بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 20 Dzulqa’dah 1446 / 18 Mei 2025
KITAB SHALAT
BAB TENTANG ORANG YANG TIDAK SAH MENJADI IMAM SHALAT Lanjutan
- Orang yang Selalu Berhadats
Orang yang dalam kondisi selalu berhadats tidak sah menjadi imam. Seperti orang yang mengalami beser (kencing terus-menerus tanpa terkendali), atau buang angin (kentut) terus-menerus.
Karena shalatnya mengalami kerusakan yang tidak dapat digantikan dengan sesuatu yang lain. Karena ia shalat dalam kondisi terus mengeluarkan najis yang membatalkan kesuciannya.
Sahnya shalat orang tersebut semata karena faktor darurat. Demikian juga orang yang mengalami hal sejenis yang bermakmum kepadanya, karena sama-sama mengeluarkan najis terus-menerus.
Sah Orang yang selalu Berhadats Menjadi Imam Orang-orang yang Berpenyakit Sama
Kecuali apabila ia mengimami makmum yang kondisinya sama sepertinya.
Demikian juga dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Fiqhiyah bahwa orang yang menderita penyakit ini, boleh atau sah mengimami orang yang berpenyakit sama.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah dalam Majmu Fatawa (16/394), menguatkan pendapat ini, bahwa tidak masalah makmum kepada Imam yang memiliki penyakit yang sama. Dan jumhur ulama juga berpendapat sama.
Orang yang Sehat Bermakmum dengan Orang yang selalu Berhadats
1. Adapun orang yang sehat, tidak sah bermakmum dengan orang seperti itu. Ini pendapat Madzhab Hambali dan Hanafi.
Dalam kitab Raad al-Muhtar ‘ala ad-Duur al-Muhkhtar | Imam Ibnu Abidin jilid 1/566 menyebutkan tidak sah Imam yang memiliki udzur seperti menahan buang air atau penyakit hadats yang terus menerus atau semisalnya bagi makmum yang sehat.
Demikian juga dikuatkan dalam kitab Kasyafiil Qina Karya Imam Buhuti rahimahullah yang terkenal dengan madzhab Hanbali.
2. Hukumnya sah orang yang selalu Berhadats menjadi imam bagi makmum yang sehat. Ini pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyyah.
Dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri Rahimahullah yang bermadzhab Maliki disebutkan tidak menjadi syarat Imam yang terdapat udzur yang dimaafkan, maka jika ada Imam yang berpenyakit hadats terus menerus adalah sah.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah sah imam yang selalu berhadats menjadi imam bagi makmum yang sehat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab Karangan An-Nawawi rahimahullah 4/163: Ketika imam menderita penyakit hadats atau semisalnya maka sah bagi orang yang sehat menjadi makmum baginya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah merajihkan pendapat ini dalam Kitab Asy Syarhul Mumti’ Ala Zaadil Mustaqni.
Hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Membersihkan dan menahan air kencing dengan pembalut atau lainya.
2. Sebelum shalat harus berwudhu dan tidak membatalkan selama waktu shalat apa yang keluar darinya.
Demikian dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu. Dalilnya adalah perintah Rasulullah ﷺ kepada wanita yang mengalami darah istihadhah untuk selalu berwudhu sebelum sholat.
Kemudian dibolehkan menjamak Shalat diantara dua shalat yang disyariatkan. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullahu dan dikuatkan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah.
Terkena Najis tanpa Sadar dalam Shalat
Apabila seseorang bermakmum kepada orang yang mengalami hadats, atau tubuh, pakaian atau tempat shalatnya terkena najis, sementara keduanya tidak mengetahui adanya najis atau hadats tersebut, maka shalat makmum sah, sedang shalat imam tidak sah. Dasarnya adalah sabda Nabi ﷺ:
Apabila orang yang sedang junub mengimami jama’ah, maka ia harus mengulangi shalatnya, sedangkan shalat jama’ah tersebur tetap sah.
Hadits dha’if. Yang senada dengan ini diriwayatkan dari al-Bara bin ‘Azib oleh ad-Daruquthni (1352) [I:354], kitab ash-Shalaah, bab shalat al-Imam wa huwa junubun au muhdits. Juga oleh al-Baihaqi (no.4076) [II:400], Kitab ash-Shalaah, bab 489 (lmamah al-Junub). Didha’ifkan oleh syaikh Syuaib al-Arnauth dan kawan-kawan. dalam ta’liq beliau terhadap sunan ad-Daruquthni (no. 1366) [II:185,186].
Dalam hal ini terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Para imam itu shalat sebagai imam bagi kalian, jika mereka melakukan (shalat) dengan benar, maka kalian mendapat pahalanya. Namun jika mereka melakukannya dengan salah, maka kalian tetap mendapat pahalanya, sementara mereka menanggung dosanya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimilryah Rahimahullah menjelaskan, “Demikianlah sunnah yang berlaku dari Khulafaur Rasyidin. Mereka pernah mengimami jama’ah, lalu setelah shalat mereka mendapati kalau mereka sedang junub, maka mereka mengulangi shalat mereka, namun tidak memerintahkan kepada jama’ah untuk mengulangi shalat mereka. Tapi kalau imam atau makmum mengetahui adanya hadats atau najis tersebut di pertengahan shalat, maka shalat mereka batal”.
Ibnu Qudamah rahimahullah dan jumhur ulama juga berpendapat yang sama, jika imam atau makmum tidak sadar bahwa Imam berhadats, maka makmum shalatnya sah, sedangkan imam wajib mengulangi shalatnya.
Atsar para sahabat: Umar bin Khathab pernah mengimami shalat subuh dan menjumpai bekas junub di bajunya, kemudian beliau mengulangi shalatnya tanpa menyuruh makmum untuk mengulanginya.
Demikian juga dialami oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu’anhu.
Imam Sadar Berhadats di saat Shalat
Jika imam sadar terkena najis atau berhadats di saat shalat, maka ia wajib membatalkan dan menunjuk pengganti imam (Al-Istikhlaf).
Ini diperbolehkan atau disyari’atkan seorang imam untuk menarik ma’mum yang ia pandang berhak untuk menjadi imam lalu menyuruhnya untuk menggantikannya sebagai imam.
Inilah pendapat jumhur ulama dan ulama mutakhirin. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhori tentang kisah ‘Umar bin Khattab yang ditusuk saat beliau menjadi imam lalu beliau memegang tangan Abdurrahman bin ‘Auf dan menyuruhnya untuk menggantikan beliau menjadi imam.
Disaat itu imam boleh berbicara meminta pengganti kepada makmum.
Jika imam tidak meminta pengganti, maka makmum ada dua pilihan:
1. Makmum shalat sendiri (mumfarid).
2. Makmum menunjuk makmum lain untuk menjadi imam.
Hal ini juga berlaku jika imam mengalami mimisan atau pingsan. Atau imam tidak mampu menyempurnakan sholat.
Imam yang Bacaanya Rusak
Orang yang buta aksara Arab juga tidak sah menjadi imam. Arti buta aksara di sini adalah yang tidak hafal surat al-Fatihah, atau hafal tapi tidak mahir membacanya. Seperti membaca al-Fatihah dengan salah, sehingga dapat merusak arti surat tersebut. Misalnya iyyaka dibaca iyyaki, an’amta dibaca an’amtu, atau ihdinaa dibaca ahdinaa.
Atau imam mengubah bacaan suara huruf dengan huruf lain. Seperti orang yang mengganti huruf ra’ menjadi ghain atau laam, atau mengganti siin menjadi taa, dan sejenisnya.
Jika selain Al-Fatihah maka jumhur berpendapat tidak batal, karena bacaan surat lain bukan rukun, hanya ssunnah.
Kesalahan Lafal Takbir
Syaikh Masyhur Hasan Salman hafidzahullah dalam kitab beliau al-Qaulul Mubin fi Akhtail Mushallin hal. 233 menukil sebuah perkataan dalam kitab Intisharul Faqiris Salik litarjihi Madzhabil Imami Malik tentang kesalahan sebagian para imam shalat:
“Di antara kesalahan para imam shalat: Memasukkan hamzatul istifham (huruf hamzah untuk bertanya) terhadap lafadz “Allah” (lafdzul jallalah), sehingga mereka mengucapkan: “Aalloohu akbar” (آللهُ أَكْبَرُ) ini merupakan kufur lafdzi (kekufuran secara lafadz). Atau memasukkan hamzatul istifham terhadap lafadz أَكْبَرُ sehingga mengucapkan: “Aakbar” (آكبر). Sehingga kalimat ini kedudukannya sebagai khabar mubtada mahdzuf, sehingga bermakna:أَهُوَ أَكْبَرُ؟ (“Apakah Allah Maha Besar?”). Ini juga merupakan kekufuran. Dan di antara kesalahan para imam juga: Memasukkan huruf alif di antara huruf ba dan huruf ra sehingga mereka mengucapkan: “Akbaar” (أكْبَار). Sehingga kata ini adalah mashdar yang menjadi bentuk jamak dari kata “kabarun” (كَبَرٌ). Dan bentuk jamak dari كَبَرٌ bermakna “ath-Thabl” (الطَّبْلُ) -artinya: gendang/bedug-. Keduanya merupakan kekufuran, tidak dibenarkan kalimat ini diucapkan untuk Allah al-Bari subhanahu wa ta’ala.”
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم