بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Senin – Kitab Shahih Fiqh Sunnah
Karya: Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim Hafidzahullah
Download Kitab : Versi Arabic di Sini
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Pertemuan 9: 12 Jumadil Akhir 1447 / 3 November 2025
Masjid: At-Tauhid Al-Khor Community – Qatar



Mukadimah

Perkembangan Fiqih pada Masa 100 Tahun Pertama dan Kedua


Setelah kita menyebutkan perbedaan-perbedaan Ahlul Hadits dan Ahlul Fiqh dan Dzahiri, selanjutnya:

Dengan demikian, kita mendapati para pengikut Malik Rahimahullah tidak bersandar pada apa pun dalam mazhabnya kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Qasim, Asyhab, dan lainnya seperti mereka dari para sahabat mulia beliau. Jika ada riwayat Abdullah bin Abdul Hakam dan lainnya seperti dia, itu tidak akan bermanfaat bagi mereka.

Kalian akan melihat bahwa para pengikut Abu Hanifah Rahimahullah tidak akan menerima satu riwayat pun darinya kecuali yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan riwayat yang datang dari para sahabat dan murid-murid beliau yang terhormat. Jika datang pernyataan yang bertentangan dari al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’i dan para perawi beliau, mereka tidak akan menerimanya dan tidak akan bersandar padanya.

Demikian pula, kalian akan menemukan bahwa para pengikut al-Syafi’i Rahimahullah hanya bersandar pada riwayat al-Muzani dan al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi dalam mazhab mereka. Setiap kali datang riwayat dari Khuzaymah, al-Jarmi, dan yang sejenisnya, mereka tidak akan memperhatikannya dan tidak mempertimbangkannya dalam pernyataan mereka.

Ini adalah kebiasaan setiap kelompok ulama dalam menetapkan hukum-hukum mazhab para imam dan guru mereka. Ini adalah keadaan mereka, dan mereka tidak puas dengan cabang-cabang dan riwayat-riwayat dari para syekh ini kecuali melalui otentikasi dan verifikasi, maka bagaimana mungkin mereka bisa bersikap lunak dalam perkara yang lebih penting, dan mengabaikan riwayat dan periwayatan dari Imam kaum muslimin dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keputusannya wajib dan ketaatannya diwajibkan, dan keputusan serta perintahnya wajib kita patuhi, tanpa merasa benci terhadap apa yang telah ditetapkannya, dan tanpa menyimpan dendam terhadap apa pun yang telah ditetapkan dan ditegakkannya?

Tidakkah engkau memperhatikan seseorang yang bersikap lunak dalam urusannya sendiri dan memaafkan para kreditornya atas hak-haknya, mengambil kesaksian palsu dari mereka dan mengabaikan kesalahan-kesalahan mereka? Apakah dibolehkan baginya untuk melakukan hal yang sama terhadap orang lain jika ia bertindak atas nama mereka, seperti wali orang lemah, wali anak yatim, atau wakil orang yang tidak hadir? Dan apakah itu selain pengkhianatan terhadap perjanjian dan pelanggaran amanah?

Ini adalah bukti sebuah contoh. Akan tetapi, mungkin sebagian manusia merasa jalan kebenaran itu sulit, dan merasa tenang dengannya, dan menyukai tergesa-gesanya menuntut ilmu, maka mereka memperpendek jalan ilmu itu, dan membatasi diri pada penggalan-penggalan dan huruf-huruf yang disarikan dari makna-makna kaidah-kaidah fiqih yang mereka sebut akal, dan menjadikannya semboyan bagi diri mereka dalam meniru gambaran ilmu, dan mereka menjadikannya sebagai perisai ketika berhadapan dengan musuh-musuh mereka.

Musuh-musuh mereka menjadikannya sebagai alasan untuk berdebat dan berselisih, mereka saling beradu argumen dengannya, dan ketika diminta untuk meninggalkannya, yang paling unggul lah yang diakui karena kepandaiannya dan kebijaksanaannya; dialah ulama yang disebut-sebut pada masanya, dan pemimpin agung di negerinya serta di Mesir. Setan menanamkan tipu muslihat yang halus kepada mereka, dan mereka terperdaya oleh tipu daya yang cerdik; ia berkata kepada mereka: “Ilmu yang ada di tangan kalian hanyalah pengetahuan sedikit dan perdagangan yang tidak mencukupi kebutuhan, maka gunakanlah kata-kata untuk menutupi kekurangan itu, sambungkanlah dengan potongan-potongan darinya, dan hafalkan dasar-dasar para ahli kalam agar ruang bagi pertimbangan dan spekulasi manusia menjadi luas.” Setan menipu mereka, dan banyak dari mereka patuh serta mengikutinya, kecuali sekelompok orang mukmin. Wahai manusia dan akal, ke mana akan membawa mereka, dan bagaimana Setan bisa menyesatkan mereka dari bagian dan tempat kebijaksanaan mereka. Dan kepada Allah lah kita memohon pertolongan. Demikianlah perkataan Al-Khattabi Rahimahullah.

Kondisi Orang-orang pada Abad Pertama dan Kedua

Ketahuilah bahwa pada abad pertama dan kedua [100 tahun pertama dan kedua], manusia tidak sepakat untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam bukunya (Quwwat al-Qulub) berkata: Sesungguhnya buku-buku dan kumpulan ilmu merupakan hal baru, dan berbicara berdasarkan pendapat orang, atau memberikan fatwa menurut satu mazhab seseorang, atau mengambil kata-katanya, dan meriwayatkannya dalam segala hal, serta mempelajari ilmu fiqh menurut mazhabnya, hal itu tidaklah dilakukan oleh orang-orang pada abad pertama dan kedua.

Dan Ibn al-Humam dalam bukunya (at-Tahrir) berkata: Mereka pernah meminta fatwa kepada satu orang, dan kadang kepada orang lain, tanpa terikat pada satu fatwa tertentu.

Adapun para ulama, mereka terbagi menjadi dua tingkatan:

  1. Di antaranya ada yang mendalami Kitab Allah, Sunnah, dan riwayat sehingga ia mendapat kemampuan untuk memberikan fatwa kepada orang-orang dan menjawab sebagian besar persoalan dengan baik, sehingga jawabannya lebih banyak daripada hal-hal yang memerlukan pertimbangan, dan orang ini dikenal dengan sebutan mujtahid.

Disebutkan bahwa Abu Ali adh Dhariri pernah bertanya kepada imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

ﻛﻢ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺘﻰ ﻳﻤﻜﻨﻪ ﺃﻥ ﻳﻔﺘﻲ ، ﻳﻜﻔﻴﻪ ﻣﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ؟ ﻗﺎﻝ : ﻻ .

“Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga dapat memposisikan dirinya untuk berfatwa, apakah bisa 100 ribu hadits ?”

Imam  Ahmad bin Hanbal menjawab : “tidak”.

ﻗﻠﺖ ﻣﺎﺋﺘﺎ ﺃﻟﻒ ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﻠﺖ :ﺛلا ﺛﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﻠﺖ ﺃﺭﺑﻌﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ؟ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﻠﺖ ﺧﻤﺴﻤﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ؟ ﻗﺎﻝ ﺃﺭﺟﻮ .

“Aku tanya lagi : bagaimana kalau 200 ribu ?” Ia kembali menjawab : “tidak”, aku bertanya lagi : “300 ribu?”, Ia menjawab : “tidak”, aku bertanya lagi : “400 ribu ?” Ia menjawab : “tidak”.

 Aku bertanya lagi : “500 ribu?”, Ia pun menjawab : “Saya berharap itu sudah bisa.” [Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqil Haqqi min Ilmil Ushul (2/94) ]

Jadi jika mengikuti pendapat imam Ahmad, untuk bisa menjadi mufti, seseorang minimalnya harus mengetahui 500-an ribu hadits.

  1. Di antaranya pula ada yang dengan pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah, mampu memahami pokok-pokok fiqh dan inti masalahnya beserta dalil-dalilnya secara detail, memperoleh kebanyakan pendapat dari beberapa masalah lainnya dengan dalil-dalilnya, namun masih terhenti pada beberapa masalah serta memerlukan konsultasi dengan ulama lain karena alat pengetahuannya belum sempurna seperti seorang mujtahid mutlak. Ia adalah mujtahid dalam beberapa hal, namun bukan mujtahid dalam hal lainnya. Telah diriwayatkan secara mutawatir dari para sahabat dan tabi’in bahwa mereka jika mendengar suatu hadis, mereka mengamalkannya tanpa memperhatikan syarat tertentu.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم