkan yang meragukan. Dalam syariat kita, yang ragu-ragu itu ditinggalkan, diperintahkan bagi kita untuk mengambil yang yakin.

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقاَلَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’”

(HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam menafsirkan hadits ini berkata, berkaitan dengan sikap berhenti pada hal-hal yang Subhat dan menjauhinya karena sesuatu yang murni halal tidak menimbulkan keraguan di hati seorang mukmin (kegelisahan atau ketidak-tenangan hati) sehingga jika mendapatkan harta 100% halal hatinya akan tenang dan jiwanya akan nyaman. Adapun hal-hal yang syubhat maka akan timbul kegelisahan dan ragu-ragu dalam hatinya.

Harta ada tiga kemungkinan, haram yang pasti, halal yang pasti dan syubhat dan ini akan ada ketenangan batin.

Inilah prinsip wara’ yang paling sederhana. Yaitu meninggalkan sesuatu yang ditakutkan berbahaya di akhirat.

✍ Fudhail bin Iyadh Rahimahullah pernah berkata, banyak orang yang mengira wara’ itu berat tapi bagiku wara’ itu mudah, yaitu jika aku dihadapkan pada dua pilihan, maka aku mengambil yang hati-hati, kemudian beliau mengutip hadits di atas.

Maka, syubhat teorinya ditinggalkan. Bukan dicari-cari alasannya.

✍ Seorang yang dikenal zuhud, Abu ‘Abdurrahman Al-‘Umari rahimahullah mengungkapkan bahwa seseorang disebut wara’ jika ia meninggalkan yang meragukannya dan ia pilih yang yakin yang tidak meragukannya.

✍ Hasan bin Abi Sinan rahimahullah menyatakan bahwa tidak ada yang lebih ringan dari wara’, yaitu jika ada sesuatu yang meragukan, maka tinggalkanlah.

Kemudian Ibnu Rajab berkomentar, wara’ sangat mudah untuk manusia sekelas Hasan, dan Abdullah Ibnu Mubarak pernah bercerita,

Hassan memiliki seorang budak yang bepergian ke daerah Ahwaz, sesampainya di sana dia menulis surat bahwa tebu gagal panen, maka kemungkinan bisa untung besar.

Kemudian Hasan pergi ke suplier untuk memborong gula, dan benar, harga gula naik dan kemungkinan dia bisa untung 30 ribu dirham.

Tetapi, Hasan tidak tenang maka beliau kembali lagi ke suplier bahwa saat beli aku tidak menceritakan kemungkinan harga naik karena gagal panen. Maka si suplier menjawab, anda telah menceritakan hal itu dan saya ridha.

Kemudian setelah di rumah, Hassan masih gelisah, maka dia kembali lagi dan menceritakan masalahnya tadi, hingga suplier mau menerima kembalian gula yang telah diborong.

Subhanallah, inilah sikap wara’: meninggalkan sesuatu yang tidak menenangkan hatinya!

Sikap wara para sahabat Radhiyallahu’anhum

Suatu ketika Ustman menjual kurma yang dia beli dari seseorang 10 wasaq. Dan beliau tidak menimbang bahwa 1 karung 1 wasaq, tetapi langsung diberikan ini satu wasaq tanpa menimbang kembali, padahal Rasulullah ﷺ menyuruh menimbang jika barang telah disebut untuk diperjualbelikan. Hal ini membuat hatinya tidak tenang… Inilah sikap wara’.

Hisyam bin Hasan pernah bercerita, Muhammad Ibnu sirin pernah meninggalkan uang 40 ribu dirham untuk sesuatu yang menurut kalian itu mungkin hal yang biasa. Karena takut ada sisi dosa.

Ibnu Rajab bercerita, Yazid bin Syuraikh tidak mengambil warisan 500 ribu dirham karena pekerjaan ayahnya mengurus proyek pemerintahan. Sedangkan Yazid mencukupi hidupnya dengan berjualan dengan membuat tikar.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan urusan kita dalam bersikap wara’ dalam kehidupan dunia.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم