بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Ahad – Doha
Membahas: Mulakhas Fiqhi – Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Bersama Ustadz Hanafi Abu Arify, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Doha, 4 Muharram 1447 / 29 Juni 2025


https://www.assunnah-qatar.com/wp-content/uploads/2025/06/Hukum-Shalat-Jumat-Bag-4_Jumat.mp3?_=1

KITAB SHALAT
Bab Tentang Hukum-hukum Shalat Jum’at

Syarat-syarat Sah dan Sunnah-sunnah Shalat Jum’at

Syarat -syarat Sah Shalat Jum’at

1. Masuknya Waktu

Karena shalat Jum’at adalah shalat wajib, maka disyaratkan baginya masuk waktu untuk melaksanak annya,seperti shalat-shalat wajib lainnya. Karenanya, tidak sah dilakukan sebelum atau setelah habis waktunya. Dasarnya adalah firman Allah ﷻ :

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisaa: 103)

Pelaksanaan shalat Jum’at sesudah tergelincirnya matahari (setelah masuk Zhuhur) lebih baik dan aman. Karena inilah waktu di mana Rasulullah ﷺ, menunaikan sebagian besar shalat Jum’at beliau. Sementara pelaksanaannya sebelum matahari tergelincir adalah masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Akhir waktu Jum’at sama dengan akhir waktu Zhuhur, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

  • Pendapat mayoritas ulama, waktu shalat Jum’at adalah bila matahari telah tergelincir seperti halnya waktu shalat zhuhur. Hal ini ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini:

Dari Iyas bin Salamah ibnul Akwa’ dari ayahnya, ayahnya berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ

“Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila matahari telah tergelincir. Kemudian (selesai shalat) kami kembali ke tempat kami dengan mengikuti bayangan (benda/pohon dan sebagainya, pent.)” (HR. Al-Bukhari no. 4168 dan Muslim no. 1989)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ

“Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat Jum’at ketika matahari miring (condong ke barat, pent.)” (HR. Al-Bukhari no. 904)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنُرِيْحُ نَوَاضِحَنَا. قَالَ حَسَنٌ: فَقُلْتُ لِجَعْفَرٍ: فِي أَيِّ سَاعَةٍ تِلْكَ؟ قَالَ: زَوَالَ الشَّمْسِ

“Kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami kembali lalu mengistirahatkan unta-unta kami.” Hasan berkata, “Aku bertanya kepada Ja’far, ‘Waktunya kapan itu?’ Ja’far menjawab, ‘Saat matahari tergelincir’.” (HR. Muslim no. 1986)

Imam Nawawi Rahimahullah membawakan perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah bahwa Nabi ﷺ dan para sahabatnya, Abu Bakar, Umar, Usman dan para Aimmah melaksanakan shalat Shalat Jum’at setelah matahari tergelincir (ba’da zawal).

Jika dilakukan sebelum zawal, para ulama berbeda pendapat :

1. Jumhur Ulama Malikiyah, Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat tidak sah seperti yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat.
2. Pendapat Hanabilah membolehkan (asal dekat zawal sekitar 1/2 – 1 jam sebelum zawal), meskipun setelah zawal adalah lebih utama. (Demikian dijelaskan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah dalam Liqa Al-Maftuh).

2. Orang-orang yang Shalat Jum’at itu Menetap di Bangunan Permanen dan tidak Berpindah-pindah.

Karenanya, tidak sah shalatJum’at bagi mereka yang tinggal di kemah-kemah, dan tenda-tenda. Di mana mereka selalu mencari-cari lokasi subur dan hidup berpindah-pindah. Dahulu di sekitar kota Madinah terdapat kabilah-kabilah Arab, namun Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan mereka untuk shalat Jum’at.

Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni berkata, tidak ada kewajiban untuk shalat Jum’at bagi orang yang berpindah-pindah atau tinggal di tenda, karena tempat tinggal mereka tidak permanen.

Jika tidak mendengar adzan maka tidak ada kewajiban Jum’at bagi mereka. Ini adalah pendapat sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah, Ibnul Hassan dan Fatwa Ahnaf.

Sementara ulama lainya berpendapat didasarkan pada jarak. Jika melebihi 1 farskh (sekitar 5 km) maka, tidak ada kewajiban bagi mereka. Jika kurang dari itu, ada kewajiban bagi mereka. Ini pendapat Malikiyah dan Hanabilah.

Sementara Syafi’iyah berpendapat bahwa jika masih satu kota, maka wajib bagi mereka menghadirinya.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ 4/353 berkata, Jika ada pada suatu negeri terdapat 40 orang yang memenuhi syarat untuk shalat Jum’at, maka wajib bagi mereka untuk menghadiri shalat Jum’at tersebut. Meskipun wilayahnya sangat luas, baik mendengar adzan atau tidak. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah.

– Barangsiapa yang sempat mendapatkan satu rakaat Jum’at bersama imam, hendaknya dia menyempurnakan shalat itu sebagai shalat Jum’at. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu secara marfu’:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الجُمْعَةِ فَلْيَضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَ قَدْ تَمَّتْ صَلاَتُهُ

“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jum’at (bersama imam), maka teruskanlah rakaat berikutnya dan sempurnalah shalatnya.”

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dan asalnya ada dalam Shahih al-Bukhari dan Shahiih Muslim.

Imam Ibnu Hubairah Rahimahullah dalam kitabnya Al-Ifshah menyebutkan, para ulama sepakat bahwa jika seseorang mendapati satu raka’at imam dalam shalat Jum’at lengkap dengan dua sujudnya, lalu menambahkan satu raka’at lagi, maka shalat Jum’atnya sah.

  • Apabila dia mendapatkan kurang dari satu rakaat, misalnya imam sudah bangkit dari ruku’ kedua, sementara dia belum sempat masuk bersamanya, maka dia kehilangan shalat Jum’at. Namun dia tetap (boleh) mengikuti imam dengan niat shalat Zhuhur. Usai imam salam, hendaknya dia bangkit menyempurnakan shalat tersebut sebagai shalat Zhuhur.

Pendapat jumhur ulama menyatakan jika makmum Masbuq tidak mendapatkan satu raka’at bersama imam, maka tidak sah shalat Jum’atnya dan dia wajib menggantinya dengan shalat dzuhur.

3. Syarat Sahnya Shalat Jum’at adalah Didahului dengan Dua Khutbah.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ اْلآنَ (رواه البخارى ومسلم والنسائى والترمذى وأبو داود وأحمد)

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Nabi ﷺ berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana kamu lakukan sekarang.
[HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, abu­ Dawud dan Ahmad].

4. Isi Khutbah Jumat

Di antara syarat sah dua khutbah Jum’at adalah; bacaan hamdalah, dua kalimat syahadat, shalawat kepada Rasulullah ﷺ, wasiat untuk bertakwa kepada Allah, nasihat, membaca sebagian al-Quran meskipun hanya satu ayat saja. Ini jelas berlawanan dengan kebiasaan banyak para khatib kontemporer saat ini yang khutbah-khutbah mereka tidak memuat seluruh atau sebagian besar dari syarat-syarat tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, ‘Siapa pun yang mencermati khutbah-khutbah Nabi ﷺ, dan khutbah para Sahabat beliau, pasti akan mendapatinya meliputi penjelasan tentang petunjuk (syari’at), tauhid, pemaparan sifat-sifat Allah ﷻ, dasar-dasar keimanan yang fundamental, dakwah atau ajakan ke jalan Allah, penyebutan karunia-karunia Allah, yang menyebabkan Allah mencintai makhluk-Nya, pemaparan tentang kehidupan akhirat yang menyebabkan mereka takut kepada siksa-Nya, perintah untuk senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada Allah yang menyebabkan mereka mencintai-Nya. Dalam khutbah-khutbah itu, mereka menyebut-nyebut tentang keagungan Allah, serta nama-nama dan sifat-sifatNya yang menyebabkan para hamba mencintai-Nya. Juga memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka semakin menyintai-Nya, yaitu berupa ketaatan, syukur dan dzikir kepada-Nya. Sehingga, saat usai shalat Jum’at, kaum muslimin dalam kondisi mencintai dan dicintai oleh Allah.


Sunnah-sunnah Khutbah Jum’at

  • Dianjurkan dilakukan di atas mimbar.

Para ulama fikih rahimahumullah telah menyebutkan, bahwa kedua khutbah Jum’at dianjurkan untuk dilakukan di atas mimbar, berdasarkan kebiasaan Nabi ﷺ. Karena hal itu lebih mengoptimalkan daya jangkau suara dan lebih mengoptimalkan pesan-pesan yang disampaikan. Karena, para hadirin yang ada di hadapan khatib semuanya dapat melihat ke arahnya.

Imam an-Nawawi menjelaskan, “Penggunaan mimbar disunnahkan berdasarkan ijma’ para ulama.” [Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdza& IIV:398]

Tetapi penggunaan mimbar tidak wajib, kata Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.

  • Mengucapkan Salam

Apabila menghadap ke arah hadirin, khatib dianjurkan mengucapkan salam, berdasarkan hadits Jabir:

“Dan apabila Rasulullah ﷺ naik mimbar, beliau mengucapkan salam.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadits ini memiliki beberapa riwayat penguat.

Khatib dianjurkan tetap duduk di mimbar hingga muadzin selesai mengumandangkan adzannya.

Berdasarkan riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhuma: “Rasulullah, biasa duduk saat naik mimbar, hingga muadzin usai mengumandangkan adzannya, kemudian baru bangkit dan berkhutbah.”

Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1092)[I:458], kitab ash-Shalaah, bab 221. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abu Dauud (no. 1002).

Duduk di antara Dua Khutbah

Hal yang disunnahkan dalam khutbah Jum’at adalah duduk di antara dua khutbah, berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhuma :

“Nabi ﷺ , biasa melakukan dua kali khutbah dengan berdiri, dan beliau memisahkan kedua khutbah tersebut dengan duduk.”
Muttafaqun ‘alaih.

  • Khutbah sambil Berdiri

Sunnah lain dalam khutbahJum’at adalah melakukan khutbah tersebut sambil berdiri, karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, dan berdasarkan firman Allah ﷻ:

“… dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah)…” (QS. Al-Jumu’ah: 11)

  • Memegang Tongkat

Sunnah lain dalam khutbahJum’at adalah berkhutbah sambil bertelekan pada sebuah tongkat dan sejenisnya.

Ulama berbeda pendapat:
1. Disunnahkan, pendapat Jumhur Ulama.
2. Makruh menggunakan tongkat (Madzhab Hanafiyah). Pendapat para khulafaur Rasyidin.

  • Menghadap Wajahnya ke Arah Makmum

Sunnah lainnya dalam khutbah Jum’at adalah bahwa saat berkhutbah hendaknya khatib menghadapkan wajahnya ke arah depan (kepada seluruh hadirin). Karena dengan hanya menghadap ke arah kanan atau kiri saja, sama halnya ia berpaling dari yang lainnya. Dan itu berlawanan dengan sunnah Rasulullah ﷺ. Karena saat berkhutbah, beliau selalu menghadap ke arah depan, ke seluruh hadirin.

  • Khutbahnya Sedang (tidak terlalu lama) dan Suara Keras.

Disunnahkan juga untuk menyampaikan khutbah dengan pendek, namun sedang (tidak terlalu pendek), sehingga para hadirin tidak bosan dan tidak bersikap antipati, tapi juga tidak pendek sekali, sehingga tidak memenuhi sasaran dan para hadirin tidak dapat mengambil pelajaran darinya.

Dan apabila berkhutbah, Nabi ﷺ bersuara lanting dan terlihat amat marah. Karena cara tersebut lebih merasuk ke dalam hati para hadirin dan lebih mengoptimalkan pengaruh pesan-pesan yang disampaikan.

  • Mendoakan kaum muslimin.

Disunnahkan juga mendo’akan kaum muslimin agar memperoleh kebaikan dalam agama dan dunia mereka, juga mendo’akan pemimpin kaum muslimin dan para pengemban amanah umat, agar mendapatkan keselamatan dan limpahan taufik.

  • Segera iqamat Jika Khutbah Selesai

Usai khutbah, dianjurkan untuk segera mengumandangkan iqamat, dan segera pula dilakukan shalat berjama’ah, ranpa ada jeda waktu yang lama.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم