بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Senin – Kitab Shahih Fiqh Sunnah
Karya: Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim Hafidzahullah
Download Kitab : Versi Arabic di Sini
Bersama: Ustadz Abu Hazim Syamsuril Wa’di, SH, M.Pd, Ph.D Hafidzahullah
Pertemuan 10: 19 Jumadil Awal 1447 / 10 November 2025
Masjid: At-Tauhid Al-Khor Community – Qatar
Mukadimah
Munculnya Sikap Bermazhab bagi para Mujtahid Setelah 100 tahun Pertama dan Kedua
Dan setelah tahun 200H, muncul di antara mereka sikap bermazhab bagi para mujtahid dengan tokoh-tokohnya sendiri, dan sedikit dari mereka yang tidak bergantung pada mazhab seorang mujtahid tertentu. Seseorang yang berkecimpung dalam fiqh biasanya tidak terlepas dari dua kondisi:
- Kemauan yang terbesar adalah mengetahui masalah-masalah yang telah dijawab oleh para mujtahid sebelumnya, dengan merujuk pada dalilnya secara terperinci, mengkritiknya, menyeleksinya, dan menimbang yang satu lebih dari yang lain. Ia pasti akan menilai baik sebagian dari apa yang telah dicontohkan oleh imamnya dan mungkin menambahkan sesuatu padanya. Jika tambahan tersebut lebih sedikit dari pada yang sesuai, maka ia dianggap sebagai pengikut pandangan-pandangan dalam mazhab itu [Ashaabil wujuuh fil Madzhab]. Jika lebih banyak [Koreksinya], ia tidak dianggap memiliki pandangan yang benar-benar dalam mazhab itu, tetapi tetap dikaitkan dengan pemilik mazhab secara umum, berbeda dari mereka yang meneladani imam lain dalam banyak prinsip dan cabang mazhabnya. Ada juga beberapa kasus mujtahid seperti ini yang tidak terdahului jawaban sebelumnya, karena peristiwa terjadi secara berurutan dan pintu terbuka, sehingga ia mengambilnya dari kitab, sunnah, dan jejak para salaf tanpa bergantung pada imamnya, tetapi ini jarang dibandingkan dengan kasus yang sudah memiliki jawaban sebelumnya. Inilah yang disebut mujtahid mutlaq yang terafiliasi madzhab [Mujtahid Muthlaq].
- Perhatian mereka yang terbesar adalah mengetahui masalah-masalah yang dipertanyakan kepadanya oleh para penanya mengenai hal-hal yang belum dibahas oleh para pendahulu, dan inilah kebutuhannya akan seorang imam yang dijadikannya panutan dalam dasar-dasar yang disiapkan pada setiap bab lebih besar daripada kebutuhannya yang pertama, karena masalah fiqh saling berhubungan dan terkait satu sama lain, cabang-cabangnya terkait dengan induknya. Jadi jika ia memulai dengan mengkritik madzhab mereka dan meninjau ulang pendapat mereka, ia akan terikat oleh sesuatu yang tidak bisa ia tangani, dan tidak bisa menghabiskan seumur hidupnya untuk itu. Maka tidak ada cara lain kecuali meninjau apa yang telah dicapai sebelumnya dan fokus pada cabang-cabangnya, meskipun bagi orang seperti ini mungkin ada koreksi terhadap imamnya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, riwayat para salaf, dan qiyas, namun jumlahnya sedikit dibandingkan dengan kesesuaian pendapatnya. Inilah yang disebut Mujatahid fil Madzhab (mujtahid dalam madzhab).
Hukum Bermadzhab dari Madzhab yang Ada
Ada dua hal yang menjadi perhatian:
- Aspek Kesepakatan
- Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa fanatisme terhadap madzhab adalah perbuatan yang tercela. Seperti, menjadikan madzhab sebagai standar wala’ dan bara’.
- Di sisi lain: Fanatisme terhadap madzhab berkurang tetapi muncul fanatisme menentang madzhab.
- Menerima Keberadaan empat madzhab dan tidak menyerukan meninggalkan kitab-kitab fikih atau menghilangkan madzhab tersebut.
- Orang yang bermadzhab yang berintisab sudah sampai tahap Ijtihad dan menyalahi pendapat imamnya karena ada pendapat yang lebih kuat, maka tidak boleh diingkari pendapatnya itu.
- Kecenderungan jiwa terhadap suatu madzhab adalah bukan ijtihad.
- Menerima sikap bermadzhab artinya boleh sekolah di sekolah fikih ushuliyah dan perhatian kepada dalil dengan mencari pendapat yang lebih kuat.
- Bolehnya seorang yang berintisab kepada suatu Madzhab mengambil pendapat imamnya dengan meyakinkan akan kekuatannya dalam memiliki dalil-dalil.
- Aspek Perbedaan
- Perbedaan Metode Istinbath:Para imam mazhab memiliki perbedaan dalam menggunakan metode istinbath mereka, seperti perbedaan dalam menerima hadits lemah atau mengutamakan qiyas.
- Perbedaan Interpretasi:Perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits menjadi salah satu penyebab perbedaan pendapat.
- Latar Belakang dan Zaman:Latar belakang, budaya, dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda di masa para imam mazhab juga mempengaruhi hasil ijtihad mereka.
- Contoh Perbedaan:
-
- Mazhab Hanafi:Mengutamakan penggunaan akal dan qiyas secara luas, maka keumumanya lebih longgar.
- Mazhab Maliki:Mementingkan tradisi dan praktik penduduk Madinah.
- Mazhab Syafi’i:Menggabungkan tradisi dan pemikiran rasional, lebih pada kehati-hatian.
- Mazhab Hanbali:Sangat mengutamakan hadits, bahkan yang dianggap lemah, dibandingkan dengan qiyas atau pendapat ulama lain.
Sikap Instisab [Menyandarkan diri pada satu Madzhab]
Para ulama berpendapat dalam tiga kelompok:
- Ada pihak yang mewajibkan berpegang kepada suatu madzhab, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy Syinqithi berkata para ushuliyyin semua bersepakat wajib untuk menyandarkan diri kepada madzhab.
- Ada pihak yang membolehkan menyandarkan pada madzhab, dan ini kebanyakan ulama. Seperti Ibnu Habirah, Al-Wazir Al-Hanbali, ketika menjelaskan tentang madzhab beliau berkata bahwa setiap madzhab yang disepakati umat adalah boleh diamalkan.
- Pihak yang melarang bermadzhab. Abu Muhammad Ibnu Hazm Al-Andulisy berkata, Maka siapa saja yang mengambil pendapat ibnu Hanifah atau seluruh pendapat Malik atau seluruh pendapat Syafi’i atau seluruh pendapat Ahmad dari kalangan orang-orang yang mampu untuk melakukan nadzar [penelitian] bahwa ia telah menyelisihi ijmak.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
