بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Karya Imam An-Nawawi 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Nefri Abu Abdillah, Lc. M.A. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Al-Khor, 28 Jumadil Awwal 1447 / 19 November 2025
Pembahasan sebelumnya dapat diakses melalui link berikut: Kajian Kitab At-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Quran
Bab-9: Menghormati Mushaf
Ustadz mengawali kajian dengan keutamaan Al-Qur’an yang ada dalam Mandzumah Imam As-Suyuthi:
Sesungguhnya kitab Al-Qur’an adalah sebaik-baik pemberi syafa’at
Dan sebaik-baik yang mencukupi dalam pemberian dan pelajaran
Dan sebaik-baik Teman duduk dialah Al-Qur’an
Semakin dibaca semakin menambah keindahan dan tidak ada kebosanan
Keharaman Menyentuh dan Membawa Al-Qur’an oleh Orang Berhadats
Diharamkan atas orang yang berhadats menyentuh mushaf dan membawanya, baik membawanya dengan pegangannya atau lainnya, baik ia menyentuh tulisannya atau tepinya atau kulitnya. Diharamkan menyentuh wadah dan sampul serta kotak tempat mushaf itu berada. Inilah mazhab yang terpilih (Maksudnya Syafi’i).
Ada yang mengatakan: Ketiga macam ini tidak diharamkan, dan pendapat ini lemah.
- Sedangkan mushaf sendiri diartikan sebagai lembaran yang sudah terjilid yang isinya menghimpun ayat – ayat suci Al quran dan ditulis dalam urutan yang jelas serta keutuhannya yang tetap dijaga.
Andaikata Al-Qur’an ditulis pada sebuah papan, maka hukumnya sama dengan hukum mushaf, baik tulisannya sedikit atau banyak. Bahkan seandainya hanya sebagian ayat yang ditulis untuk belajar, diharamkan menyentuh papan itu.
Apabila orang yang berhadats atau junub atau perempuan yang haidh membuka lembaran-lembaran kertas mushaf dengan sepotong kayu atau semacamnya, maka ada dua pendapat dari para sahabat kami tentang kebolehannya.
Yang lebih tepat adalah boleh. Pendapat ini dianut oleh para ulama Iraq sahabat kami, karena ia tidak menyentuh dan tidak membawa.
Pendapat kedua adalah mengharamkannya, karena ia dianggap membawa kertas dan kertas itu seperti seluruhnya.
Apabila ia menggulung lengan bajunya di atas tangannya dan membalik kertas itu, maka hukumnya haram tannpa ada perselisihan.
Salah seorang sahabat kami salah menceritakan adanya dua pendapat mengenai hal itu. Yang benar adalah memastikan pengharamannya, karena pembalikan kertas dilakukan oleh tangan, bukan lengan baju.
Apabila orang yang junub atau berhadats menulis Mushaf, sedangkan ia membawa kertasnya atau menyentuhnya di saat menulis, maka hukumnya haram.
Jika ia tidak membawanya dan tidak menyentuhnya, maka ada tiga pendapat mengenainya.
Yang sahih adalah boleh, pendapat kedua mengharamkannya, sedangkan pendapat ketiga, dibolehkan bagi yang berhadats kecil dan diharamkan bagi yang junub.
Tarjih:
1. Dalil umum yang digunakan, hal ini berdasarkan Firman Allah ﷻ:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ # لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ # تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ الواقعة: 77-80
Sungguh itu adalah Alqur’an yang Mulia, dalam sebuah kitab yang tersembunyi, yang hanya disentuh oleh orang-orang yang disucikan, sebuah wahyu dari Tuhan semesta alam, Hanya malaikat-malaikat yang disucikan yang menyentuhnya, Kitab dari sisi penguasa alam semesta.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat-malaikat yang boleh menyentuh Al-Qur’an di Lawh Mahfudz.
2. Hadits Amr bin Hazm bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman,
لاَ يَمَسُّ الْقُرْءَانَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Hendaklah seseorang tidak menyentuh Al-Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.”
Yang dimaksud suci di sini ada 3 kemungkinan:
1. Suci dari hadats kecil.
2. Suci dari hadats besar.
3. Orang kafir.
Untuk 1 dan 2 tidak ada larangan khusus, dan makna 3 adalah ada hadits Nabi ﷺ kepada Abu Hurairah, bahwa seorang muslim tidak najis.
Maka, sebagai bentuk ta’dzim berusahalah untuk suci sebelum memegang mushaf.
*****
Apabila orang yang berhadats atau junub atau perempuan haidh menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqih atau kitab ilmu lainnya yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau baju bersulam ayat Al-Qur’an atau uang dirham atau uang dinar berukiran ayat Al-Qur’an atau membawa barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau makanan kue atau roti yang berukiran ayat Al-Qur’an, maka mazhab yang sahih adalah boleh melakukan semua ini, karena ia bukan Mushaf. Ada satu pendapat yang mengatakan haram.
Qadhi terkemuka Abul Hasan Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi: “Boleh menyentuh baju yang bertuliskan Al-Qur’an dan tidak boleh memakainya, tanpa ada perselisihan, karena tujuan memakainya adalah bertabarruk dengan Al-Qur’an.
Pendapat yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan kebolehan memakainya. Inilah pendapat yang benar. Wallahu a’lam.
Memegang Kitab Tafsir
Adapun kitab tafsir Al-Qur’an apabila Al-Qur’an yang terdapat di dalamnya lebih banyak dari lainnya, diharamkan menyentuh dan membawanya.
Bilamana lainnya lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Yang paling sahih tidak diharamkan. Pendapat kedua, diharamkan. Pendapat ketiga, bilamana Al-Qur’an ditulis dengan huruf yang jelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya, maka diharamkan. Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak diharamkan.
Saya katakan: Dan diharamkan menyentuhnya apabila sama antara keduanya. Sahabat kami penulis At-Tatimmah berkata: Apabila kami katakan tidak diharamkan, maka hukumnya makruh.
Adapun kitab-kitab hadits Rasulullah , apabila tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah diharamkan menyentuhnya. Yang lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci (berwudhu).
Jika terdapat ayat-ayat dari Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah diharamkan menurut mazhab, tetapi dihukumi makruh.
Ada satu pendapat bahwa hal itu diharamkan, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
Adapun ayat yang dinasakh tilawahnya (seperti) dan selain itu, maka tidak diharamkan menyentuh dan membawanya. Para sahabat kami berkata: Demikian pula Taurat dan Injil.
Seperti wanita dan lelaki tua yang berzina, ayatnya sudah dihapus tetapi hukum masih berlaku hingga kiamat.
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169].
Menulis Ayat-ayat Al-Qur’an dengan benda najis
Thariqatun najasah (menulis ayat-ayat al-quran dengan najis) yang dilakukan tukang sihir menulis salah satu surat al-qur’an dengan menggunakan darah haid atau benda najis lainnya. Kemudian mengucapkan mantra kemusyrikan hingga datang jin yang diinginkan lalu diperintahkan untuk yang dikehendaki-Nya.
Ini jelas perbuatan kekufuran dan hukumnya sangat berat.
Pasal: Apabila pada suatu tempat dari badan orang yang bersuci terdapat najasah yang tidak dimaafkan, diharamkan atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat najasah itu tanpa ada perselisihan dan tidak diharamkan dengan lainnya berdasarkan mazhab yang sahih dan masyhur yang dianut oleh sebagian besar sahabat kami dan para ulama lainnya.
Sahabat kami Abul Qasim Ash-Shaimari berkata: Diharamkan.
Para sahabat kami menyalahkannya mengenai hal itu.
Al-Qadhi Abu Thayyib berkata: Pendapat yang dikatakannya ini tertolak dengan ijma’ ulama.
Kemudian menurut pendapat yang masyhur: Sebagian sahabat kami mengatakan makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.
Pasal: Barangsiapa tidak menemukan air, lalu bertayammum di saat ia dibolehkan bertayammum, maka ia boleh menyentuh Mushaf, baik tayammum itu untuk shalat atau untuk keperluan lainnya yang membolehkan tayammum.
Adapun siapa yang tidak menemukan air maupun tanah, maka ia boleh shalat sesuai keadaannya dan tidak boleh baginya menyentuh Mushaf, karena ia berhadats. Kami bolehkan baginya shalat, karena darurat.
Andaikata ada Mushaf bersamanya dan tidak menemukan orang yang bisa dititipinya, sedang ia tidak dapat berwudhu, dibolehkan baginya membawanya karena darurat. Al-Qadhi Abu Thayyib berkata: la tidak harus bertayammum.
Bilamana ia mengkhawatirkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau jatuh dengan najasah atau jatuh ke tangan orang kafir, maka ia boleh mengambilnya karena darurat, meskipun ia berhadats.
Pasal: Apakah guru dan wali wajib memaksa anak yang sudah bisa membedakan (mumayyiz) agar bersuci untuk membawa Mushaf atau papan yang dibacanya?
Ada dua pendapat yang masyhur mengenai hal itu. Yang lebih sahih adalah tidak wajib karena memberatkan.
Pasal: Boleh menjual Mushaf dan membelinya dan tidak makruh bila membelinya. Mengenai kemakruhan penjualannya ada dua pendapat dari para sahabat kami. Yang lebih sahih di antara keduanya dan disebutkan oleh Asy-Syafi’i adalah makruh.
Yang berpendapat tidak makruh menjual dan membelinya antara lain: Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Al-Hakam bin Utaibah dan pendapat itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Sejumlah ulama tidak menyukai penjualan dan pembeliannya. Ibnul Mundzir menceritakannya dari Alqamah, Ibnu Sirin, An- Nakha’iy, Syuraih, Masruq dan Abdullah bin Zaid.
Diriwayatkan dari Umar dan Abi Musa Al-Asy’ari larangan keras untuk menjualnya. Sejumlah ulama membolehkan pembeliannya dan tidak menyukai penjualannya. Pendapat ini diceritakan oleh Ibnul Mundzir dari Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Wallahu a’lam.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
