بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Senin – Kitab Shahih Fiqh Sunnah
Karya: Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim Hafidzahullah
Download Kitab : Versi Arabic di Sini
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Pertemuan 3: 30 Rabi’ul Awal 1447 / 22 September 2025
Masjid: At-Tauhid Al-Khor Community – Qatar



Alasan dan Bentuk Perbedaan Pendapat di Antara Para Sahabat

Telah dijelaskan pada pertemuan kedua, Alasan dan Bentuk Perbedaan Pendapat di Antara Para Sahabat:
1. Bahwa seorang sahabat akan mendengar suatu hukum atas suatu perkara atau fatwa, sementara yang lain tidak, maka ia akan melakukan ijtihadnya [pendapatnya] sendiri dalam perkara tersebut.
Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal:
(a) Ijtihadnya sesuai dengan hadits.
(b) Terjadi perdebatan di antara mereka, dan kemudian hadits tersebut muncul dan didengarnya. Ia kemudian kembali dari ijtihadnya kepada apa yang telah didengarnya (Dari hadits tersebut).
(c) Ia tidak meninggalkan ijtihadnya, melainkan mengkritik [tidak menerima] hadits tersebut [Karena dipandang tidak kuat untuk dijadikan hujjah].

selanjutnya:

(d) Bahwa hadis tersebut tidak sampai kepadanya sama sekali.

Contohnya adalah Ibnu Amr yang biasa memerintahkan para wanita untuk mengurai rambut mereka ketika mandi. Aisyah mendengarnya mengatakan hal ini dan berkata, “Aneh sekali Ibnu Amr ini! Dia memerintahkan para wanita untuk mengurai rambut mereka! Mengapa dia tidak memerintahkan mereka untuk mencukur rambut mereka sekalian?!” Karena Rasulullah dan aku biasa mandi dari satu wadah, dan aku hanya menuangkan tiga gayung air ke atas kepalaku. [HR. Muslim no. 498].

2. Bahwa mereka melihat Rasulullah ﷺ melakukan suatu perbuatan, sebagian menafsirkannya sebagai bentuk ibadah, sementara yang lain menafsirkannya sebagai pilihan yang mubah.

Contohnya adalah mereka melihat Rasulullah ﷺ berlari kecil (Raml) saat tawaf. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa berlari kecil saat tawaf adalah sunah. Ibnu Abbas menafsirkan ini berarti bahwa beliau melakukannya secara tidak sengaja karena suatu alasan yang terjadi pada saat itu—perkataan kaum musyrik, “Demam Madinah [Yatsrib] telah membinasakan mereka”—dan itu bukan sunah.

3. Prasangka atau Dugaan:

Contohnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ melakukan haji dan orang-orang melihatnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa beliau sedang Tamattu’, sebagian berpendapat bahwa beliau sedang Qiran, dan sebagian lagi berpendapat bahwa beliau sedang Ifrad.

4. Perbedaan pendapat karena lupa dan lalai:

Contohnya adalah apa yang diriwayatkan: Ibnu Umar pernah berkata, “Rasulullah ﷺ melakukan umrah di bulan Rajab.” Aisyah mendengar hal ini dan menjelaskan bahwa beliau keliru.

5. Perbedaan dalam keakuratan pemahaman:

Contohnya adalah Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi ﷺ : “Mayat tersiksa karena tangisan keluarganya atas dirinya.” Aisyah memutuskan bahwa beliau telah salah menafsirkan hadis sebagai berikut: Rasulullah ﷺ melewati seorang wanita Yahudi yang keluarganya menangisinya, maka beliau berkata: “Mereka menangisinya dan dia sedang disiksa di dalam kuburnya.” Beliau mengira bahwa siksaan itu disebabkan oleh tangisannya, dan beliau mengira bahwa hukum tersebut berlaku untuk semua orang yang telah meninggal”.

6. Perbedaan dalam alasan suatu hukum:

Contohnya adalah berdiri untuk pemakaman. Sebagian mengatakan: Untuk memuliakan para malaikat, maka ini berlaku bagi orang beriman dan orang kafir. Sebagian lagi mengatakan: Karena takutnya kematian, maka ini berlaku bagi keduanya. Sebagian lagi mengatakan: Rasulullah ﷺ melewati jenazah orang Yahudi, dan beliau berdiri di sana karena beliau tidak ingin jenazah tersebut melebihi kepalanya, sehingga secara khusus mempengaruhi orang kafir.

7. Perbedaan dalam menggabungkan dua penafsiran yang berbeda: Contohnya adalah Rasulullah ﷺ melarang menghadap kiblat saat buang air. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum ini bersifat umum dan tidak dibatalkan. Jabir melihatnya buang air kecil setahun sebelum wafatnya menghadap kiblat, sehingga ia berpendapat bahwa hal itu membatalkan (nash) larangan sebelumnya. Ibnu Umar melihatnya buang air besar membelakangi kiblat, sehingga ia menolak pendapat mereka dan berpendapat sebaliknya.

Fikih di Era Para Sahabat

Para sahabat bukanlah pembuat sahabat, tetapi semuanya adil (jujur dan tidak cacat moral), sehingga informasi atau riwayat yang mereka sampaikan dapat diterima dan tidak perlu diragukan, meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran atau penerapan beberapa kasus.

Jumlah sahabat yang diambil fatwanya sekitar 130 sahabat. Dan ini dibagi menjadi 3 kelompok:

  1. 7 Sahabat terbanyak memberikan fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar Radhiyallohu’anhum.
  2. 13 Sahabat yang pertengahan: Abu Bakar, Utsman, Ummu Salamah, Annas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Ibnu Zubair, Abu Musa, Jabir, Muadz, S’ad bin Abi Waqash dan Salman Radhiyallohu’anhum.
  3. 9 Sahabat yang sedikit dalam berfatwa: Abu Darda’, Hassan, Hussain, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayub, Asma’, Zaid bin Arqam, Tsauban dan Buraidah.

Pelopor madrasah para sahabat ada tiga tempat utama

  • Madinah: Zaid bin Tsabit meskipun pelopornya Adalah Ibnu Mas’ud.
  • Mekah: Abdullah ibnu Ibnu Abbas
  • Kufah: Abdullah Ibnu Mas’ud

Allah menjadikan hati mereka haus akan ilmu, dan mereka pun haus akan ilmu. Mereka mempelajari hadis, fatwa dan perkataan para sahabat, serta mazhab dan penelitian para ulama tersebut. Para pencari fatwa pun mencari pendapat mereka, dan berbagai masalah dibahas di antara mereka, dan keputusan-keputusan diajukan kepada mereka.

Setelah berkembang maka muncul para ulama baru yang kita kenal antara lain:

  • Madinah: Terkenal dengan Fuqaha’ Sab’ah (Tujuh Fuqaha’) merujuk pada tujuh ulama besar dari kalangan tabi’in yang tinggal di kota Madinah, dan mereka adalah guru besar hukum Islam (fuqaha’) pada masanya:
  1. Said bin Al-Musayyib
  2. Al-Qasim bin Muhammad
  3. Sulaiman bin Yasar
  4. Urwah bin az-Zubair
  5. Kharijah bin Zaid bin Tsabit
  6. Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah
  7. Abubakar bin Abdurrahman

Turunan madrasah Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar:

  • Ibnu Umar menghasilkan murid budaknya Maula dan anaknya Salim.
  • Salim menghasilkan murid Az-Zuhri
  • Az-Suhri menghasilkan murid Imam Malik.
  • Imam Malik menghasilkan murid Imam Syafi’i
  • Imam Syafi’i menghasilkan murid Imam Ahmad bin Hanbal

 

  • Mekah: Turunan madrasah Abdullah ibnu Ibnu Abbas
  • Abdullah ibnu Ibnu Abbas menurunkan murid Amr bin Dinar
  • Amr bin Dinar menurunkan murid Sufyan bin Unaiyah
  • Imam Syafii dan Imam Ahmad juga belajar ke Sufyan bin Unaiyah

 

  • Kufah: Abdullah Ibnu Mas’ud
    • Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah bin Qais, dan Syuraih bin Haris
    • Kemudian Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Malik juga belajar di sini.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم