بسم الله الرحمن الرحيم
𝗗𝗔𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥 𝗞𝗘-𝟮𝟲 & 𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥𝗜 𝗗𝗔𝗞𝗪𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥
bersama : 𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗔𝗺𝗺𝗶 𝗡𝘂𝗿 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘀, 𝗦𝗧., 𝗕𝗔 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩
📚 𝗧𝗮𝘂𝗵𝗶𝗱 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗗𝗼’𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵
📆 Senin Malam, 1 Rabi’ul Akhir 1447/22 September 2025
🕌 Masjid At-Tauhid Al-Khor Community Qatar
Alhamdulillah atas nikmat aman yang telah Allah ﷻ berikan kepada kita hingga sampai detik ini, kita masih diberi kesempatan untuk dapat hidup dan beraktifitas dengan tenang.
Salah satu alasan yang Allah ﷻ berikan kepada kaum Musyrikin Quraisy untuk menyembah Allah ﷻ, adalah karena ada nikmat aman. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Quraisy:
فَلْيَعْبُدُوا۟ رَبَّ هَٰذَا ٱلْبَيْتِ
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah).
ٱلَّذِىٓ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَءَامَنَهُم مِّنْ خَوْفٍۭ
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ memerintahkan, hendaklah mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Tuhannya Masjidil Haram, Yang telah memberi mereka kenikmatan dan dan keamanan.
Selanjutnya, sebelum masuk materi Ustadz ingin menggarisbawahi apa yang telah dibaca Imam dalam shalat, yaitu dalam akhir surat Al-Furqan Allah ﷻ menyebutkan salah satu sifat Ibaadurrahmaan: Mengeluarkan nafkah yang wajib maupun yang mustahab, mereka bersikap tengah-tengah di dalam berinfak, tidak meremehkan dan juga tidak melampaui batas, begitu pula dalam permasalahan yang lainnya mereka juga bersikap pertengahan/adil.
وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا(67)
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Sifat ishraf (boros) yang disebutkan Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu:
Cukuplah orang dikatakan sebagai pemboros (Isyraf), jika menginginkan makanan tertentu akan langsung diusahakan untuk dimakan.
Dan Allah ﷻ tidak menyukai orang yang boros. Ia berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Selanjutnya pembahasan masalah akidah dalam do’a dan Dzikir adalah turunan dari rukun iman. Dan ini didasarkan pada hadits Jibril yang mengajarkan prinsip dasar Islam:
- Rukun iman: Mewakili amal batin.
- Rukun islam: Mewakili amal lahir.
- Ihsan: menjelaskan tentang teknis beramal baik lahir maupun batin.
- Hari kiamat, merupakan konsekuensi amalan hamba yang kelak akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah ﷻ.
Maka, masalah tauhid ada di bahasan masalah Iman. Dan Tauhid ada di kajian Iman kepada Allah ﷻ. Yang berbicara masalah hak Allah ﷻ yaitu tauhid yang merupakan kewajiban hamba kepadaNya. Seperti halnya yang Allah ﷻ perintahkan :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [QS. Adz-Dzariyat:56]
1. Allah ﷻ memutuskan hamba tidak boleh beribadah kecuali kepada-Nya.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 23:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Maka, Allah ﷻ tidak ridha jika bentuk ibadah diberikan Kepada selain-Nya. Ini ditunjukkan dengan ancaman kepada pelaku kesyirikan yang ancamannya berlapis.
1. Pelaku Kesyirikan: seluruh amalannya terhapus, sebaik apapun amalannya.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 83-88:
وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
وَوَهَبْنَا لَهُۥٓ إِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ ۚ كُلًّا هَدَيْنَا ۚ وَنُوحًا هَدَيْنَا مِن قَبْلُ ۖ وَمِن ذُرِّيَّتِهِۦ دَاوُۥدَ وَسُلَيْمَٰنَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَٰرُونَ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَىٰ وَعِيسَىٰ وَإِلْيَاسَ ۖ كُلٌّ مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh.
وَإِسْمَٰعِيلَ وَٱلْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا ۚ وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى ٱلْعَٰلَمِينَ
Dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya),
Dalam ayat di atas disebut 18 Nabi-Nya. Kemudian pada ayat 87 disebutkan:
وَمِنْ ءَابَآئِهِمْ وَذُرِّيَّٰتِهِمْ وَإِخْوَٰنِهِمْ ۖ وَٱجْتَبَيْنَٰهُمْ وَهَدَيْنَٰهُمْ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Tiga jalur di ayat ini ada 3 jalur nasab:
- Ushul – aba
- Furu – dzurriyah
- Khawasy – saudara, paman dan lainya.
Maka para nabi (yang 18)dan seluruh manusia (dari 3 jalur nasab), dilanjut ayat 88:
ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
Seandainya semuanya melakukan kesyirikan, maka lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
Maka, ayat-ayat ini menunjukkan tidak ada pengecualian hukum dalam masalah syirik.
Sampai-sampai Nabi ﷺ juga diultimatum:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu (QS. Az-Zumar Ayat 65).
Maka, perjuangan para nabi yang telah memperjuangkan anggota keluarganya, tidak diterima Allah ﷻ. Seperti nabi Nuh alaihi salam. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Hud Ayat 46:
قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيْرُ صَٰلِحٍ ۖ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۖ إِنِّىٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.
Perjuangan nabi Nuh untuk menyelamatkan anaknya yang mati kafir, tidak diterima Allah ﷻ. Hal yang sama juga dialami oleh nabi Ibrahim alaihissalam.
📖 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada hari Kiamat kelak, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertemu dengan ayahnya, Azar, sementara wajah Azar hitam kelam dan berdebu. Lantas Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepadanya, ‘Bukankah saya pernah melarangmu agar tidak durhaka kepadaku?’ Ayahnya menjawab, ‘Hari ini aku tidak akan durhaka kepadamu.’ Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata, ‘Ya Rabbi! Sungguh, Engkau telah berjanji kepadaku agar Engkau tidak menghinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. Lalu kehinaan apalagi yang lebih hina daripada keadaan ayahku yang dijauhkan dari rahmat-Mu?’ Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengharamkan surga bagi orang-orang kafir.’ Selanjutnya ditanyakan kepada kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ‘Wahai Ibrahim! Apa yang ada di bawah kedua kakimu?’ Beliau pun melihat di bawahnya, ternyata di situ terdapat sesosok anjing hutan yang berlumur kotoran terlihat sedang tertunduk, lalu kaki-kakinya diikat dan dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR. Al-Bukhari)
Disini Allah ﷻ tidak ridha terhadap kekafiran meskipun bapaknya seorang nabi.
2. Pelaku kesyirikan: Dosanya tidak diampuni
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Konteks dalam ayat ini adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Bani Israel.
Dalam ayat 116:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
Konteks dalam ayat ini, adalah ancaman untuk umat ﷺ Muhammad.
Hukum tidak berubah, apa yang terjadi pada umat Bani Israil juga berlaku pada umat ﷺ Muhammad. Kemudian muncul pertanyaan, Yusuf termasuk Bani Israil, bagaimana dengan saudaranya yang sujud kepada Yusuf, apakah syirik?
Para ulama menjelaskan, Sujud ada dua:
- Sujud ibadah : berisi pengagungan dan yang diibadahi, maka ini hanya untuk Allah ﷻ.
- Sujud ikram: penghormatan, ini pernah diperbolehkan. Tidak sampai kepada kesyirikan seperti sujudnya malaikat kepada Adam, sujud saudaranya yusuf kepada Yusuf alaihissalam.
Nabi Yusuf mendapatkan penghormatan berupa sujud. Perhatikan ayat berikut:
فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَىٰ يُوسُفَ آوَىٰ إِلَيْهِ أَبَوَيْهِ وَقَالَ ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman”. Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” [Yusuf: 99-100]
Tetapi hal itu sekarang dilarang dan haram hukumnya. Perhatikan hadits berikut:
Saat Muadz bin Jabal baru datang dari Safar. Ia melihat di Syam orang-orang mengagungkan pemimpin dan pembesar mereka dengan bersujud kepadanya. Maka Muadz berpikir bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam lebih berhak untuk dimulyakan dengan bersujud. Tapi justru Nabi melarangnya. Tidak membiarkan itu sebagai Sunnah yang dianggap baik kemudian diamalkan orang-orang setelahnya. Padahal memulyakan Nabi adalah suatu kebaikan, bahkan termasuk ibadah. Namun cara yang salah tidak kemudian dibiarkan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنْ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Dari Abdullah bin Abi Aufa ia berkata: Ketika Muadz datang dari Syam, ia bersujud kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Nabi bertanya: Apa yang kau lakukan ini wahai Muadz? Muadz menjawab: Aku telah mendatangi Syam aku lihat mereka bersujud kepada pembesar dan pemimpin mereka. Maka dalam hatiku timbul keinginan untuk melakukan hal itu kepada anda. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian melakukan hal itu. Kalau seandainya aku boleh memerintahkan kepada seseorang untuk sujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan wanita bersujud kepada suaminya (H.R Ahmad, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahabiy dan al-Albaniy)
Maka, perubahan yang ada bukan pada masalah tauhid, tetapi masalah fiqh.
3. Pelaku Kesyirikan: Arwahnya dilempar dari langit
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 31:
حُنَفَآءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِۦ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخْطَفُهُ ٱلطَّيْرُ أَوْ تَهْوِى بِهِ ٱلرِّيحُ فِى مَكَانٍ سَحِيقٍ
Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
Demikian juga dikisahkan dalam hadits Barra bin ‘azib:
Adapun ruh yang kotor dan busuk, malaikat langit akan melaknat dia ketika sudah keluar. Bahkan keluarnya saja harus dipaksa. Begitu keluar, ruhnya sudah mengeluarkan bau busuk yang sampai ke langit. Makanya wajar kalau malaikat melaknat ruh ini karena baunya menggangu penduduk langit.
Karena busuknya yang luar biasa, dia tidak diperkenankan masuk ke langit pertama. Semua malaikat penjaga pintu berdoa kepada malaikat: “Ya Allah jangan sampai ruh itu naik ke atas langit melalui pintu ini.”
Kemudian ruh orang kafir itu dibungkus dengan kain kafan dari neraka dan bau busuk dari neraka. Maka keluarlah bau busuk luar biasa yang sangat mengganggu malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian Allah berfirman, ‘Tulis catatan amal hamba-Ku di Sijjin, di bumi yang paling dasar.’ Kemudian dikatakan, ‘Kembalikan hamba-Ku ke bumi, karena Aku telah menjanjikan bahwa dari bumi Aku ciptakan mereka, ke bumi Aku kembalikan mereka, dan dari bumi Aku bangkitkan mereka untuk kedua kalinya.’ Kemudian ruhnya dilempar hingga jatuh di jasadnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. Al-Haj: 31)
4. Pelaku Kesyirikan: Allah ﷻ Haramkan Masuk surga
Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).
Maka pelaku kesyirikan haram masuk surga, tempatnya di neraka dan tidak ada penolong baginya.
Maka, Allah ﷻ memuliakan kalimat tauhid, siapapun yang memiliki laa ilaaha illallah di hatinya, maka akan diangkat dari neraka.
2. Ibadah
Ibadah secara bahasa adalah Al-hudu wa tadhallul, merendahkan diri dan tunduk.
Secara istilah, kembali kepada dua hal:
1. Nuansa kegiatan yang dilakukan oleh pelaku: semua amalan terhitung ibadah Apabila diiringi dengan ketundukan dan pengagungan kepada Allah ﷻ.
Al-‘Izz bin Abdus Salam rahimahullah (wafat 7H) mengatakan, Ibadah adalah ketaatan yang diiringi dengan puncak kerendahan diri dan ketundukan.
2. Dilihat dari jenis kegiatan hamba: Disebut ibadah jika memenuhi definisi sesuai dengan definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu : ibadah adalah semua perbuatan yang dicintai Allah ﷻ dan diridhai baik amalan maupun ucapan, lahir maupun batin.
Maka, semua amalan dihitung ibadah jika memenuhi dua definisi di atas.
Maka, jika amalan secara jenisnya dicintai Allah ﷻ tetapi jika tidak ada nuansa Al-Khudu wa tadhallul, merendahkan diri di hadapan Allah ﷻ, maka ibadah ini tidak dihitung ibadah.
Contohnya : orang haji dan umrah dipenuhi dengan penyakit hati, seperti riya, ujub, dan lainnya.
Sebaliknya, ada orang yang khusyu dan tunduk berdzikir sampai nangis tetapi sambil menari atau bernyanyi, ini bukan ibadah karena tidak dicintai Allah ﷻ yaitu tanpa penjelasan dari syariat.
Maka, ibadah itu hanya ada 4 bentuk:
- Menjalankan perintah yang sifatnya wajib.
- Menjalankan perintah yang sifatnya sunnah
- Meninggalkan yang makruh.
- Meninggalkan yang haram.
Inilah bentuk ibadah yang dicintai Allah ﷻ, maka : Tidak ada bentuk amalan yang mubah atau meninggalkan yang mubah.
Tetapi, boleh jika melakukan hal yang mubah sebagai sarana untuk mendukung yang wajib atau sunnah, seperti tidur untuk mendukung ibadah.
Berkata Muadz Bin Jabal: “Aku berharap pahala dengan tidurku sebagaimana aku berharap pahala dengan qiyamul lailku”
Berkata Al Hafidz Ibnu Rojab (menjelaskan ucapan Muadz diatas): “Maksudnya adalah beliau meniatkan tidurnya untuk menguatkan diri untuk qiyamullail di akhir malam sehingga beliau berharap pahala tidurnya sebagaimana dia berharap pahala dengan qiyamullailnya”.
📖 Jami’ul ‘Ulmum Wal Hikam 655
Tidur yang Bernilai Ibadah
Asy Syeikh Bin Baaz rohimahullah:
(فقد يكون النوم عبادةً إذا أريد به التقوية على طاعة الله)
Bisa jadi tidur dinilai sebagai ibadah jika diniatkan dengannya untuk menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah.
Maka, kualitas seorang hamba ditentukan dengan kekuatan niatnya, ada banyak orang yang melakukan kegiatan yang mubah, dia tidak mendapatkan apa-apa selain kegiatan yang dia lakukan. Namun ada yang mendapatkan pahala, karena niat yang dilakukan tatkala mengerjakan hal-hal yang mubah.
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata dalam Syarah Arbain An-Nawawiyah berkata,
Seorang yang alim, dia bisa menjadikan kebiasaan yang mubah menjadi ibadah, sementara orang yang jahil, dia mengubah sesuatu yang bernilai ibadah menjadi hal yang biasa tanpa pahala.
Maka, semakin kuat niat maka pahalanya semakin besar.
Sahabat Ka’ab bin Ujrah bercerita,
Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat melihat ada orang yang kerjanya sangat tekun dan serius. Lalu para sahabat berkomentar, “Andai usahanya itu untuk jihad di jalan Allah, tentu pahalanya luar biasa.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar,
إن كان خرجَ يسعى على وَلَدِه صِغارًا، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على أبوين شيخين كبيرين، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على نفسه، يَعُفُّها، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى رياء ومُفاخرة، فهو في سبيل الشيطان
Jika dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka itu termasuk fi sabilillah. Jika dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah tua, maka itu termasuk fi sabilillah. Jika dia bekerja untuk menutupi kebutuhan dirinya, sehingga tidak membutuhkan milik orang lain, maka termasuk fi sabilillah. Namun jika dia bekerja untuk meningkatkan status sosial dan berbangga-bangga dengan penghasilan, maka dia berada di jalan setan.
(HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath 6835, perawinya dinilai shahih oleh al-Mundziri dan dishahihkan al-Albani)
Karena mencari harta bagi seorang muslim, lebih menekankan asas manfaat. Bukan sebatas untuk ditumpuk dan dijadikan alat kebanggaan. Dan dalam hadits disebut 4 jalur orang yang wajib dinafkahi, hanya oleh satu orang. Maka, bekerja adalah ibadah jika diniatkan Fii sabililah,karena hukum asalnya mubah.
Apakah boikot berarti mengharamkan apa yang Allah ﷻ haramkan
Meninggalkan hal-hal yang mubah banyak latarbelakangnya:
- Ada yang menghindari makan nasi, gula karena latar belakang kesehatan.
- Rasulullah ﷺ menghindari makan Dzabb karena tidak selera.
- Ada yang menghindari madu karena emosi seperti yang Nabi ﷺ lakukan untuk mengambil hati isteri, beliau tidak mengharamkan madu, tetapi bersumpah sesuatu yang mubah. Maka, beliau membatalkan sumpah dengan membayar Kafarah.
- Meninggalkan yang mubah karena takut dosa, inilah yang dimaksud mengharamkan apa yang halalkan.
Maka, memboikot bukan bermakna mengharamkan apa yang Allah ﷻ halalkan.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم