Tauhid
Kitab Tauhid Bab 60 - Mengingkari Qadar [Ketentuan Allah]
- Details
- Category: Tauhid
- Created: Saturday, 25 January 2020 17:58
Ibnu Umar Radhiallahu’anhu berkata :“Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tanganNya, seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya, sebelum ia beriman kepada qadar (ketentuan Allah)”, dan Ibnu Umar menyitir sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره " رواه مسلم.
“Iman yaitu hendaklah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan bahwa Ubadah Ibnu Shomit Radhiallahu’anhu berkata kepada anaknya : “Hai anakku, sungguh kamu tidak akan bisa merasakan lezatnya iman sebelum kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpa dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak menimpa dirimu pasti tidak akan menimpamu, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
إن أول ما خلق الله القلم, فقال له : اكتب، فقال : رب وماذا أكتب ؟ قال : اكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة
“Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya : “tulislah”, maka pena itu menjawab : Ya Tuhanku, apa yang mesti aku tulis ?, Allah berfirman : “Tulislah ketentuan segala sesuatu sampai datang hari kiamat”.
hai anakku, aku juga telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
من مات على غير هذا فليس مني
“Barang siapa yang meninggal dunia tidak dalam keyakinan seperti ini, maka ia tidak tergolong ummatku ”.
Dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan :
إن أول ما خلق الله تعالى القلم، فقال له : اكتب، فجرى في تلك الساعة بما هو كائن إلى يوم القيامة
“Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah Subhanahu wata’ala adalah pena, kemudian Allah berfirman kepadanya : “tulislah !”, maka ditulislah apa yang terjadi sampai hari kiamat”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
فمن لم يؤمن بالقدر خيره وشره أحرقه الله بالنار
“Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada qadar (ketentuan Allah) baik dan buruknya, maka Allah pasti akan membakarnya dengan api neraka”.
Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan([1]), dari Ibnu Dailami ia berkata : “Aku datang kepada Ubay bin Kaab, kemudian aku katakan kepadanya : "Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah qadar, maka ceritakanlah kepadaku tentang suatu hadits, dengan harapan semoga Allah Subhanahu wata’ala menghilangkan keraguan itu dari hatiku”, maka ia berkata :
لو أنفقت مثل جبل أحد ذهبا ما قبله الله منك حتى تؤمن بالقدر وتعلم أن ما أصابك لم يكن ليخطـئك، وما أخطأك لم يكن ليصيبك، ولو مت على غير هذا لكنت من أهل النار
“Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni neraka.
Kata Ibnu Dailami selanjutnya : “Lalu aku mendatangi Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, semuanya mengucapkan kepadaku hadits yang sama dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam di atas.” (HR. Al Hakim dan dinyatakan shoheh).
Kandungan bab ini :
1. Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar.
2. Keterangan tentang cara beriman kepada qadar.
3. Amal Ibadah seseorang sia-sia, jika tidak beriman kepada qadar.
4. Disebutkan bahwa seseorang tidak akan merasakan iman sebelum ia beriman kepada qadar.
5. Penjelasan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah yaitu pena.
6. Diberitahukan dalam hadits bahwa "dengan perintah dari Allah" menulis ketentuan-ketentuan sampai hari kiamat.
7. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyatakan bahwa dirinya lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
8. Tradisi para ulama salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir [Rukun Takdir]
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap muslim.
Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar, yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {70}
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al Hajj:70).
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ {59}
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa salam,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]
Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ {62} لَّهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِئَايَاتِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ {63}
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-63)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُونَ {96}
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As Shafat:96).[Taqriib Tadmuriyah hal 86-87, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Bashiiroh]
Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007]
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/2156-memahami-takdir-dengan-benar.html
Kajian Bab ini oleh Ustadz Isnan Efendi Abu Abdus Syahid Hafidzahullah:
Pertemuan 1:
Pertemuan 2: