ʙɪꜱᴍɪʟʟᴀʜ

Kajian Kitab Masail Jahiliyah (Perkara-perkara Jahiliyah)
Karya: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab 𝓡𝓪𝓱𝓲𝓶𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pemateri: Ustadz Isnan Efendi, Lc. MA. 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan 29: 24 Muharram 1447 / 19 Juli 2025



Telah berlalu, pembahasan beberapa poin dalam Masail Jahiliyah. 35 Masail sebelumnya dapat disimak di link archive berikut ini: https://tinyurl.com/2p9sra27

Masalah Ke – 36

Dalam Mendekatkan Diri kepada Allah, Mereka Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram

Beribadah dengan mengharamkan yang halal, sebagaimana mereka beribadah dengan kesyirikan.

Penjelasan:

Termasuk perkara jahiliyah yaitu ibadah mereka, yakni mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan mengharamkan perkara yang diewajibkan Allah ﷻ. Mereka mengharamkan menutup aurat dalam thawaf sebagaimana kondisi orang-orang musyrik dahulu.

Halal dan Haram Sudah Jelas

عَنِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (( إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ،. رواه البخاري ومسلم، وهذا لفظ مسلم.

Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim].

Dan ini ditentukan oleh tingkat keilmuan seseorang terhadap syariat. Maka, jika tidak mengetahuinya hendaknya bertanya kepada ahlinya. Allah memerintah kita agar bertanya kepada ahlinya apabila kita tidak tahu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Demikian pula Yahudi dan Nasrani. Kaum Nasrani mengharamkan diri mereka dari kebaikan-kebaikan. Kaum Yahudi menghalalkan bagi diri mereka apa yang Allah haramkan, seperti : Riba, mereka telah dilarang dari perbuatan riba, dan memakan harta manusia dengan cara batil. Dan kaum musyrikin mengharamkan beberapa macam hewan ternak, diantaranya : bahirah, saibah, dan washilah. Mereka menamakan hewan ternak tersebut dengan nama-nama tersebut. Dan mereka mengharamkan hewan-hewan tersebut bagi berhala-berhala. Dan Allah telah melarang orang-orang beriman darinya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “. ( QS. al-Maidah : 87 ).

Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”

اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya)

Persyaratan dalam hal muamalat hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal mu’âmalah itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah
atau dalam hal makanan kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap persyaratan tersebut.

Orang-orang beriman tidak bersikap keras dalam mengharamkan apa yang Allah halalkan serta tidak menggampangkan dan tidak menghalalkan perkara haram, akan tetapi bersikap adil. Pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram termasuk agama jahiliyah. Tidak boleh seorang menghalalkan atau menghramkan kecuali dengan dalil dari kitab Allah dan jika hal tersebut merupakan perkara ibadah. Seperti perbuatan kaum Nasrani terhadap pendeta atau seperti perbuatan orang-orang musyrik dalam masalah thawaf di baitullah, maka hal ini merupakan perkara ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah serta merupakan kemaksiatan terhadap Allah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bermaksiat kepada-Nya serta mensyariatkan agama yang tidak diizinkan.

Masalah ini sangat berbahaya, sebagaimana kaum jahiliyah beribadah dengan perbuatan syirik dan ini lebih berat lagi. Masalah ini terjadi pada zaman dahulu maupun sekarang. Maka orang-orang yang thawaf di kuburan, melakukan sembelihan untuk keburan, bernadzar untuk kuburan, dan mereka berkata, ini untuk mendekatkan diri kepada Allah:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. az-Zumar : 3).

هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (QS. Yunus : 18 ).

Ini menurut orang-orang musyrik generasi awal, juga menurut orang-orang musyrik zaman sekarang yang menisbatkan diri kepada Islam, mereka mengatakan: Ini merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah ta’ala dengan perantara orang-orang shalih, mereka adalah para pemberi syafaat bagi kami serta mendekatkan kami kepada Allah lebih dekat lagi.

*****

Masalah Ke – 37

Menjadikan Ulama dan Ahli Ibadah Sebagai Sesembahan Selain Allah ﷻ

Beribadah dengan menjadikan para pendeta sebagai Tuhan-tuhan selain Allah.

Penjelasan:

Allah ﷻ berfirman tentang Yahudi dan Nasrani :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah : 31 ).

Ahbaar artinya para ulama. Ruhbaan adalah ahli ibadah. Maka Yahudi dan Nasrani beribadah kepada Allah dengan mengikuti orang-orang berilmu dan mengikuti ahli ibadah dalam bermaksiat kepada Allah ﷻ. Mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan serta menghalalkan apa yang Allah haramkan. Mereka mentaati para ahbaar dan ruhban serta menganggap ini merupakan ibadah. Mereka mengatakan: mentaati para ulama itu wajib. Maka kita katakan: mentaati mereka wajib jika mereka mentaai Allah ﷻ. Adapun ulama yang tidak mentaati Allah maka tidak wajib untuk ditaati. Rasulullah ﷺ berasabda:

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan bagi manusia dalam bermaksiat kepada Allah ﷻ”.

Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ﷻ. Meskipun mereka adalah ulama atau ahli ibadah yang paling zuhud diantara manusia. Selama mereka tidak berada dalam kebenaran maka kita tidak boleh untuk mengikuti mereka. Barangsiapa mengikutinya dan ia tahu bahwa ulama tersebut menghalalkan apa yang Allah haramkan serta mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka ia telah menjadikan ulama tersebut sebagai tuhan-tuhan, yakni telah mepersekutukan mereka dengan Allah; karena penghalalan dan pengharaman merupakan hak Allah ﷻ. Tidak boleh seorangpun menghalalkan atau mengharamkan serta mensyariatkan kecuali dengan dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Allah ﷻ berfirman :

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.(Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih”. (QS. an-Nahl : 116 – 117 ).

Maka kita tidak mentaati para ulama secara mutlak, mereka berbuat benar dan berbuat salah. Akan tetapi kita mengikuti mereka jika mereka benar, dan kita menjauhi kesalahan mereka jika mereka salah. Maka kita mentaati siapa yang mentaati Allah serta mengingkari siapa yang mengingkari Allah, dan kita menyelisihi kesalahan orang yang salah. Inilah agama yang benar.

Imam Malik bin Anas, sebagaimana direkam oleh As-Sakhawi (Al-Maqashid Al-Hasanah, Hlm. 513) menyatakan:

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ

“Setiap orang bisa diambil perkataannya, bisa juga ditolak, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam).”

Adapun jika engkau tidak tahu bahwa ulama tersebut salah maka engkau dimaafkan. Adapun orang yang berkata : Jika ia bersalah maka kesalahannya ia yang tanggung. Maka kita katakan: ini tidak boleh. Sikap ini tidak akan bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Mereka menaggung apa yang mereka perbuat dan engkau menanggung apa yang engkaku perbuat. Fatwa-fatwa tidak boleh dijadikan pegangan kecuali jika dibangun di atas dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Barangsiapa mengetahui bahwa fatwa tersebut tidak dibangun di atas dalil maka ia haram untuk mengambilnya. Barangsiapa tidak tahu tentangnya maka ia dimaafkan, namun ia wajib mencari dan menambah kebenaran informasi.

*****

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم